Credit IPNU Bojonegoro |
IPPNU Kabupaten Bojonegoro pada tahun 2014-2016 membuktikan kemandirian organisasi Pelajar Putri ini. "Alhamdulillah, saya dan teman-teman tetap bisa membuat kegiatan-kegiatan walaupun pada saat itu komunikasi kita dengan IPNU bisa dibilang renggang", Jawab Imti Khanatin ketika ditanya oleh teman-teman diskusi yang hadir. Walaupun permasalahan pada waktu itu terjadi pada tubuh organisasi, namun hal itu tidak menjadikan golongan organisatoris perempuan lantas diam. Mereka memilih untuk bangkit dan bergerak mandiri.
Seklumit pesan di atas jadi pemantik dalam tulisan ini. Bak embun yang menyegarkan harakah kembali, Imti Khanatin sejatinya ingin menyadarkan tentang kedudukan perempuan dalam dinamika organisasi. Adalah Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), wadah kekaderan dan keterpelajaran yang menghimpun pelajar putri NU pada segmen santri, siswa, dan mahasiswa.
Manakala IPPNU dan IPNU menjalankan agenda bebarengan -sudah jamak di cabang kabupaten/kota atau tingkatan di bawahnya. Pihak perempuan kadangkali berperan menjadi manusia kelas dua (the second human being) yang seakan-akan pantas menerima subordinasi, objektifikasi, dan domestifikasi. Parahnya, hal ini seringkali dianggap sebagai kodrat kaum hawa, maka terjadilah hubungan ketimpangan yang harmonis.
Sejenak Menengok Sejarah
Padahal IPPNU telah mampu berdikari sejak awal didirikan pada 02 Maret 1955, setahun setelah IPNU. Dalam buku biografi KH. Moh. Tolchah Mansoer, bagaimana para pendahulu menyepakati pelajar putra dan putri terpisah, “kalau Fatayat dan Muslimat bisa mandiri, mengapa IPPNU tidak bisa?” tegas Tolchah Mansoer waktu itu -pendiri dan Ketua IPNU. Akhirnya kemudian Nyai Umroh Mahfudhoh sebagai salah satu pelopor didapuk menjadi ketua IPPNU pertama.
Mengapa gagasan mefusikan pelajar putri ke dalam tubuh IPNU ditolak? Artinya terdapat motivasi besar yang didambakan oleh para pendiri, adalah menanamkan bibit kemandirian pada spirit organisasi sedari awal, agar bisa menumbuhkan ritme gerakan yang emansipatoris dan berkeadilan.
Pun pada sejarah gerakan kaum terpelajar tidak selalu laki-laki, ternyata perempuan ikut mewarnai pula di dalamnya. Seperti yang dinarasikan Pramoedya dalam roman Tetralogi Buru, yang ramai diperbincangkan kembali setelah penayangan film Bumi Manusia -bagian pertama dari Tetralogi Buru.
Dalam kelanjutan ceritanya, ada peranan kaum terdidik perempuan yang layak dijadikan refleksi kembali. Seperti Gadis Jepara, yang tak lain adalah Kartini, ia memimpikan zaman baru dan kebebasan perempuan. Kemudian Dewi Sartika, seorang perempuan pribumi yang pertama kali mengagas sekolah perempuan. Ada pula Siti Soendari, seorang pelajar yang berani menjadi orator ulung dan memimpin massa pada zaman kebangkitan nasional.
Soal Kesetaraan Perempuan
“…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu..”(Al-Hujurat: 13).
Quraish Shihab sebagai mufassir Nusantara menjelaskan bahwa derajat manusia bergantung pada pengabdian dan ketakwaan kepada Tuhan. Islam mengajarkan persamaan manusia antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan (Membumikan Al-Qur’an, 1996). Begitupun Musdah Mulia -pegiat isu keperempuanan, Ketua PW IPPNU Sulsel 1979-1982- menilai ayat ini sebagai teologi kesetaraan, bahwa kemanusiaan perempuan dan laki-laki adalah sama.
Dalam bukunya Muslimah Sejati, Musdah menyoroti kondisi Arab pada abad tujuh Masehi, ternyata Nabi Muhammad perlahan-lahan telah mengubah kedudukan perempuan sebagai objek yang dihinakan dan dilecehkan menjadi subjek yang dihormati dan diindahkan. Sebagaimana Istri Nabi sendiri telah melampauinya, Siti Khadijah yang menjadi saudagar perempuan yang kaya, kemudian Siti Aisyah yang mampu merawikan Hadis dan berani memimpin peperangan.
Hal ini diamini pula oleh Kalis Mardiasih sebagai pegiat isu keperempunan dan Gusdurian, menurutnya kesetaraan merupakan ajaran fundamental dalam Islam. Meminjam satu dari sekian pertanyaan dalam bukunya Muslimah yang Diperdebatkan. “Mengapa perempuan harus menjadi pihak yang paling ikhlas, paling sabar, dan paling tak boleh melawan?”
Maka perempuan mesti menemukan polanya kembali, dalam konteks ini, geliat organisasi macam IPPNU. Umroh Mahfudhoh sendiri sosok perempuan yang gigih, ulet, dan rajin turun ke daerah-daerah. Ia juga sering kerja-kerja konsolidasi dan turba bareng Tolchah Mansoer, yang kemudian keduanya semakin dekat hingga mengantarkan sampai ke pelaminan.
Pada akhir sesi diskusi, Imti Khanatin juga menyampaikan bahwa IPPNU berhak melaksanakan kegiatan yang bersifat khusus, yang kegiatan tersebut langsung berkaitan dengan keperempuanan.
Jadi kebersamaan IPNU dan IPPNU bukanlah persoalan, asalkan menjunjung tinggi asas kesetaraan, yang perempuan sadar akan haknya dan yang laki-laki tidak sombong atas kelakiannya. Pada akhirnya, penulis teringat judul esai pamungkas Kalis dalam bukunya, Jangan biarkan perempuan berjuang sendirian.
Penulis ; (Ruri Fahrudin Hasyim)
0 Komentar