Maraknya suara dari berbagai elemen masyarakat bertujuan menyampaikan aspirasi yang dikira penting bagi pemangku kebijakan dan berwenang membuat undang-undang sesuai dengan harapan rakyatnya akan selalu diperjuangkan hingga tujuh keturunan.

Berbeda dengan sosok manusia misterius satu ini, dia bernama Fahroni Aziz kelahiran asli dari desa cekalang kecamatan soko kabupaten Tuban. Salah kabupaten yang disinggahi beberapa wali di Tanah Jawa, menyimpan berbagai peristiwa sejarah tentang penyebaran Islam di pesisir utara.

Sebutan, Bumi Wali Kota Tuban tidak lagi menjadi pemanis lidah yang menusuk nurani paling dalam hingga menembus ketaqwaan akan kerinduan memberi penghormatan bagi pembawa Agama Islam dan menebarkan ilmu pengetahuan, karena masih ada kedzoliman dan penggusuran sekaligus perampasan hak dan ruang hidup masyarakat asli daerah.

Tetapi penulis akan lebih membahas dan mengulas tentang konsep hidup sederhana ala Kang Fahroni Aziz. Sahabat dan tetangganya sering memanggil dia dengan sebutan Kang Aziz, didasari atas latar belakang lulusan pendidikan pesantren sudah sepantasnya gelar kang sebagai identitas murid ala pesantren diterima dengan lapang dada.

Selesai bibinahu atau mencari ilmu pengetahuan di pesantren, dia melanjutkan study pendidikan disalah Kampus di Kabupaten Bojonegoro dengan mengambil prodi Pendidikan Bahasa Arab sambil rebahan setiap malam di Graha Pergerakan Pondok Pinang perkotaan thengul.

Karir kang Aziz tidak berhenti dalam keabsahan dan kecerdasan dalam memahami bahasa Arab, tetapi bahasa hewan hingga mantan dia sangat mahir sekali, namun sayang sekali, kekasih saja tidak punya, apalagi mantan, maka dia sering sekali merasakan kesepian hingga melampiaskan dalam kesunyian menulis puisi untuk para syetan.

Konsep kehidupan Kang Aziz dimulai dari sebuah Open Rekruitmen Pendaftaran Perangkat Desa setempat, dia mulai bertabayun dan terkadang bimbang untuk menentukan pilihan, memilih menjadi perangkat desa dan mengabdi Negara atau memilih keluar dari sistem bergerak bersama kaum Mustad'afin yang digadang-gadang sebagai implementasi Paradigma Kritis Transformatifnya.

Dia sangat optimis dalam melihat masa depan, apalagi keyakinan dan kepercayaan akan akses masuk di birokrasi desa-sebagai alternatif baru dalam perjuangan, maka pilihannya berjuang lewat sistem sembari tertawa dan mengintip dari jendela balai desa tentang masyarakat yang menuntut hak dan keadilannya atas perampasan yang berlebihan.

Kalau melihat lebih detil lagi, Kang Aziz juga salah satu kader aktivis yang bergabung di dalam Organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang diyakini sebagai organisasi menjanjikan dan membina sekaligus mendidik menjadi manusia seutuhnya, faktanya tidak ada yang jadi taman apalagi bunga di pekarangan rumah hiasan.

Tetapi manusia seperti apa, Kang Aziz masih mencoba mencari jati diri yang sebenarnya, konon katanya menjadi manusia yang hidup di Negara Demokrasi, tetap sama saja saling menyembunyikan sesuatu, saling mengintip, saling menuding dan saling menyalahkan, bukankah kita hidup dengan kesederhanaan dan keterbukaan dari segala aspek kehidupan manusia, khususnya berkaitan dengan Negara.

Apa mungkin saya yang selalu baper dengan kondisi sosial-masyarakat berdasarkan analisa dan subjektifitas keadaan, kalau begitu lupakan saja, itu hanya omongan warung kopi tidak usah dimasukan hati dan pikiran. Biar keharmonisan tetap terjaga, paling penting gelar prangkat desa menjadi impian dan jalan perjuangan.

Kata Kang Aziz, berjuang dalam menyelamatkan kaum mustad'afin, harus masuk sistem, harus jadi perangkat kemudian bisa berkuasa, apa dia sudah lupa, bahwa Kepala Desa adalah pimpinan tertinggi di masyarakatnya.

Sudah, sudah, sudah lupakan saja, mungkin belum beruntung dalam mewujudkan impian dan berpegang teguh pada idealisme yang didamba-dambakan oleh Tan Malaka, seorang tokoh yang rela menjomblo dan terbunuh di negaranya sendiri.

Penulis : Muhammad Andrea