Sejak kecil aku dididik oleh keluarga yang sederhana. Ketika bapak mendirikan sebuah rumah yang ramah terhadap lingkungan, dengan menggunakan bahan dari kayu jati, bambu, dan beratap genteng tanah liat.

Kampung halaman telah dilahirkan oleh masyarakat sendiri, mereka bekerja dengan lahan, melipat nasib dengan kayu, bergadang dengan bulan, dan menghibur diri dengan radio batre sampai jelang subuh separuh riuh.

Saban matahari terbit. Sering sekali kusandarkan nasib di dekat lesung, mengamati ibu memasak nasi jagung. Sebelum berangkat sekolah, kumakan sepiring karon dengan teh hangat yang nikmat.

Disisi lain, bapakku bersiap diri untuk pergi ke kebun, sebelum matahari terbit kembali. Merawat tanaman, meruwat lahan, dan menyuburkan kembali tumbuhan dengan serpihan ingatan.

Kebudayaan telah dilahirkan dari tulang punggung kehidupan yang tidak pernah melepaskan baju, caping, dan sekarung rumput.Bapakku termasuk orang yang lahir dari kebudayaan Kampung Sumbu. Ia dilahirkan belum ada penerangan listrik. Keluarganya menggunakan dilah (sumbu) sebagai penerangan setiap malam, sebagian memakai gaspon, itu pun bagi yang memiliki kebutuhan cukup.

Pada tahun 80 an sepantarannya memang suka menyandangkan hidup sebagai buruh angon (Penggembala Sapi) kepada tetangga yang kebetulan secara ekonomi begitu mampu, dengan lahan yang puluhan hektar, dan puluhan domba serta sapi begitu menjamur di kolom-kolom belakang rumah.

Sedari pagi bapakku harus mengantarkan sapi betina ke sebuah ororo (wahana gembala). Caping dikepalanya tidak pernah surut dari matahari yang kerap sekali mengintai. Ia tidak pernah mengenal lelah, hidup yang dipilih dengan berbagai persoalan, bagaimana harus menghadapi realitas kehidupan masa itu.

Tiga sapi betina membawa nasib seorang lelaki yang masih berusia cukup muda, pergi pagi hingga sore tua. Pekerjaan yang sedikit menghibur dilakukan puluhan tahun lamanya, hingga membuahkan hasil dari keringatnya sendiri. Ketika di antara sapi yang beranak, ia mendapatkan keuntungan cukup. Terkadang diberi satu ekor pedet (anak sapi), atau juga sebagian dari penjualan tersebut.

Kemudian, memasuki usia dua puluh lebih. Bapak membeli sepeda ontel, sebagai akses transportasi bepergian, baik untuk melihat layar tancap (nobar), kesenian wayang kulit, kesenian tayub, dan lebih-lebih melamar si gadis tetangga desa sebrang.

Dari sisi keberanian, bapak seorang yang nekat dalam menafkahkan diri sebagai pembelajar petani dengan bapaknya. Ia anak ke tiga dari enam bersaudara, empat laki-laki, dan dua perempuan. Sejak kecil ia mendapatkan julukan dari sepantarannya sebagai penakut terhadap hantu, orang-orang menyebut jereh.

Dengan begitu, kita bisa memetik dari sedikit perjalanan dari seseorang yang dilahirkan sebelum adanya penerangan listrik, dan suka bergadang dengan bulan di emperan rumah. Banyak peristiwa yang perlu dipelajari, terutma keterbatasan fasilitas tidak menjadi persoalan untuk selalu bekerja dengan diri sendiri, lingkungan, dan keluarga.

Penulis : Muhammad Andrea