Sebuah fenomena yang tidak asing lagi ditelinga kita, bahwa setiap membaca kitab klasik selalu lupa nama mushonif/pengarangnya, bahkan sosok perjalanan pengarang itu sendiri, kita lebih menikmati isinya-melupakan penulisnya. Dari situlah saya berinisiatif memperkenalkan kepada pembaca tentang dibalik perjalanan penulis kitab Al-Amtsilah Al-Tasrifiyah.
Saya masih teringat beberapa tahun belakangan ketika mengaji beberapa kitab klasik harus diawali dengan membaca basmalah dan mengirim surat fatihah kepada pengarangnya. Supaya mendapatkan keberkahan atas segala ilmu yang diabadikan dalam bentuk kitab sekaligus memuliakan pengarangnya.
Kalau kalian pernah membaca Kitab Ta'limul Muta'allim, pasti akan dipertemukan beberapa bait tentang menuntut ilmu, dan harus diamalkan oleh si-Thalibul Ilmi (penuntut ilmu) dalam kehidupan sehari-hari agar senantiasa menambah wawasan ilmu pengetahuan dan keberkahan bagi dirinya dunia serta akhirat.
Dalam hal ini, saya akan menceritakan sosok penulis kitab termasyhur dimasanya, bagi kalian pasti kenal/tahu dengan kitab Amtsilatul Tasrifiyah atau para santri menyebutnya Kitab Sharaf, kitab yang mempelajari tentang cara membaca kitab kuning (gundul) secara rinci dan detil serta cepat sekali. Dengan bilangan kata/kalimat sangat mudah dipahami dan dihafalkan.
Kitab sharaf merupakan karya dari Ulama Termasyur sebelum kemerdekaan Indonesia, dia bernama Muhammad Ma'shum Bin Ali Bin Abdul Jabbar Al-Maskumambani, Kiai Ma'sum lahir di Maskumambang Gresik Jawa Timur, sebelah pondok pesantren yang didirikan sang kakeknya.
Masa kecil Kiai Ma'shum dihabiskan belajar ngaji bersama ayahnya di rumah, dirasa sudah cukup dewasa, kemudian Kiai Ma'shum melanjutkan menuntut ilmu di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang yang diasuh oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari.
Di Pondok Pesantren Tebuireng, Kiai Ma'shum bagian dari salah santri angkatan awal Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari, Pendidikan di Pondok masa itu tidak hanya belajar ngaji, tetapi juga dididik dan dilatih menjadi pejuang-pejuang kemerdekaan, karena masih era penjajahan.
Tidak lama kemudian, adik Kiai Ma'shum, bernama Kiai Adlan Ali menyusulnya di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, atas berkah inisiatif Hadratus Syaikh, Kiai Adlan diamanahi untuk mendirikan Pondok Pesantren Wali Songo khusus putri di pusat desa Cukir.
Selang beberapa tahun, Hadratus Syaikh kagum dengan kecerdasan dan kegigihan Kiai Ma'shum selama mengaji di Pesantren mempunyai kelebihan atau ahli dalam beberapa bidang ilmu, seperti Ilmu Falak, Sharaf, dan Gramatika Arab, sehingga ia dinikahkan sama Neng Khairiyah putri Hadratus Syaikh sendiri.
Sekisaran tahun 1913, bertepatan usia Kiai Ma'shum 26 tahun, ia mendirikan Pondok Pesantren dan Masjid di Desa Seblak yang tidak jauh lokasinya dari Pesantren Tebuireng Jombang. Bangunan pesantren yang sangat sederhana terbuat dari bambu dan ala kadarnya disekitaran itu. Seiring berjalannya waktu pondok berkembang pesat.
Perjuangan Kiai Ma'shum tidak berhenti disitu saja, selesai pondok sudah berdiri, ia juga masih melakukan pengabdian sebagai guru Madrasah Salafiyah Syafi'iyah Tebuireng Jombang. Berkah istiqomah yang ia tekuni, Hadratus Syaikh mengangkat Kiai Ma'shum sebagai Mufattis (Guru Pengawas).
Disisi lain semasa hidupnya Kiai Ma'shum dihabiskan untuk mengaji dan menulis, seperti kitab klasik satu ini, Al-Amtsilah Al-Tashrifiyyah, sebuah karya terbaik yang menerangkan Ilmu Sharaf, dengan gaya susunan sistematis, sehingga mudah difahami dan dihafalkan.
Kitab klasik monumental itu sebagai rujukan prioritas dalam lembaga pendidikan pesantren se-Indonesia maupun luar negeri, Seperti Pondok Pesantren Darussalam Rejoagung-Srono-Banyuwangi dijadikan rujukan dalam kelas diniyah, seperti Pondok Pesantren Miftahul Huda Sendang Rejo-Dander-Bojonegoro atau bahkan pesantren lainnya.
