Credit www.lestari.com |
Kita lihat filosofi negara kita adalah Pancasila. Pancasila mempunyai kedudukan yang tinggi sebagai dasar negara kita. Kedudukan yang tinggi itu menandakan bahwa Pancasila merupakan sumber segala hukum dalam hal apapun di negara kita ini. Termasuk dalam ranah pendidikan kita. Tak diragukan lagi Pancasila merupakan dasar pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003, Bab 2 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang bunyinya: Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Inilah yang perlu kita garis bawahi bahwa hubungan sistem pendidikan nasional dengan dasar negara Pancasila merupakan hubungan ikatan batin yang tak bisa dipisahkan pada sumber daya manusia Indonesia. Dan sistem Pendidikan Nasional Indonesia harus berdasarkan pada Pancasila dan ditujukan untuk membentuk manusia Indonesia seluruhnya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pancasila hadir dimuka bumi ini bukanlah dari bim salabim terus ada, tapi Pancasila hadir dimuka bumi ini melalui proses perjuangan panjang dari para pendiri negeri ini melalui beberapa tahap-tahap perjuangan yang panjang. Kemerdekaan yang harus diraih dengan segala upaya serta pengorbanan yang tak ternilai harganya dari para pahlawan. Pancasila hadir sebagai pegangan hidup seluruh bangsa Indonesia haruslah selalu kita perhatikan jangan sampai sedikitpun niali-nilai pendidikan yang kita kembangkan melenceng dari cita-cita bangsa Indonesia seutuhnya yaitu adil seadil-adilnya. Dan di Indonesia Pancasila harus bisa sebagai paradigma, dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistem nilai acuan, kerangka-acuan berpikir, pola-acuan berpikir; atau jelasnya sebagai sistem nilai yang dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus kerangka arah/tujuan bagi ‘yang menyandangnya’, di antaranya:
a) bidang politik,
b) bidang ekonomi,
c) bidang social budaya,
d) bidang hukum,
e) bidang kehidupan antar umat beragama,
Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma. Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi. Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka berpikir, kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan.
Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia. Termasuk dalam bidang pendidikan sebagai dasar untuk membangun manusia seutuhnya. Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:
1. Susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga
2. Sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial
3. Kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk Tuhan.
Seiring perkembangan zaman yang semakin pesat, termasuk kebudayaan manusia yang semakin maju dan canggih, segala kemudahan dan sistem informasi dan komunikasi yang bisa diakses sampai ke tingkat bawah (masyarakat pedesaan) menjadi kendala tersendiri dalam memasuki babak pertaruhan pola pikir manusia Indonesia. Era globalisasi yang pesat bahkan cenderung ekstrim telah menggeser peradapan-peradapan lokal bangsa ke posisi yang semakin terjepit dan terpinggirkan. Peta percaturan politik dunia telah menempatkan dominasi dunia Barat (baca Eropa) dan Amerika sebagai “pemegang saham” terbesar berbagai bidang baik ekonomi, politik, ideologi, budaya di planet bumi. Akibatnya nilai karakter lokal suatu bangsa akan tergerus dan semakin terkikis di tanah airnya sendiri. Itulah yang dialami Pancasila sebagai Dasar Negara.
Padahal, sebagai ideologi terbuka, Pancasila pada prinsipnya dapat menerima unsur-unsur dari bangsa lain sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasarnya. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan pemahaman dan pengamalan Pancasila selalu berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan zaman. Pengaruh negatif globalisasi harus diwaspadai, karena globalisasi mampu meyakinkan sementara masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa manusia ke arah kemajuan dan kemakmuran. Akibat berkembang pesatnya globalisasi didunia, masyarakat Indonesia sudah mulai banyak yang mengikuti budaya-budaya barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang tercantum dalam ideologi kita. Hal ini merupakan contoh pengaruh negatif globalisasi terhadap ideologi Pancasila yang semestinya tidak perlu untuk ditiru, karena pada dasarnya nenek moyang bangsa Indonesia memiliki sikap dan etika yang baik dan santun. Baik dalam berpakaian dan tingkah laku.
Sekarang, dapat kita saksikan sendiri bagaimana masyarakat Indonesia dalam meniru gaya orang barat. Hal yang mestinya tidak baik untuk ditiru jelas sangat bertentangan dengan ideologi bangsa kita. Hak asasi manusia (HAM) dengan keliru diterjemahkan boleh berbuat semaunya dan tak peduli apakah merugikan atau mengganggu hak orang lain. Budaya dari luar, khususnya faham liberalisme, telah merubah sudut pandang dan jati diri bangsa dan rakyat Indonesia. Pergeseran nilai dan tata hidup yang serba liberal memaksa bangsa dan rakyat Indonesia hidup dalam ketidakpastian. Akibatnya, seperti terlihat saat ini, konstelasi politik nasional serba tidak jelas. Para elite politik tampak hanya memikirkan kepentingan dirinya dan kelompoknya semata. Dalam kondisi seperti itu sekali lagi peran Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara memegang peranan penting.
