www.sabdaliterasi.co |
Coba saja kita membaca
dari beberapa artikel mengenahi dengan dinamika di Papua, bahwa perjalanan
Papua penuh dengan sepak terjang perjuangan yang berkepanjangan dan selalu dihantui
kekerasan semasa hidupnya baik sebelum-sesudah menjadi bagian dari Negara
Indonesia. Semasa Papua menjadi bagian dari Indonesia. Negara belum selesai perlakukan
masyarakat Papua sepenuhnya seperti masyarakat pada umumnya, aktifitasnya
dibatasi dari setiap waktu dan tempat, seperti; Kebebasan berpendapat di ruang
publik, berdiskusi, dsb. Justru Masyarakat Papua mendapatkan pukulan keras atas
respons rasis dari masyarakat non Papua yang terjadi beberapa hari lalu, dengan
masalah patahnya tiang Bendera Merah putih di depan Asrama Papua di Surabaya.
Dalam memahami sosial-kultur Papua
harus secara komperehensif, tidak setegah-setengah hingga terjadi
kesalah-pahaman disetiap kejadian, harus mengedepanlan sikap kritis, cakap dan
bertanggung jawab, seperti disebut habermas dalam buku Seni Memahami (Budi Hardiman
2015: 220) “komunikasi yang terdistorsi” karena perbedaan sudut pandang,
ketidak tahuan atau prasangka sehingga kita salah paham satu sama lain.
Memahami papua harus memahami keseluruhan dialektika di papua. Caranya dengan
mempelajari prilaku sosial yang bermakna untuk menunjukan segi-segi subjektif
antar kepribribadian dalam kompleksitas hubungan sosial yang menyusun sebuah
masyarakat. Itu merupakan kesalahan negara dalam hal mencerdaskan kehidupan
bangsa dengan framing-framing nya soal papua.
Teryata Negara belum mampu bertanggung jawab di papua
dalam konteks kemanusiaan. Ada pembunuhan dan impunitas di Papua. Negara hanya ingin mengeksploitasi
kekayaan negeri papua saja, persoalan alam dan manusianya negara tidak dipedulikan.
Berdasarkan penuturan Jhon Gobai, Jend. Ali Moertopo (1966) membenarkan bahwa
pendudukan Indonesia di Papua demi kepentingan akses pasar modal asing dan
barang, tidak untuk manusianya. Dalam
catatan amnesty internasional dari 2010-2018 ada 95 korban dan 69 kasus dengan
dugaan keterlibatan aparat keamanan dalam kasus pembunuhan diluar hukum yang
tak terkait aktivitas politik dan pembunuhan diluar hukum yang terkait
aktivitas politik.
Keberadaan Papua perlu peran sentral
dan strategis dari Pemerintah Negara dalam menegakkan nilai-nilai Kemanusiaan
dan epistemologi sosial kultur Papua dan menghapuskan beberapa kebudayaan yang
selalu menggunakan kekerasan dan kekejaman sekaligus melibatkan aparat keamanan
Negara dalam menyelesaikan persoalan-persolan yang ada. Pada hakikatnya
masyarakat Papua memiliki hak yang sama, adil dan Merdeka sebagaimana warga
lainnya mampu menjunjung tinggi nilai keberadaban dan Kesetaraan. Kalau Negara
hadir hanya untuk menambah masalah bukan menyelesaikan masalah, berarti ada
yang tidak beres dari Negara, padahal Indonesia Negara Demokrasi mengedepaankan
keterbukaan publik dan memberi hak untuk menyampaikan ide, gagasan, kritik dn
solusi terhadap perkembangan dan kemajuan Bngsa.
Dsebutkan oleh Filep Karm
dalam buku “Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme
Indonesia di Tanah Papua”, dipertegas juga dengan pernyataan kawan
papua saya terkait kondisi semacam itu. Menurutnya, aparat keamanan melakukan
tindakan kekerasan merupakan hal lumrah dan orang papua yang menjadi
korban merasa itu hal yang biasa bagi mereka. Budaya kekerasan seperti itu hal
lumrah disana, hal itu terjadi karena proses kesejarahan kekerasan yang
dilakukan aparat negara.
Maka Negara secepatnya bersikap tegas terkait dengan Pendekatan
militeristik di papua segera diakhiri biar tidak menimbulkan konflik-konflik
baru yang merambah ke-generasi berikutnya. Ada tumpukan sejarah dan diingat
dalam memori kolektif masyarakat papua. kekerasan di papua seolah-olah
merupakan suatu hal yang wajar dalam pikiran aparat dan begitu pun juga
masyarakat papua. Pelanggaran hak asasi manusia serta kekerasan yang dilakukan
aparat keamanan negara di papua telah menjadi ritual harian mereka memandang,
menganggap dan memperlakukan orang Papua sebagai setengah manusia, tidak diakui
sebagai manusia pada umumnya.
PENDEKATAN GUS DUR TERHADAP SOSIAL-KULTUR PAPUA
Pada tahun 20 Oktober 1999, Abdurrahman
Wahid menjadi presiden RI keempat menggantikan Bachruddin Jusuf Habibie, tentu
masa itu banyak tantangan yang dihadapi oleh Gus Dur dalam meneyeseaikan
persoalan Bangsa Indonesia, dari aspek Krisis Ekonomi hingga reformasi 1998
terjadi lengsernya Soeharto yang sudah berkuasa 32 tahun.
