"Sebuah kampung identik dengan rumah-rumah kecil yang keberadaannya jauh dari pusat perkotaan. Ketika pagi mereka beraktivitas dengan matahari, hingga bulan sebagai teman bergadang sepanjang malam. Begitu pun mata-mata sunyi telah dilahirkan".

Dua tahun lalu, aku menyempatkan mampir di sebuah kampung pedalaman yang terhimpit di antara bukit, hutan, dan gunung kapur. Kutempuh tiga jam untuk sampai di lokasi.

Kampung itu terkenal akan populasi penduduk yang menyandarkan nasib sebagai petani dan peternak, ada juga sebagian yang jualan kelontong, kopi, dan kebutuhan dapur.

Pukul 13.00 aku sampai di kediaman rumah Pak RT bermama Santoso, ia bercerita tentang kampung yang khas, daerah terpencil, daerah agraris, daerah yang sokong sumber mata air dari sendang sekaligus sungai.

Selesai asar kuperlihatkan puluhan bekerja dengan lahan dengan menanam padi (lahan subur), menanam jagung, kacang, dan singkong (lahan kering perbukitan), pembenihan lele (sekitar sendang sekaligus perawatan lembu (atas bukit).

Dengan jumlah populasi penduduk begitu banyak, mereka bekerja dengan nasibnya sendiri, merawat usia dari matahari terbit hingga terbenam. Sebuah kampung telah dilahirkan oleh nenek moyang dan danyang.

Santoso seorang kepala RT yang dipercayai oleh Pemerintah setempat sebagai tuan suku untuk bertanggung jawab terkait administrasi kedesaan. Melaporkan jika ada yang perlu dikordinasikan terkait dengan lingkungan.

Dia generasi ke sembilan dari leluhurnya. Sebelum kampung itu dilahirkan dari simbol-simbol kehidupan yang menjadikan aktivitas begitu produktif sampai hari ini.

Lingkungan Pertanian

Sebuah kampung dilahirkan dari para leluhur dengan berbagai ritual adat dan kepercayaan dalam membangun ekosistem berkelanjutan tanpa memberikan dampak buruk serta merugikan bagi ekosistem, kemudian mengambil saripati dan subtansi nilai-nilai kebudayaan yang humanis.

Para petani setempat memiliki tanah dengan jumlah tidak begitu besar, akan tetapi lebih dari cukup sebagai ketahanan pangan untuk generasi anak cucu dengan memakai aturan lama peninggalan leluhur begitu efektif dan efesien.

Lambat tahun, populasi penduduk begitu meningkat drastis. Dari satu keturunan dengan keturunan lainnya tumbuh subur di lingkungan. Maka ada perubahan secara pengelolaan, dan pembagian lahan pertanian.

Lahirlah sebuah generasi baru, generasi buruh tani (orang-orang penggarap). Dengan konsep yang unik, ada bagi hasil pertanian, sewa lahan, pembebasan, dan kerja upahan harian. Tentu kepala suku harus bijak menyelesaikan persoalan itu, dengan sikap yang lembut berwatak tegas tentang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, karena memiliki satu keturunan dengan leluhur.

Dengan demikian, lahirlah sebuah solidaritas yang utuh yang dipimpin oleh kesepakatan musyawarah tertinggi. Mereka berbondong-bondong menciptakan alat-alat produksi secara mandiri, dengan media yang bisa digunakan masa itu. Seperti Kerakal, Garu, Dos, sungai kecil.

Disisi lain, peran dari seorang tuan tanah juga signifikan sekali yang pernah membangkang dengan kepala suku, bagaimana ia harus memodernisasi cara bertani sampai ke akar rumput, kebetulan juga disokong oleh arus perkembangan teknologi begitu pesat. Seperti, traktor dan kombi.

Kampung halaman yang dulu mengendepankan nilai-nilai kemanusian secara sosial dengan gotong royong (soyo), beralih terhadap kepentingan individual dan kelompok tertentu.

Lingkungan Peternakan

Sebagian ada yang beraktivitas sebagai perawat lembu, domba, ayam, dan lele. Ketika sebagian masyarakat yang memiliki lahan di daerah perbukitan, manfaatkan sebagai kandang sapi. Rata-rata per warga memiliki 3-5 ekor sapi yang di rawat inap di bukit. Mereka menempatkan peternakannya jauh dari perkampungan dengan berbagai alasan.

Pertama, lembu digunakan untuk membajak lahan, kemudian ditanami, padi, kacang, jagung, dan polo pendem lainnya. Walaupun resiko maling sapi tertinggi, namun di antaranya lebih suka bergadang di kebun dengan bulan sembari menjaga perawatannya hingga larut pagi, pekerjaan itu sudah dilakukan turun temurun puluhan tahun lamanya.

Berbeda dengan masyarakat yang hidupnya dekat dengan sendang, sebuah sumber mata air begitu besar. Ia memanfaatkan sebagai pendapatan, karena siapa pun boleh menggunakan (bebas) kecuali tidak dikomoditi menjadi nilai lebih yang berdampak pada ribuan masyarakat.

Mereka menggunakan air tersebut sebagai kebutuhan sehari-hari, seperti minum, mandi, dan masak. Ada juga yang beternak lele, dari pembenihan dan pembesaran.

Secara fungsi masyarakat mengamati betul, tentang penggunaan yang tidak berlebihan, dengan mengambil secukup-cukupnya tidak lebih dan tidak kurang.

Oleh sebab itu, sebagai manusia hendak belajar menjernihkan pikiran dan hati untuk menjadi pengamat paling intens dalam kebudayaan manusia di kampung-kampung terpencil. Walaupun kita hidup di era informasi dan teknologi begitu masif, namun semua itu tidak lantas menjadi budaya baru yang harus dipercaya dan dibenarkan begitu saja, sebelum kita mencoba berdialog, berdiskusi, dan mencatat cerita-cerita kecil yang pernah dilahirkan dan punah diusia waktu tertentu.

Perkembangan arus teknologi sangat memengaruhi ekosistem yang pernah lahir dari leluhur itu sendiri. Faktornya adalah ketimpangan ekonomi yang mengakibatkan terputusnya nilai-nilai kebudayaan sendiri.

Hemat penulis, kebudayaan adalah bentukan dari manusia yang ada disekitar, budaya sendiri prodak dari aktivitas keseharian yang melibatkan banyak elemen masyarakat, baik secara kepercayaan dan agama. Ketika kampung halaman sudah kehilangan kebudayaan murni, maka eksistensi nilai-nilai kemanusiaan akan meninggalkan ruang-ruang tertentu. Karena desakan budaya baru yang sudah diekploitasi oleh kepentingan tumpang tindih ekonomi politik.

Penulis : Muhammad Andrea