Makam Raden Bagus Lancing
Icon gerbang pintu masuk balai Desa menjadi tren—popularitas kesejahteraan dan kemajuan bagi peradaban manusia modern, persepektif masyarakat terbawa arus dalam ruang lingkup administrasi formalitas tata kelola kota, bahwa kategorisasi Desa yang maju bisa membangun pintu gerbang memasuki—pedesaan atau balai Desa dengan konsep minimalis—objek budaya berdasarkan teritorial wilayah tertentu.

Bisa kita amati seksama, bahwa belakangan ini telah terjadi tren di belbagai daerah, dalam memprioritaskan rencana pembangunan pintu gerbang Desa sebagai identitas khusus untuk meningkatkan infrastruktur sekaligus daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang ramah lingkungan.

Jika kita telusuri ke belakang Indonesia yang menjadi bagian dari wilayah Nusantara atau generasi leluhur dari puluhan keturuan juga pernah melakukan hal yang sama—terkaitan dengan bangunan-bangunan besar yang berdiri berdampingan seperti pintu gerbang pajajaran hingga ibu Kota Kerajaan.

Memang, bicara tentang pulau Jawa, tidak lepas terkaitan dengan kehidupan sosial kultur masyarakat yang masih kental memegang erat budaya nenek leluhur walaupun semi-semi eropa yang dipelopori oleh belanda hingga sanak kadangnya, akan tetapi bangunan—infrastruktur megah memasuki kerajaan bagian dari pembatas pada wilayah kekuasaan tertentu.

Disini penulis akan mendeskripsikan sebuah bangunan pintu gerbang Desa yang berada disalah satu Desa dalam satu Kabupaten, lebih tepatnya di Desa Clebung Kecamatan Bubulan Kabupaten Bojonegoro, disitu terdapat pintu gerbang dengan konsep minimalis—objek sekitar yang bertuliskan Sumare Kanjeng Raden Bagus Lancing Kusumo.

Kemasan bangunan yang apik, membawa kita pada sebuah imajinasi yang begitu klasik dan sederhana, atau sudah representasif sesuai dengan objek destinasi wisata—rohaniyah (makam penyebar agama Islam pertama di desa).

Dari sumber informasi yang penulis dapatkan dari juru kunci pesarehan, bahwa Raden Bagus Lhancing merupakan seorang yang melarikan diri dari kerajaan Pajang, ketika didapati perlawanan belanda yang begitu agresif, bahasa melarikan diri ini konotasinya penakut, padahal ada sisi lain untuk memahami setiap tekstual yang disampaikan juru kunci, bahwa pelariannya dimasa penjajahan kolonialisme Belanda bukan karena takut, akan tetapi lebih pada menarik mundur pasukan perang dan bergrilya ke daerah pelosok ujuang timur Pulau Jawa guna berdakwah menyebarkan Agama Islam.

Jika kita membaca ulas perjalanan Raja Pajang sultan Hadiwijaya ketika memutuskan untuk  memindahkan pusat pemerintahan dari pesisir utara jawa ke pedalaman (Surakarta), bagian dari strategi kekuasaan untuk menguasai batas-batas wilayah yang belum dijamah oleh demak.

Dalam buku Nusa Jawa ; Silang Budaya karya Denys Lombard menggambarkan kerajaan Hindu-Buddha yang terakhir, Majapahit, telah mengalami keruntuhan. Kepemimpinan pun tergantikan pada kerajaan-kerajaan Islam yang banyak mengambil lokasi di daerah pesisir. Salah satunya yang terbesar adalah Kerajaan Demak. “Namun, kewibawaan kerajaan pesisir ini tidak bakal lama. Sesudah kematian raja termahsyurnya, yaitu Sultan Trenggana, tampil penguasa selanjutnya yang mengembalikan pusat kegiatan ke daerah persawahan pedalaman.

