Ada sebuah lirik lagu yang menarik untuk kita baca sebentar ; Engkau sarjana muda, Resah mencari kerja, Mengandalkan ijazahmu, Empat tahun lamanya, Bergelut dengan buku, Tuk jaminan masa depan.
Sebuah lagu fenomenal dan terpopuler sampai hari ini dengan judul "Sarjana Muda" yang di release oleh Iwan Fals pada tahun 1986, itu pun saya belum lahir, dan lagu itu sampai hari masih terasa maknanya sesuai dengan realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang baru saja selesai menyandang statusnya sebagai sarjana muda.
Lagu yang ditulis oleh Iwan Falas tersebut memberikan gambaran atas situasi dan kondisi masa itu, memperlihatkan arti bahwa terdapat masa sulit bagi lulusan sarjana dalam mencari pekerjaan, perlu kita refleksikan bareng-bareng Lembaga Pendidikan yang lahir di Indonesia tidak lepas dari peran Belanda, dengan berbagai konsep dan ide hingga pada fungsi kultural masyarakat sangat erat sekali dengan kehidupan belanda.
Dengan demikian, kita tidak akan bisa melepaskan antara hubungan Pendidikan dengan Pekerjaan, ketika pabrik dan industri didirikan di Indonesia oleh Belanda, siapakah yang punya hak untuk bekerja (menjadi buruh) mereka adalah orang-orang yang berpendidikan, itu pun para kaum bangsawan bisa juga dari tuan tanah (lahannya luas) atau adipati (bupati) yang ditunjuk oleh belanda sendiri dengan harapan bisa sami'na wa-atho'na segala perintahnya.
Tidak heran, jika hubungan antara Pendidikan dan Pekerjaan sangat dekat sekali, tidak bisa dipisahkan apalagi menghilangkan identitas dan menghapus meadset berpikir masyarakat, maka secara substansi, tujuan sekolah untuk mendapatkan pekerjaan seolah menjadi persyaratan mutlak di dunia perusahaan, pabrik dan industri. Lebih parahnya lagi mengesampingkan dunia pertanian yang seharusnya menjadi sumber kehidupan rakyat Indonesia dengan potensi lahan yang subur dan istimewa.
Kalau kita amati bersama hampir rata-rata, apa yang diharapkan oleh orang tua kita semua, ketika disuruh sekolah sampai setinggi mungkin, biar tidak jadi seorang petani seperti apa yang dirasakan oleh orang tua (petani), kalau bisa menjadi pegawai Negeri (PNS) dengan gaji yang memuaskan atau bekerja pada tempat yang formal sekaligus ringan.
Masih dalam persoalan pendidikan, bagaimana bisa mendorong bahwa Pendidikan itu sama hal memakan sepiring nasi sebagai kebutuhan primer, apalagi kalau dilihat dari kacamata kitab Ta'limul Muta'allim yang disusun oleh Burhanuddin Ibrahim al-Zarnuji al-Hanafi menjelaskan tentang wajibnya mencari ilmu, Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr : Artinya: ”Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan”.
Kewajiban dalam menuntut ilmu sebuah langkah awal bagi manusia, tidak bisa ditinggalkan, mengabaikan dan melupakan, karena manusia tanpa ilmu akan membuat ia buta di dunia, apalagi tidak menggunakan akal (pikiran) yang telah diberikan oleh Allah sebagai kenikmatan tidak terhingga.
Pada dasarnya pendidikan itu tidak ada kaitannya dengan Pekerjaan, kalau kita kutip dawuhnya Tan Malaka "Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan”. Jadi sama sekali pun tidak ada hubungannya dengan orientasi pekerjaan, bagi Tan Pendidikan itu melatih diri untuk peka terhadap dirinya sendiri dan sekitarnya, dengan ketajaman berpikir yang dimiliki oleh seorang terpelajar akan dapat memperhalus perasaan, sehingga wawasan keilmuan akan membawa kebijaksanaan bagi dirinya dan orang lain.
Kembali pada lirik lagu, sempat ada rasa yang sama sekali pun tidak akan berguna, jika status sarjana itu sama-sama pada umumnya, jadi tidak ada pembeda dari pada lainnya, secara tidak langsung status sarjana hanya sebatas formalitas pendidikan dengan gelar bla-bla-bla, sama sekali pun tidak mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat, fakta (harus disampaikan).
Tentu, tidak akan bisa sesempurna yang seperti diharapkan, cukup berterimakasih saja lah kepada Lembaga Pendidikan Formal strata Sarja (S1) yang sudah menjadi ruang diskusi ke-ilmuan, keberkahan dari para Dosen (guru) hingga lembaga-lembaga lain yang terdapat misi pengembangan sumber daya manusia (skil).
Tertulis 28 Novemver 2020 saya mengikuti alur prosesi Wisuda, sebagai penutup kelulusan dengan gelar sarjana, walau pun pada hakikatnya cuma biasa-biasa saja, mengabadikan sepuluh foto dengan bekal kopi dan rokok yang dibungkus rapi sekaligus map hitam berjudul Ijasah yang berisi Ikrar sebagai alumni Mahasiswa.
Saya sengaja harus berhenti satu tahun, dengan berbagai kendala dan hambatan yang perlu diceritakan, beberapa bulan lalu, ketika mendapatkan infornasi jadwal dari adik-adik kelas mengenahi pengajuan judul skripsi, dengan persyaratan harus lunas semua administrasi, sempat putus asa juga, sebanyak itu harus dibayar pakai apa. Dengan saran baik yang saya terima dari salah dosen bahwa segera selesaikan studimu tahun ini, al-hasil saya harus menjual sepeda motor beat warna biru muda, dari hasil penjualan masih saja belum bisa mencukupi.
Kemudian, saya mencoba komunikasi-silaturahim kepada orang-orang terdekat, akhirnya dapat pinjaman, dan Alhamdulillah berjalan lancar sampai hari ini bisa mengikuti prosesi Wisuda. Dan keraguan akan pentingnya ijasah masih sangat tabuh dalam pikiran saya, apalagi ketika bertemu dengan teman sekelas dulu (satu angkatan yang sudah wisuda lebih dulu) bilang, ngapain Wisuda, ijasah saya nganggur di rumah. Hahaha
Entah lah mengikuti saja alur dari kehidupan hari ini yang kian hari semakin unik, terkadang lucu dan terkadang harus serius dilakukan supaya tidak kecewa kemudian hari, mengambil kesempatan se-cepat mungkin, memanfaatkan kebutuhan untuk bekal dini hari.
Demikian lah apa yang bisa saya ceritakan se-singkat-singkatnya, marilah kita mengambil sedikit hikmah saja dari sebuah perjalanan dalam menuntut ilmu, niscaya akan ada jalan disetiap ruang dan waktu, ambillah segera waktu yang ada, jangan tertunda-tunda dengan hanya memikirkan masa lalu.
Waktu tidak akan bisa kita putar kembali, masa depan yang masih panjang, cendela dunia yang masih luas, bercita-cita lah menjadi manusia yang berilmu, supaya Tuhan memberi keberkahan dalam setiap kehidupan.
0 Komentar