sabdaliterasi.co
Belajar berarti membuat segala sesuatu yang kita jawab menjadi hakikat-hakikat yang menunjukkan dirinya sendiri pada kita setiap saat. Mengajar lebih sulit dari pada belajar, karena apa yang dituntut dari mengajar: membiarkan belajar! Manusia pada hakekatnya butuh ruang ekspresi, berpendapat dan mengkritik pada saat proses belajar. Kenyataan ini membuktikan bahwa pada hakikatnya anak didik dan realitas sosial juga menjadi sumber belajar. Maka, harus menjadi kesadaran bahwa guru bukan satu-satunya sumber pengetahuan yang wajiba diyakini.

Sejalan dengan testimoni Heidegger, ia melihat proses belajar sebagai masalah yang sangat mendesak dan bersifat pastisipatoris, yang memerlukan keterlibatan penuh pelajar (learner) dan tentunya bukan sesuatu yang dapat ditanamkan dari luar melalui proses yang sangat didaktis. Konsep pendidikan transformatif adalah model pendidikan yang kooperatif terhadap segenap kemampuan peserta didik untuk menuju proses berfikir yang lebih bebas dan kreatif.
Model pendidikan ini menghargai potensi yang ada pada setiap individu. Artinya, potensi-potensi individu itu tidak dimatikan dengan berbagai bentuk penyeragaman dan sanksi-sanksi, tetapi biarkan tumbuh dan berkembang secara wajar dan manusiawi.

Pendidikan transformatif menjelaskan adanya relasi sosial yang timpang, menindas, mendominasi dan mengeksploitasi. Relasi-relasi tersebut harus diubah agar menjadi setara, saling menghargai dan memiliki kepekaan. Dalam pelaksanaannya, anak didik tidak dijejali kurikulum yang dipaket oleh pemerintah, tetapi anak didik diajak untuk memahami realitas hidupnya. Realitas itu kemudian menjadi sumber inspirasi dan kreatifitas anak didik dalam membangun visinya. Model pendidikan semacam ini tidak menjadikan anak didik menjadi bejana kosong yang harus terus diisi (bangking concept of education), seperti dikritik oleh Paulo Freire, melainkan mengajak anak didik secara kritis mempertanyakan realitas
yangterjadi disekeliling mereka. Peran guru hakikatnya adalah sebagai “peran yang secara empatik menantang” (emphatetic challenging), karena mensyaratkan guru untuk lebih reseptif, yaitu kepekaan guru untuk menerima ide-ide baru. Guru tersebut disyaratkan untuk menjalin hubungan yang simpatik dengan anak didik—namun bukan dengan cara menuruti kehendak dan dengan demikian mematikan hubungan ini—tetapi lebih memicu semangat dan menantang dalam pengertian apa yang harus ditawarkan mata pelajaran, apa “yang ada” (on the move) dalam mata pelajaran itu, dan apa yang mungkin menjadi persoalan penting bagi anak didik dalam hubungan ini.

Keterbukaan dan saling percaya merupakan karakter yang sangat menentukan, dimana guru menerima pemikiran atau menantang pemikiran anak didik dengan mendengarkan apa yang dipikirkan anak didik dalam belajar. Dengan proses belajar yang dialogis tentu tidak akan terjadi kekerasan dan pemaksaan kepada anak didik dalam belajar. Seperti refleksi kritis Neil, ia mengatakan; saya percaya bahwa memaksakan apapun dengan kekuasaan adalah salah. Seorang anak seharusnya tidak melakukan apapun sampai ia mampu berpendapat—pendapatnya sendiri—bahwa itulah yang harus dilakukan (A.S. Neil, Summerhill, 1968, hal 111). Keterbukaan itu menyangkut terhadap segala aspek baru untuk memberikan peluang kepada anak didik dalam menumbuhkan sikap menghormati keberagaman (pluralitas), sebuah sikap yang menjadi dasar objektivitas anak didik dalam memahami pengetahuan.