Maka tidak heran lagi, bahwa Kerajaan Pajang tampil menjadi lumbung padi di tanah Jawa. Wilayahnya yang sangat subur dan air mudah ditemukan membuat pertanian di daerah ini menjadi maju. Dengan memanfaatkan aliran air Sungai Bengawan Solo, padi dan hasil pertanian lain pun bisa dipasarkan ke berbagai penjuru daerah.

Masih dengan perpindahan pusat kerajaan ke pedalaman yang dilanjutkan lagi oleh raja Mataram berpengaruh besar atas perkembangan peradaban Jawa pada abad ke-18 dan 19. Meski perawakan Hadiwijaya ini lemah lembut dan selalu berpikir matang sebelum memutuskan sesuatu, di bawah pemerintahannya dari 1549 hingga 1582, Pajang bisa menguasai pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Diantara beberapa Daerah kekuasaan Pajang mencakup di sebelah barat Bagelen (Lembah Bogowonto) dan Kedu (Lembah Progo Atas). Sekitar 1578, Pajang melakukan perluasan wilayah hingga ke Banyumas. Sedangkan, ke arah timur, Pajang bisa menguasai wilayah Madiun hingga ke Blora.

Raja Hadiwijaya dikenal masyarakat sebagai raja Islam yang pandai berdiplomasi (bekerjasama). Ini yang membuat para pemimpin wilayah di pesisir Jawa Timur mengakui kedaulatannya pada tahun 1581. Ia juga sering mengadakan pertemuan antara raja kecil di wilayahnya tersebut. Salah satunya yang dilangsungkan di Istana Sunan Prapen di Giri yang dihadiri oleh Bupati dari Jipang, Wirasaba, Kediri, Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem,Tuban, Pati, dan bupati Surabaya. Disebutkan pula bahwa wilayah Arosbaya (Madura Barat) mengakui pula kedaulatan Pajang sehingga bupatinya bernama Panembahan Lemah Duwur pun diangkat menjadi menantu Sultan Hadiwijaya.
Silsilah Raden Bagus
Kembali lagi, pada perjalanan Raden Bagus Lancing Kusumo, dari cerita turun temurun, masa itu ia memasuki wilayah yang terdapat banyak tumbuhan pohon bambu, dan tidak ada pohon jati sama sekali, benar-benar perjuangan dimulai dari titik nol sebagai seorang satu-satunya perintis Desa, dengan memanfaatkan tumbuhan pohon bambu muda (bung) sebagai sumber makanan kehidupan sehari-sehari.

Tidak hanya itu, ketika Raden Bagus lagi menelan makanan dari sayur tersebut dirinya tersedak (makanya mengganjal di leher), dan akhirnya ia berdoa kepada Allah untuk membuat galian sumur (saat ini Sendang Ngeneng), ternyata keluarlah air yang dipergunakan untuk minum.

Setelah mendapatkan sumber air pertanda akan ada kehidupan sepanjang masa, tak butuh berpikir lama lagi, Raden segera membabat lahan untuk di tanami bahan pangan sebagai keberlangsungan kehidupan untuk masyarakat sekitar dengan mentergantungkan hidup sebagai petani.

Hemat penulis, coba kita tarik ulur benang hijau masa hidup Raden Bagus Lancing Kusumo dengan Kerajaan Pajang, ternyata terdapat konsep kehidupan ekonomis strategis yang sama, terkait dengan ilmu-ilmu Pertanian yang dimiliki oleh Raja Pajang menggunakan sungai bengawan solo sebagai sumber kehidupan berkelanjutan, begitu pun Raden Bagus yang membuka sendang air sebagai modal kehidupan masyarakat. Bagi kita sebagai generasi muda, mari kita angkat kultur budaya dan sejarah perjalanan nenek leluhur—sebagai cerminan modal sosial masa depan.

Penulis : Muhammad Andrea

Refrensi 
Buku Nusa Jawa; Silang Budaya
Buku Babad Tanah Jawa
Juru Kunci Makam Raden Bagus Lancing Kusumo