"Ketika notif bangunin sahur termodernisasi, kampung tak akan pernah kehilangan kesunyian".

Seorang lelaki bernama Deni sedang duduk sendirian di Pos Kampling yang berada di peremptan jalan dusun. Ia kelihatan resah sekali, menunggu teman-temannya yang belum kembali sejak dari empat jam lalu, berpamit ngopi.

Dia sengaja tidak ikut temannya, karena lagi membuat kentongan dari bambu untuk persiapan oklik dini hari, agar dari masing-masing temanya kebagian semua. Tidak seperti malam puasa pertama kandas hingga memakai gelas yang ada di dapur milik ibunya.

Di antara sepantaran, memang Deni lebih kecil, lucu, dan lugu dibandingkan Rudi yang kekar badan, berhidung mancung, sekaligus pembangkang. Dalam kurun waktu tiga jam Deni membuahkan hasil memuaskan 5 kentongan disulap dengan tangan kosong (sudah jadi).

Sudah 5 jam lebih. Teman-temannya belum juga kembali. Rasa was-was dan wes-wes kerap sekali tumbuh dalam ingatan-ingatan agak serampangan. Deni memang agak spiritualis dan individualis, maka tidak akan takut, bila ada hantu bin hanta, dan binti hinti di bulan Ramadhan, apalagi produk hantu adalah produk budaya manusia.

Keberadaan Pos kamping memang berada dipinggir jalan namun tidak jauh juga dari pemakaman umum. Lagi-lagi Deni sedang diuji nyalinya. Seberapa kuat ia bertahan, sebelum terlambat ia dapat melihat. Sebetulnya, ia sama sekali tidak pernah melihat puluhan hantu. Sejak lahir hingga masa kanak-kanak, yang dikenal cuma hantu pocong dan hantu kentongan.

"Apapun yang terjadi kukembalikan segala rasa takut atas kehendakmu pula, Tuhan". Gumam Deni mendengkur sendirian.

Ia segera menutup kepala dengan sarung coklat miliknya, mencari tempat duduk paling pojok yang bisa memberikan rasa nyaman pada dirinya. Sekali-kali dia menengok jam dinding di atas kepalanya, jarum jam berdetak lamban.

Sebenarnya ia ingin kembali ke rumah. Namun bisikan lembut yang didapat sore itu dari seorang gadis manis, selesai salat tarowih di musala, menjadikanya lebih semangat dan menahan ketakutan. Hingga dia terlelap dalam tidurnya.

Tak lama kemudian, angin malam berdesis kencang, bulan kembali bersembunyi, daun-daun jati dekat Pos Kampling berguguran tiada henti, seperti menghitung bintang jatuh di kelas waktu sekolah, dan ditanya bercita-cita menjadi Tentara.

Kemudian, Deni perlahan membuka matanya sedikit demi sedikit. Ia telah melihat gadis manis yang memesan notif sahur tadi sore berada di dekatnya.

"A.. a.. Apakah itu, kamu?"

"Kalau iya, kenapa?"

"Kenapa, malah kamu yang bangunin aku. Padahal, kamu tadi menyuruhku bangunin, kamu?"

"Iya! Sekali-kali, memang tidak boleh?"

"La, teman-temanku, mana?"

"Itu, di belakang pada sembunyi semua"

"Hahahaha, Wow! Dasar, kamu itu Rudi"

"Memang Iya". Wkwkwkwk

...

Mohon Maaf: Jika ada kesamaan nama, latar belakang; mohon dimaklumi. Jeneng nek pasaran senin pahing ora mung siji. Wkwkwk

Muhammad Andrea