Credit www.jawapos.com
Menyoal “Khilafah” yang tak kunjung-kunjung selesai. Terlebih munculnya ajaran khilafah di buku terbitan Kemenag, membuatnya semakin seksi saja. Meskipun kalau ditelaah lagi, Buku Fikih MA kelas XII itu, isinya juga tidak fundamentalis banget, pun tidak condong kepada ideologi tertentu, semacam HTI. Kerapkali kita -terutama pegiat organ pelajar- meraba-raba soal gerakan Islamis ini, me-nyinyiri setiap waktu dan pada akhirnya puas, seperti melampiaskan dendam. Namun jarang mengkajinya atau bahkan belum sama sekali.

Justru kita lebih gemar mengamini doktrin lama, kalau tidak mau dikatakan menjemukan. Seperti mencapnya dengan istilah “kelompok garis keras”, tanpa kita tahu sekeras apa, ataupun “Islam Radikal” yang jangan-jangan malah “dangkal”.

Sebuah Oto-Kritik
Ada sebuah oto-kritik dalam sebuah diskusi “Spirit Berorganisasi KH Wahab Hasbullah” silam oleh PC IPNU IPPNU Bojonegoro. Pemateri tiba-tiba menegaskan kalau, “selama ini kita masih mengatakan yang paling benar adalah pendapat kita. Kalau meyakini benar itu harus, tapi kalau mengatakan yang paling benar itu kita, tunggu dulu.” Adalah, jangan terlalu buru-buru merasa benar, sebelum menganalisa sejauh mana pemahaman kita sendiri. Manakala kita menganggap mereka sangat fanatik, berapi-api membela Islam dan menggemakan khilafah.

Dan kalau kita juga seringkali menjargonkan “NKRI Harga Mati” yang tanpa kita sadari sama fanatisnya, sama-sama membabi buta. Maka perlulah menelaah manaqib KH Wahab Hasbullah kembali, sebagai khazanah semangat gerakan yang pernah menyala-nyala pada zamannya. Karena sejarah merupakan lentera yang menerangi jalan menuju hari-hari depan, maka betapa pentingnya menarasikannya dengan semangat kekinian.

Kiai Wahab muda
Sesosok dari kaum sarungan yang demam berorganisasi, adalah Kiai Wahab Hasbullah, yang telah melampaui pada eranya, bahwa kalangan pesantren dikenal kolot, apatis pada nilai-nilai moderen, lebih-lebih soal organisasi.

Kiai Wahab muda menjadi santri kelana di tujuh pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah, hingga memperdalam kajian keislaman ke Mekkah. Mula-mula di sana ia mendirikan cabang Serikat Islam bersama kiai-kiai tradisional, seperti Kiai Asnawi Kudus. Begitu pulang ia tak kunjung ke Tambakberas, membantu dipesantren ayahnya, Kiai Chasbullah. Mbah Wahab muda lebih memilih tinggal di Surabaya, untuk sekali lagi, berorganisasi.

Watak kehidupan pesantren yang rutin dan sunyi barangkali kurang menarik minat bagi jiwa Kiai Wahab yang energik dan ambisius (Tradisionalime Radikal, 1997). Ia merasa lebih cocok dengan iklim perkotaan, Surabaya, yang kosmopolit, yang menjadi kawasan pergerakan SI dan ISDV (organisasi sosial demokrat) yang beraliran kiri. Sehingga ia kerap bersinggungan dengan Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, Musso, Alimin, Sukarno, dan Sneevlit – jajaran tokoh yang sering berkumpul ataupun indekos di rumah HOS. Cokroaminoto.

Tahun 1916, setahun setelah sekembalinya dari tanah suci, mula-mula ia mendirikan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) bersama Kiai Mas Mansyur, sebagai sekolah kebangsaan untuk menyadarkan pribumi. Lalu selang dua tahun, 1918, ia mendirikan pula Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Pedagang) yang menaungi pedagang-pedagang kecil di lingkup Surabaya-Jombang.

Di tahun yang sama, ia menggagas Tashwirul Afkar sebagai wadah diskusi, yang berhasil mempertemukan kelompok-kelompok tradisional dan modernis, seperti Muhammadiyah dan Al-Irsyad (Rifai, 2004). Berkat ketokohannya, ia sering mengikuti kongres umat Islam di Hindia Belanda, hingga akhirnya Mbah Wahab membentuk Komite Hijaz (cikal bakal NU, 1926) yang berhasil memperjuangkan tradisi bermadzab di Arab Saudi.