Disisi lain banyak ancaman perpecahan
(disintegrasi) wilayah-wilayah kepualuan NKRI. Pada pemerintahan Habibie
sebelumnya, Timor Timur lebih dulu memilih merdeka melalui jejak pendapat 1999.
Belum lagi kondisi negara sangat parah dengan masalah pemberontakan di Aceh da
Papua, kerusuhan Ambon dan Poso, serta reformasi birokrasi warisan soehato.
Sosok Gus Dur memang
kompleks dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ia mampu meyikapi secara
tegas masalah-masalah yang terjadi di Indonesia, kita bisa membaca beberapa
Literatur atau karya dari Gus Dur sendiri, banyak tantangan yang dihadapi,
namun bagi Gus Dur nilai Kemanusiaan lebih tinggi dari pada politik. Ada
sembilan nilai utama Gusdur yang perlu kita kaji sebagai sumber ilmu
pengetahuan untuk mempertimbangkan suatu kebijakan tertentu, diantaranya ; Ketauhidan,
Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Kesederhanan, Persaudaraan,
Kesaktriaan dan Keraifan Lokal.
Dalam persoalan Papua dimasa
mrak-maraknya diskriminatif, marjinalisasi dan kriris disegala bidang, Justru
Gus Dur hadir di tengah-tengah masyarakat Papua dengan mengedepankan kearifan lokal,
dan memberikan spirit kemanusiaan di tanah Papua, ditanggal 30 Deseember 1999
atau 2 bulan 10 hari setelah Gus Dur dilantik menjadi Presiden, Tujuan Gus Gus
Dur hanya dua, pertama ; berdialog dengan berbagai elemen di Papua untuk mencari
solusi ideal bagi masyarakat Papua, kedua ; Ingin melihat matahari terbit
pertama dari arah timur (saat itu Irian
Jaya).
Kurang lebih pukul 20.00
malam dialog diawali dengan menghadirkan sejumlah perwakilan dari elemen
masyarakat Papua, Gus Dur mendengarkan argumentasi, pendapat atau aspirasinya,
sampai pada suatu hal yang berkaitan dengan menginginkan kemerdekaan dan
berpisah dari Indonesia.
Gus Dur merespons baik
waktu itu, beberapa hal yang ditanggapi, tetapi ada yang lebih penting,
terutama persoalan, “nama irin Irian itu jelek.” “Kata Irian berasal dari
bahasa Arab yang artinya telanjang. Dulu ketika orang-orang Arab datang ke
pulau ini, menemukan masyarakat masih telanjang, sehinggan disebut Iian, kedua,
dalam tradisi orang jawa kalau memliki anak sakit-sakitan, sanga anak akan
diganti namanya supaya sembuh. Biasanya sih namanya Slamet, tapi saya sekarang
ganti Irian Jaya menjadi Papua.”
Sempat ada
salah seorang Antrologi Inondenesia, mencari arti dari Irian, namun ia tidak
menemukan itu, Gus Dur menyatakan kalau mencari tidak ditemukan artinya,
berarti kan tida ketemu, bukan tida ada. Kedua Gus Dur memberikan Izin akan diadakannya
Kongres Papua, sekaligus menyumbang dana untuk biaaya tersebut. Walaupun banyak
protes dikalangan masyarakat, Gus Dur justru memberikan apresiasi atas
berjalannya Kongres tanpa memperdulikan yang lain.
Kita sebagai
masyarakat Indonesia perlu untuk mengkaji dan mempelajari Sosok Pemikiran Gus
Dur yang sudah disumbangsihkan untuk Bngsa dan Negara, lebih-lebih konteks Ide
dan Gagasan Gus Dur dalam membangun sosial masyarakat yang menjunjung tinggi
Nilai Keadilan dan Kemanusian untuk kepentingan bersama. Metode pendekatan
kultural dan ruang dalogis yang menjadi stategi bagi Gus Dur untuk mencari
sebuah problematika permasalahan yang ada di Papua untuk segera disikapi dan
duduk bersama mengkaji, berdiskusi dan menemukan solusi bersama dan menghasilkan
kesepakatan, bukan dikit-dikit aparat keamanan Negara yang menjadi solusi bagi
masyarakat di Papua.
Disisi lain
Gus Dur adalah Ulama’ termasyur yang selalu dihormati atas latar belakang
keluarga dan pendidikannya di kalangan masyarakat Inodnesia, terutama persoalan
keilmuan dan kehumorisannya menjadi karakter atau ciri khasnya sebagai Presiden
Inonesia yang cakap dan tegas menyelesaikan berbagai masalah di Indonesia. Walaupun
terkadang kelihatan banyak leluconnya ketika menyampailan kebijakan publik,
namun berbobot dan mengandung berbagai hikmah yang perlu kita petik di dalamnya
sebagai refleksi untuk menjadi Manusia yang Manusiawi.
Penulis ; Muhammad Andrea
Refrensi terkait :
0 Komentar