Pancasila akan menilai nilai-nilai mana saja yang bisa diserap untuk disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila sendiri. Dengan begitu, nilai-nilai baru yang berkembang nantinya tetap berada di atas kepribadian bangsa Indonesia. Pasalnya, setiap bangsa di dunia sangat memerlukan pandangan hidup agar mampu berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas arah dan tujuan yang hendak dicapai. Dengan pandangan hidup, suatu bangsa mempunyai pedoman dalam memandang setiap persoalan yang dihadapi serta mencari solusi dari persoalan tersebut. Kita sebagai masyarakat Indonesia harus pandai memilah mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai dengan ideologi kita. Jangan sampai kita terjerumus dalam suatu masalah yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur ideologi kita yang disebabkan oleh perkembangan globalisasi didunia saat ini.
Namun kenyataannya nila-nilai Pancasila mengalami kemerosotan seiring majunya perkembangan tekhnologi dan informasi. Pancasila bukan lagi menjadi acuan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia tapi Pancasila hanya menjadi simbol negara yang tak berarti apa-apa. Ini berbahaya dan bisa menjadi awal retaknya bangsa yang besar ini. Beberapa kasus dan bukti bahwa nilai-nilai Pancasila mulai terkikis dengan perkembangan zaman yaitu banyaknya kasus pencabulan anak dibawah umur bahkan sampai berakhir pembunuhan, tawuran antar pelajar, narkoba, oplosan sampai berbuntut pada kematian, korupsi, kolusi, nepotisme, pemerkosaan, pornografi, seks bebas, teroris, bahkan sekelas artis sebagai figur masyarakat ada yang tidak tahu lambang-lambang dalam Pancasila, parah lagi ada juga kasus anggota DPR sebagai wakil rakyat Indonesia sampai tidak hafal sila-sila dalam Pancasila. Sehingga Pancasila hanya sebagai simbol negara yang masyarakatnya tidak lagi berpijak sebagai paradigma apalagi mengamalkannya.
Dan efektifnya untuk memperkenalkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam masyarakat yaitu dalam bidang pendidikan kita. Pendidikan sebagai arus transformasi budaya harus banyak memperkenalkan nilai-nilai Pancasila di setiap jenjang pendidikan mulai dari TK/RA, MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA sampai jenjang Perguruan Tinggi atau PT. Apalagi sejak zaman reformasi pendidikan Pancasila melalui program penataran P4 yang materi didalamnya banyak memperkenalkan nilai-nilai falsafah Pancasila, UUD 1945, GBHN, Wawasan Wiyata Mandala, Wawasan Nusantara dan lagu-lagu wajib telah berganti menjadi Masa Orientasi Sekolah, pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) juga telah diganti. Logikanya negara tidak lagi menjadi transformasi nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan dan masyarakat, sehingga negara sangat sulit untuk memposisikan diri sebagai pengontrol arus budaya yang semakin menggila, didukung dengan sistem informasi dan komunikasi yang sangat maju negara akan menjadi lebih sulit untuk memantau perkembangan informasi-informasi yang terus bertebaran melalui dunia maya yang di fasilitasi oleh internet. Memang zaman telah berubah menjadi zaman keterbukaan dan demokrasi namun untuk menentukan nilai-nilai falsafah bangsa sangatlah penting agar masyarakat tetap mempunyai pandangan hidup yang tetap sesuai dengan falsafah Pancasila sebagaimana sumber segala hukum di negara Indonesia.
Lunturnya nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan kita merupakan tantangan bagi institusi pendidikan, bagaimanapun juga pendidikan menjadi sumber utama untuk terus memupuk jiwa-jiwa Pancasila di lingkup sekolah. Sekolah harus mampu menjadi tempat persemaian nilai-nilai Pancasila, sehingga peserta didik mampu memahami dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan di sekolah dan di masysarakat. Pada nilai-nilai Pancasila dalam butir-butirnya merupakan karakter bangsa Indonesia yang harus dikenalkan pada peserta didik yang saat ini mengalami krisis moral yang dapat mempengaruhi masa depan bangsa ini dikemudian hari. Dari karakter nilai-nilai Pancasila juga merupakan jurus untuk membimbing generasi muda yang mampu mempunyai sikap mandiri dan tidak menjadi generasi muda yang ketergantungan dan keterbelakangan terhadap nilai-nilai budaya asing yang bertentangan terhadap nilai-nilai Pancasila.
Penulis : Rin
0 Komentar