Tidak hanya itu, kitab sharaf karya Kiai Ma'shum sebagian besar kalangan santri menyebutnya dengan julukan Kitab Tasrifan Jombang. Dengan ketebalan isi 60 halaman telah diproduksi dari beberapa penerbit diantaranya penerbut Salim Nabhan Surabaya seperti kitab yang saya miliki ini.
Penulis : Muhammad Andrea
Saya masih teringat beberapa tahun belakangan ketika mengaji beberapa kitab klasik harus diawali dengan membaca basmalah dan mengirim surat fatihah kepada pengarangnya. Supaya mendapatkan keberkahan atas segala ilmu yang diabadikan dalam bentuk kitab sekaligus memuliakan pengarangnya.
Kalau kalian pernah membaca Kitab Ta'limul Muta'allim, pasti akan dipertemukan beberapa bait tentang menuntut ilmu, dan harus diamalkan oleh si-Thalibul Ilmi (penuntut ilmu) dalam kehidupan sehari-hari agar senantiasa menambah wawasan ilmu pengetahuan dan keberkahan bagi dirinya dunia serta akhirat.
Dalam hal ini, saya akan menceritakan sosok penulis kitab termasyhur dimasanya, bagi kalian pasti kenal/tahu dengan kitab Amtsilatul Tasrifiyah atau para santri menyebutnya Kitab Sharaf, kitab yang mempelajari tentang cara membaca kitab kuning (gundul) secara rinci dan detil serta cepat sekali. Dengan bilangan kata/kalimat sangat mudah dipahami dan dihafalkan.
Kitab sharaf merupakan karya dari Ulama Termasyur sebelum kemerdekaan Indonesia, dia bernama Muhammad Ma'shum Bin Ali Bin Abdul Jabbar Al-Maskumambani, Kiai Ma'sum lahir di Maskumambang Gresik Jawa Timur, sebelah pondok pesantren yang didirikan sang kakeknya.
Masa kecil Kiai Ma'shum dihabiskan belajar ngaji bersama ayahnya di rumah, dirasa sudah cukup dewasa, kemudian Kiai Ma'shum melanjutkan menuntut ilmu di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang yang diasuh oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari.
Di Pondok Pesantren Tebuireng, Kiai Ma'shum bagian dari salah santri angkatan awal Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari, Pendidikan di Pondok masa itu tidak hanya belajar ngaji, tetapi juga dididik dan dilatih menjadi pejuang-pejuang kemerdekaan, karena masih era penjajahan.
Tidak lama kemudian, adik Kiai Ma'shum, bernama Kiai Adlan Ali menyusulnya di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, atas berkah inisiatif Hadratus Syaikh, Kiai Adlan diamanahi untuk mendirikan Pondok Pesantren Wali Songo khusus putri di pusat desa Cukir.
Selang beberapa tahun, Hadratus Syaikh kagum dengan kecerdasan dan kegigihan Kiai Ma'shum selama mengaji di Pesantren mempunyai kelebihan atau ahli dalam beberapa bidang ilmu, seperti Ilmu Falak, Sharaf, dan Gramatika Arab, sehingga ia dinikahkan sama Neng Khairiyah putri Hadratus Syaikh sendiri.
Sekisaran tahun 1913, bertepatan usia Kiai Ma'shum 26 tahun, ia mendirikan Pondok Pesantren dan Masjid di Desa Seblak yang tidak jauh lokasinya dari Pesantren Tebuireng Jombang. Bangunan pesantren yang sangat sederhana terbuat dari bambu dan ala kadarnya disekitaran itu. Seiring berjalannya waktu pondok berkembang pesat.
Perjuangan Kiai Ma'shum tidak berhenti disitu saja, selesai pondok sudah berdiri, ia juga masih melakukan pengabdian sebagai guru Madrasah Salafiyah Syafi'iyah Tebuireng Jombang. Berkah istiqomah yang ia tekuni, Hadratus Syaikh mengangkat Kiai Ma'shum sebagai Mufattis (Guru Pengawas).
Disisi lain semasa hidupnya Kiai Ma'shum dihabiskan untuk mengaji dan menulis, seperti kitab klasik satu ini, Al-Amtsilah Al-Tashrifiyyah, sebuah karya terbaik yang menerangkan Ilmu Sharaf, dengan gaya susunan sistematis, sehingga mudah difahami dan dihafalkan.
Kitab klasik monumental itu sebagai rujukan prioritas dalam lembaga pendidikan pesantren se-Indonesia maupun luar negeri, Seperti Pondok Pesantren Darussalam Rejoagung-Srono-Banyuwangi dijadikan rujukan dalam kelas diniyah, seperti Pondok Pesantren Miftahul Huda Sendang Rejo-Dander-Bojonegoro atau bahkan pesantren lainnya.
Tidak hanya itu, kitab sharaf karya Kiai Ma'shum sebagian besar kalangan santri menyebutnya dengan julukan Kitab Tasrifan Jombang. Dengan ketebalan isi 60 halaman telah diproduksi dari beberapa penerbit diantaranya penerbut Salim Nabhan Surabaya seperti kitab yang saya miliki ini.
Penulis : Muhammad Andrea
0 Komentar