Sore menjelang magrib, sambil menunggu waktu berbuka puasa, saya berkeliling desa, melihat lahan pertanian milik masyarakat sekitar, lahannya memang keras tidak sesuai bila ditanami padi, cocoknya cuma singkong dan jagung sekaligus cabe-cabe kecil yang baris-berbaris dibatas lahan.
Langkah kaki yang begitu pelan sembari mengamati orang-orang yang sedang menanam, tidak lama kemudian saya dipertemukan dengan bapak yang usianya sekisaran 40 tahun lagi duduk sendirian diatas batas (galengan) sawahnya, dia lagi istirahat selesai merawat sekaligus menambah pupuk untuk tanaman singkong dan jagung, supaya terhindar dari hama atau semacam penyakit terhadap tumbuhan dengan harapan hasil panen memuaskan.
Nama bapak itu tidak boleh disebutkan dalam tulisan ini, bapak ini seorang petani jagung yang meneruskan perjuangan nenek moyang kelahiran dari ratusan tahun lamanya, tanaman jagung dapat dipanen sekisaran 4-5 bulan sekali, jadi dalam kurun waktu satu tahun bapak menanam dan memanen dua kali.
Harga singkong dan jagung memang tidak seberapa, seperti gabah yang melambung tinggi harganya dan petani merasa bahagia sekali (tapi boong), disitulah ketabuhan yang tidak bisa diselesaikan sampai hari, setiap musim panen harga gabah jatuh seperti mangga yang habis dimakan kelelawar dan tidak ternilai buahnya.
Disini saya tidak akan membahas tentang padi atau gabah, lebih ke pengelolan dan pengembangan tanaman jagung yang menjadi prioritas budidayanya, dia sangat setia dengan profesi sebagai petani jagung, dengan demikian dia bisa mempertahankan hidup se-keluarga, cukup makan dengan nasi jagung dan lauk jagung serta cemilan jagung ketika hujan turun tanpa disengaja.
Ditengah pandemi seperti ini, alangkah baiknya, kebutuhan pokok manusia di bumi tersandangkan oleh hasil pertanian yang masih konsisten dalam pengelolaan lahan berbagai variasi tanaman yang bisa menunjang kebutuhan makan setiap hari maupun jangka panjang, Namun pada faktanya kebutuhan manusia tetap impor dari luar negeri. Mirisnya negeri agraris, bagaikan malin kundang yang selalu membenci ibunya tanpa mengakui kesalahannya sendiri.
Terkadang Kebijakan Pemerintah selalu tidak sesuai harapan masyarakat, walaupun sudah ada upaya dalam menempatkan sasaran-target, akan tetapi melihat secara objektif aktifitas masyarakat sehari-hari, akan menemukan puluhan metodologis yang digunakan oleh masyarakat dalam mempertahankan hidup, khususnya menghadapi krisis pangan yang berkepanjangan mengakibatkan kelaparan dan kematian.
Dari perjalanan sore itu, saya mendapatkan banyak ilmu pengetahuan, inspirasi dan pengalaman dari bapak yang berani mempertahankan pekerjaan sebagai petani jagung yang pendapatannya tidak seberapa, jika dibandingkan dengan pekerjaan yang lebih dominan pada penguasaan lahan, dengan watak mempekerjakan dan meadset berpikir ala-ala kemajuan eropa tempo dulu.
Konsep dan kesederhanaan yang dimiliki oleh seorang bapak tersebut begitu sederhana, sekiranya jagung bisa disulap menjadi puluhan variasi makanan, tidak menggunggah untuk melakukan eksvansi lahan dalam meningkatkan produksi dan keuntungan lebih besar, pada dasarnya ia cuma sekedar hidup secara berkecukupan menghindari kerakusan.
Wajah lusuh, keringat menetes membasahi baju dan cangkulnya, dia tetap optimis terhadap kehidupan, pada hakikatnya manusia serakah, bernafsu ingin menguasahi segala sektor kebutuhan, dengan keserakahan akan tumbuh kezaliman yang akan merugikan jutaan mahluk hidup dan lingkungan.
Hasil panen yang melimpah dengan lahan cuma beberapa petak, dia mampu mengembangkan dan mengelola menjadi berbagai variasi makanan, jagung yang disulap menjadi nasi, jagung yang disulap menjadi marneng, jagung yang disulap menjadi pelas atau emplek-emplek, sangat banyak temuan-temuan baru yang didapat dari hasil pertanian, apalagi bangun pagi menyantap karon ditemani secangkir kopi.
Hemat saya, kita sebagai partisipan petani yang secara tidak sadar, lahir dari keluarga petani dengan harapan orang tua jauh dari profesi yang diinginkan, dan selalu lebih baik yang diharapkan. Kita pun juga tidak boleh berambisi dan bercita-cita tinggi jauh dari profesi keluarga, bahwa orang tua butuh tenaga baru dan ahli sesuai dengan bidangnya, pepatah bilang, "wong jowo ben ora keri jowone". Orang jawa biar tidak ketinggalan konsep kehidupan orang jawa.
Penulis : Muhammad Andrea
Kamis, 14/05/2020
0 Komentar