Ketika Toa sedang diperbincangkan dikalangan publik dengan berbagai kontroversinya. Justru agamawan lebih diam, karena Tuhan tidak sedang berjaga saja di dalamnya.

Apa yang terjadi dalam lingkungan kita hari ini, seolah informasi selalu menyudutkan kebenaran, tidak ada telaah, kajian, sekaligus analisis. Ketika perihal itu dibiarkan, maka orang-orang akan sibuk dengan kebenarannya masing-masing dan menambah resiko ketidak jelasan dalam lingkungan kebudayaan itu sendiri.

Dari Toa hingga Pawang Hujan yang beberapa terakhir kerap menjadi perdebatan yang begitu pelik. Namun, kita akan ikut andil dalam arus informasi itu, atau lebih menepi sebentar, melakukan pengendapan informasi untuk dipertimbangkan dalam kejernihan berpikir, dan etika bermedia.

Aku tidak akan membahas tentang Toa dan Pawang Hujan, toh biasa-biasa saja. Dan tidak perlu dibahas, dari pada menambah keruh suasana yang melahirkan perspektif-perspektif baru, tidak semua hal harus dibahas, tidak semua isu harus digagas. Cukup dibaca dan didengarkan.

Kembali lagi pada soal sound sistem tiga tahun tahun belakangan, sound sistem sangat diminati sekali dari berbagai kelompok masyarakat, wabil khusus para pemuda yang hobi menggunakan perihal tersebut dalam agenda tertentu. Misalnya digunakan untuk sewa hajatan pernikahan, pelantikan, sunatan, dan sedekah bumi serta orkes dangdut ala Jawa Timuran.

Siapa yang tidak suka dengan Dangdung Pallapa, apalagi Adella menjadi panggung orkes paling populer di Jawa. Hidup kita itu memang sudah selesai ketika berhasil mendengarkan sekaligus melihat orkes sembari bergoyang bersama. Itu lebih dari cukup titik puncak klimaks kebahagiaan.

Oleh sebab itu, bisa kita lihat pada sebuah desa dengan populasi penduduk begitu padat. Kebanyakan di antara masing-masing warga memiliki sound sistem yang digunakan sebagai media hiburan. Asik kan.

Pada dasarnya sound sistem sebagai seperangkat media yang berfungsi untuk kegiatan-kegiatan lebih besar di masyarakat. Namun, semua itu kandas di tengah jalan, ketika pandemi covid-19 lahir di permukaan.

Dampak adanya pandemi covid-19 begitu signifikan terhadap perubahan sosial dan budaya masyarakat dari aktivitas yang setiap harinya saling berinteraksi, harus dibatasi untuk sementara waktu. Begitu pun dengan kerumunan kebanyakan beralih ke media sosial, selebihnya di lingkungan rumah, sungguh hidup bebas hanya seluas pagar halaman rumah.

Guna memutus penularan pagbeluk, pemerintah mengeluarkan edaran surat akan pelarangan berkerumun, seperti pukul 21.00 harus sudah kembali ke rumah, bangun pagi menjemur tubuh. Bahkan dilarang untuk melaksanakan hajatan.

Lalu, seperti apa fenomena baru yang tumbuh dikalangan sosial masyarakat, setelah sewa kelola sound sistem mandek beberapa tahun. Baik, mari kita ulas sedikit.

Kesenian musik oklik

Kesenian merupakan salah satu bagian dari unsur kebudayaan yang menyimpan berbagai nilai keindahan. Seperti halnya bunyi kentongan. Jika membaca dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, kentongan merupakan bunyi yang berasal dari bambu atau kayu berongga.

Oklik adalah kesenian musik tradisional yang dihasilkan dari bunyi kentongan terbuat dari bambu.  Tradisi itu sudah ada sejak masa dahulu, pada biasanya masyarakat menggunakan musik oklik untuk membangunkan sahur bagi orang-orang muslim dibulan Ramadhan.

Kelompok oklik sering kita jumpai diberbagai pelosok Indonesia, khusunya di Kabupaten Bojonegoro, dengan bunyi yang khas dihasilkan dari kentongan, maka oklik menjadi kesenian murni yang lahir dari kota Bojonegoro.

Pemerintah daerah memang sudah baik, dalam merawat kesenian dan kebudayaan tersebut, bagaimana mempertahankan nilai-nilai seni itu sendiri. Kemudian lahirlah Festival Oklik di setiap tahunnya di bulan Ramadhan. Dengan demikian apakah masyarakat akan sadar tentang subtansi kesenian oklik sendiri. Sebagian belum.

Aku mencoba untuk mencari keterikatan, bagaimana fenomena oklik kian tidak menjamur lagi di Bojonegoro lambat tahun. Karena sound sistem lebih diminati oleh para pemuda untuk membangunkan sahur. Dengan musik DJ dan dangdut. Ketika sudah pukul 01.00 mereka berbondong-bondong menggunakan roda empat keliling kampung dalam satu kecamatan.

Jika kalian tidak percaya, coba keliling ke pasar-pasar tengah malam, dibeberapa kecamatan yang ada di Bojonegoro. Apakah mereka lebih minat menggunakan kentongan, atau sound sistem. Kalau pun ada sebagian kecil, bahkan lebih kecil. Mereka beranggapan lebih simpel dan praktis.

Disisi lain, apakah ada kaitannya tentang Tukang Salon dengan Pandemi. Menerututku sedikit ada, bagaimana sound sistem yang beralih fungsi dari hajatan (sewa) ke hajatan bersama yang tidak terikat oleh apa pun, dan siapa pun. Karena digunakan di bulan Ramadhan. Walaupun sebenarnya itu sangat berisik dan mengganggu dengan volume suara begitu keras.

Bagaimana untuk menyikapi persoalan demikian. Iya, tidak apa-apa itu hak setiap orang. Akan tetapi, aku mencoba untuk memberikan moderasi solusi yang sekiranya lebih baik.

Bukankah hidup adalah seni, maka ketahuilah kesenian hidup, jika hidupmu dengan cara berseni, maka akan ketemu bertemu dengan energi-energi kesenian lain. Maka dari itu, mari pertahankan kesenian oklik leluhur, kampanyekan sebesar-besarnya, dan sekeras-kerasnya bisa menggunakan sound sistem keliling atau speaker aktif kamar (tidak mungkin ya).

Maksudku begini, coba pertimbangkan. Lebih efisensi dan estetis mana, bunyi kentongan dengan bunyi sound sistem. Silahkan berpikir (aku sudah capek).


Penulis : Muhammad Andrea