Waktu emak si Inem menemui ibu, Inem sedang memasak air di dapur. Aku turut menemui emaknya. Dan tamu itu, ibu dan aku duduk di bale rendah berwarna merah.
“Ndoro”, kata emak si Inem, “aku datang untuk meminta si Inem”.
“Mengapa si Inem diminta? Bukankah lebih baik kalau dia ada di sini? Engkau tak perlu mengongkosi dan dia di sini bisa belajar masak”.
“Tapi, ndoro, habis panen ini aku bermaksud menikahkan dia”.
“Ha?”, seru ibu kaget. “Dinikahkan?”.
“Ya, ndoro. Dia sudah perawan sekarang – sudah berumur delapan tahun”, kata emak si Inem.
Sekarang ibu tertawa. Dan tamu itu heran melihat ibu tertawa.
“Delapan tahun ‘kan masih kanak-kanak?”, tanya ibu kemudian.
“Kami bukan dari golongan priayi, ndoro. Aku pikir dia sudah ketuaan setahun. Si asih itu mengawinkan anaknya dua tahun lebih muda daripada anakku”.
Ibu mencoba menghalangi maksud perempuan itu. Tetapi emak si Inem punya alasan lain.
Akhirnya tamu itu berkata lagi:“Aku sudah merasa beruntung kalau ada orang minta. Kalau sekali ini lamaran itu kami tangguhkan, mungkin takkan ada lagi yang meminta si Inem. Dan alangkah malunya punya anak jadi perawan tua. Dan barangkali saja nanti dia bisa membantu meringankan keperluan sehari-hari”.
Ibu tak menyambut. Kemudiannya ditentangnya aku dan berkata: “Ambilkan kotak sirih dan paidon*”.
Aku pun pergilah mengambil tempat sirih dan tempolong ludah yang terbuat dari kuningan.
“Dan apa kata laki mbok Inem?”.
“O, bapak si Inem setuju saja. Apalagi si Markaban anak orang kaya – anak satu-satunya. Dia sendiri sekarang sudah mulai turut berdagang sapi di Rembang, di Cepu, di Medang, di Pati, di Ngawen dan juga di Blora sini”, kata mbok Inem.
Ibu nampak gembira mendengar kabar itu. Kegembiraan yang aku tak mengerti mengapa. Kemudian dipanggilnya Inem yang sedang menjerang adir di dapur. Inem datang. Dan ibu bertanya: “Inem, sudah maukah engkau dikawinkan”.
Inem menundukkan kepala. Ia sangat hormat terhadap bunda. Tak pernah satu kali pun kudengar dia membantah. Memang tidak jarang terdapat pada seseorang, bahawa dia tak punya tenaga untuk membantah apa saja yang dikatakan orang padanya.
Waktu itu kulihat Inem berseri-seri. Sering ia kelihatan seperti itu. Berikan apa saja padanya yang akan menyenangkan hatinya barang sedikit, dan ia akan berseri-seri.
Tapi ia tak biasa mengucapkan terima kasih. Dalam pergaulan keluarga-keluarga orang sederhana di kampung kami, kata terimakasih masih asing. Hanya seri yang memancar di paras jua ucapan itu mendapat jalan.
“Ya, ndoro”, kata Inem perlahan sekali hampir tidak terdengar.
Kemudia mbok Inem dan ibu makan sirih. Ibu sendiri tak suka sering-sering makan sirih. Ini dikerjakannya bila ada tamu perempuan saja. Dan sebentar-sebentar diludahkan dubangnya** ke tempolong kuningan.
“Mbok Inem”, kata ibu waktu Inem sudah kembali ke dapur. “Anak-anak kecil tidak boleh dikawinkan”.
Mbok Inem heran mendengar perkataan ibu itu. Tapi ia tak berkata apa-apa. Juga matanya tak bertanya.
“Aku kawin pada umur delapanbelas”, kata ibu.
Keheranan mbok Inem hilang. Ia tak heran lagi sekarang. Tapi ia tetap tak berkata apa-apa.
“Mbok Inem, kanak-kanak tak boleh dikawinkan”, ibu mengulangi.
Dan mbok Inem heran lagi.
“Nanti anaknya jadi kerdil-kerdil”.
Keheranan mbok Inem hilang lagi.
“Ya, ndoro”, kemudian ia berkata dingin, “emakku kawin pada umur delapan juga”.
Ibu tak peduli dan meneruskan: “Bukan saja tubuhnya kerdil, juga kesehatannya terganggu”.
“Ya, ndoro, tapi keluarga kami tergolong keluarga yang berumur panjang. Emak masih hidup sampai sekarang, sekalipun umurnya sudah lebih dari 59 tahun. Dan nenek pun masih hidup. Kukira umurnya ada 74. Masih gagah dan masih kuat menumbuk jagung”.
Ibu tak juga mau peduli, meneruskan: “Apalagi kalau lakinya kanak-kanak juga”.
“Ya, ndoro, tapi Markaban sudah berumur tujuhbelas tahun”.
“Tujuhbelas tahun! Bapak si Mamuk baru kawin dengan aku waktu dia berumur tigapuluh tahun”.
Mbok Inem berdiam diri. Tak henti-hentinya ia memutar-mutar tembakau yang terselit di antara kedua bibirnya. Sebentar tembakau itu dipindahkan ke kanan, sebentar ke kiri, sebentar lagi digulung-gulungnya untuk penggosok giginya yang hitam arang itu.
Sekarang ibu tak punya alasan lagi untuk menahan-nahan kehendak tamunya. “Kalau sudah jadi kehendak mbok Inem untuk mengawinkannya, ya, moga-moga Inem mendapat lagi yang baik yang dapat menguruskannya. Dan moga-moga dia mendapat jodohnya”.
Mbok Inem pulang dengan masih jua memutar-mutarkan tembakau dalam mulutnya.
“Moga-moga tak ada kecelakaan menimpa diri anak kecil itu”.
“Mengapa ada kecelakaan menimpanya?”, tanyaku.
“Tidak, Muk, tidak apa-apa”. Kemudian bunda merubah arah percakapan. “Kalau keadaan keluarga mereka jadi baik, nanti takkan ada ayam kita yang hilang”.
“Dicurikah ayam-ayam kita, bu?”, tanyaku.
“Tidak, Muk, tidak apa-apa”, ibu berkata perlahan-lahan. “Anak begitu kecil. Baru delapan tahun. Kasihan. Tapi mereka butuh wang. Dan jalan satu-satunya hanya mengawinkan anaknya”.
Limabelas hari sesudah kedatangannya, mbok Inem datang lagi untuk mengambil anaknya. Senang betul kelihatannya waktu si Inem tak membantah dibawa.
Dan waktu Inem akan meninggalkan rumah kami untuk takkan jadi anggota keluarga buat selama-lamanya, ia berkata padaku di pintu dapur: “Sudah, ya, gus Muk. Inem pulang, gus Muk”, katanya perlahan sekali.
Ia selalu bicara pelan. Dan kepelanan adalah salah satu dari adat untuk pergaulan kota kecil kami buat menyopankan diri. Ia pergi dengan keriangan kanak-kanak yang akan menerima baju baru.
0 Komentar