Di jalan anggrek gang rumah aspal terjadi penangkapan dugaan kasus korupsi.

Rima, halaman kosku dipenuhi wartawan dan keamanan, garis-garis polisi mengikat pohon rindang hingga ujung batas batu menuju gerabah tuan tanah setempat. Aku tetap berbaring santai di atas kursi bawah pohon mangga sebelah kanan rumah dekat Masjid.

Malam itu begitu ramai, namun telingaku tak pernah berbicara, bayangan cahaya yang begitu cepat menghilang dari jauhnya imajinasiku menangkap informasi belum tentu kejelasannya. Aku pun cukup menulis dari kejauhan sesekali memandang kelembutan senyum manismu.

Sirena mobil polisi berdekup begitu kencang, nyaring terdengar seluruh kota, orang-orang yang berbondong-bondong menyaksikan, media-media penuh dengan berita penangkapan atas dugaan suap yang dilakukan pemangku kebijakan.

"Dugaan, itu bisa jadi beneran, bisa jadi tidak," anganku sambil memegang pena melukis huruf pada kertas yang akan ku kirim kepadamu.

"Ayo, yang dingin yang dingin, yang hangat yang hangat" sautan berdesakan dari para pedagang asongan memasuki ratusan orang-orang yang pada menyaksikan hingga menerobos garis polisi.

Rima, sudah 40 tahun air-air yang mengalir dibungkus plastik dan dijual di pelbagai sudut Desa hingga Kota. Aku tidak membayangkan sebelumnya, sumur-sumur yang melimpah, danau-danau yang bening, sungai-sungai yang mengalir dari hulu hingga hilir tidak ada habisnya kalau hanya menahan kehidupan manusia dimasa itu secara gratis dipungutnya sepanjang masa, namun kini harus berbayar dengan kemasan yang relatif sama rasanya.

Sebagaimana, timba, bak, tong, dan gentong menimbun ribuan kubik air sebagai penyangga nyawa setiap hari hingga sanak kadang keturunan. Sebagaimana air gunung mengalir ke industri dan pabrik, dikirim ke pelbagai kota untuk dikonsumsi sekaligus steril dari kuman. Begitulah kondisi kota dengan dinamisasi modern di dunia. Kalau tidak punya uang akan dahaga dan mati kelaparan.

Rima, bulan juli aku akan pulang ke rumah, mengukur jarak dengan waktu, berbaring mesra dengan burung-burung yang berkicau pagi hari, memburu senja setiap sore di batas lahan petani desa, desir air sungai gemercik mengundang suasana begitu tenang, gemuruh angin sore menerpa kehidupan tanpa beban di pedesaan dalam mengasingkan diri dari beberapa persoalan kehidupan.

"Bisakah kau jemput aku, di gang nestapa dekat parkir para buruh tembakau itu". pintaku malam itu dengan pahatan bintang bersembunyi dibalik tebing mendung begitu tebal.

Ku bawakan surat sepenggal puisi untukmu yang tak siapa pun bisa memahaminya, hanya kamu satu-satunya perempuan manisku, cantikku yang mampu membaca puisi ini hingga terlelap tidur malammu yang indah.

Genggaman kertas yang ku tulis malam itu, masih utuh, dan masih harum. Tidak ada satu orang pun yang bisa merampas dan mengambil dari tangan kiriku Rima.

Rima, di tengah perjalanan aku dikejar-kejar oleh tiga orang yang tidak ku kenal, debu jalan menabur duri gang desa tempatku bersinggah, melototi tempatku berdiri menunggu jemputanmu, aku masih tetap berdiri tanpa berpindah kemana pun, ku amati diantara mereka, ada satu orang yang berpura-pura mengangkat telephone, dua orang lagi yang pura-pura saling berbicara berhadap-hadapan di sebelah kanan jalan sambil mengintip keberadaanku dari sela-sela kemeja merah yang dipakai oleh temannya.

Dan aku segera meninggalkan lokasi, situasi sedang tidak baik-baik saja, sepeda tua ku pancal dengan sekuat tenaga memasuki gang-gang rumah tua, joglo, hingga toko-tokok kecil, kemudian terdengar ledakan dari arah perkebunan tebu. Entah aku tidak ingin tahu soal itu. Ada seorang wanita tua, memanggilku dengan suara lirih, jalan-jalan yang sepi, tidak ada satu pun warga yang lewat jalan itu.

"He, sini masuk ke rumahku" panggilan dia sembari melihatku, yang ngos-ngosan dari kejaran orang.

Aku bawa masuk sepedaku, di rumah yang begitu sederhana, bangunan bambu beratap genteng, dan hanya terdapat satu kamar dan dapur. Hidungku begitu pengap, serasa oksigen tidak mampu menembus jendela, tidak ada setitik cahaya yang mampu memasuki rongga kediaman, pikiran yang kacau dan hati yang resah, serasa ingin nyaman dan aman hidup di Negara sendiri.

Surat masih utuh ku genggam Rima, tidak ada sedikit pun robek, huruf-huruf yang masih utuh berbaris rapi dengan mangsi, ku lipat dua kali, biar kamu mudah membukanya. Dan aku segera keluar dari pintu belakang rumah, pohon-pohon yang kehilangan ranting, daun, dan buah, rumput-rumput yang menari dengan puisi, bunga-bunga yang sulit bernafas, aku menerjang sampai batas pagar rumah kepala Desa.

Rima, kamu harus bersabar, tunggulah kedatanganku dalam keadaan sepi dan hening, malammu akan baik-baik saja, jangan resah, aku pasti datang tepat waktu.

Suara gemercik air masih juga terdengar, gemuruh angin memeluk hangat badanku, aku masih kuat membawa surat puisi ini untukmu.

Salam...!

Muhammad Andrea

penggemar Padepokan Sajak dan Puisi dalam ruang Cerpen maupun Cermin.