Idealisasi Organisatoris
Martin Van Bruinessen menjuluki Kiai Wahab sebagai “pengorganisir yang bersemangat”. Sudah semestinya kita menelisik perjuangannya di masa muda kala itu, yang rasanya masih relevan jadi manifesto para penggerak pelajar masa kini, yang cenderung medioker, gitu-gitu saja.

Pertama, adalah belajar yang kritis. Mbah Wahab sendiri saat diskusi dengan Mbah Bisri sampai gebrak-gebrakan meja dalam berargumentasi, begitu adzan kumandang, keduanya rebutan timba untuk dulu-duluan menyiapkan air wudhu. Waktu itu Mbah Bisri yang berhasil meraih timba, lalu melayani Mbah Wahab bersuci.

Ia sangatlah kritis namun tetap inklusif terhadap semua kalangan untuk sebuah kepentingan yang lebih besar, termasuk juga terhadap ideologi sosialisme. Sedang kita masih paranoid  padanya, cepat-cepat mengamini doktrin warisan orba beserta ciptaan sejarahnya yang politis, terutama tentang tragedi berdarah 1965.

Ketika kita menganggap mereka –kelompok kiri- tidak beragama, bahkan anti agama dan ulama, sebuah asumsi yang dangkal. Sama dangkalnya dengan asumsi terhadap pemikiran “khilafah” dan varian gerakannya, kita mesti mempelajari secara kritis dan sekali-kali kita undang dalam forum diskusi. Ataupun dalam silaturrahmi, yang setidaknya mereka adalah saudara kita juga, saudara semuslim dan sebangsa.

Kedua, adalah melakukan riset. Kerja-kerja riset masih minim sekali diminati kalangan terpelajar, selain dari pesanan politisi ataupun pemodal. Sekali lagi, kita masih gemar meraba-raba yang amat menjenuhkan dan tidak merubah suatupun. Sebagai penawar dahaga gerakan kita adalah kerja riset. Data akan bermanfaat sekali bagi sang organisatoris, dalam menentukan langkah konkret-konkretnya Hal ini dulu, riset, pernah dilakukan oleh DN Aidit yang ditulis dalam bukunya “Para Petani Mengganyang Setan-Setan Desa”. Pun Kiai Wahab sendiri, yang pernah mencari penyebab jumlah santri terus merosok setiap tahunnya. Untuk membuktikannya, Kiai Wahab meriset santri di Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang. Dan hasilnya cukup mengagetkan. Dalam rentang tahun 1880-an hingga 1900-an, terdapat penurunan drastis jumlah santri. (nu online, 04/05)

Ketiga, adalah membumi. Maksudnya, jangan menjadi organisatoris yang ongkang-ongkang di menara gading dan segera nyaman di sana, meskipun pandai beride-ide. Maka sebaliknya, menjadi organisatoris yang membumi, yang berakar, yang membersamai pelajar. Seorang “intelektual organik” kalau kata Gramsci.

Terciptanya sebuah militansi perjuangan Mbah Wahab, adalah karena ada kesatuan antara ide dan aksi, yang berkelit-kelindan. Sebagaimana menurut Muhammad Al-Fayyadl, Ia sesekali dan seringkali mencetuskan gagasan, namun setiap gagasan itu selalu bertangan dan berkaki.

Terutama tentang agenda-agenda belajar, diskusi dan riset ini,  jangan sering-sering melayani permintaan pasar ataupun membebek pada birokrasi pemerintah. Kemudian alpa terhadap problematika pelajar, terutama penyadaran bersama tentang pentingnya Islam yang merahmati semua alam, termasuk manusia di dalamnya, beserta pelajar dan persoalannya.
Maka lekas-lekaslah ingat pesan Kiai Wahab Hasbullah, Kalau kita mau keras, harus punya keris!

(Ruri Fahrudin Hasyim, Pegiat Student Crisis Center (SCC) IPNU Bojonegoro)

DAFTAR PUSTAKA
Catatan Diskusi #1, PC IPNU IPPNU Bojonegoro, 10 Juli 2019
Rifai, Muhammad. 2014. KH Wahab Hasbullah. Yogyakarta: Garasi House.
Editor Greg Fealy, Greg Barton. 1997. Tradisionalisme Radikal. Yogyakarta: LKiS
https://www.nu.or.id/post/read/105680/mengukuhkan-kh-abd-wahab-chasbullah-sebagai-bapak-pendidikan-madrasah-
https://islambergerak.com/2014/11/mbah-wahab-dan-pesan-berserikat/
https://tirto.id/nahdlatul-wathan-cikal-bakal-nahdlatul-ulama-dan-yang-bukan-csbN