Credit Penulis Cerpen
Sang pagi datang lebih cepat hari ini, sinarnya merambat di daun-daun basah. Udara kamar makin sejuk kemudian hangat, sedang angin pagi merayap - rayap di atas genteng setelah menerjangi tajuk-tajuk pepohonan di sepanjang tepi jalan depan rumah. Dengan badan yang layu, Aku mencoba beranjak dari tempat tidur karena cahaya yang masuk dari jendela benar-benar sangat menyakiti mata, aku duduk di ujung badan bayang menatap keluar jendela. Sedang sinar matahari telah membungkus seluruh desa, membuat para petani segera menuju ke sawahnya.

Aku melangkah keluar kamar, menyisir rambut dengan jemari agar sedikit tak berantakan. Ada lima orang laki-laki di depan rumahku salah satunya adalah bapakku, dengan membawa sabit di tanganya bercakap-cakap tentang keadaan lahan sawahnya sehingga aku tertarik menuju kesana.

"Melihat musim kemarau seperti ini, mencari air sangat susah untuk mengairi sawah pun tidak bisa. Parit kering, sumur kering, waduk buatan di tengah-tengah sawah juga kering bagaimana bisa menanam padi dengan keadaan seperti ini?" Alimin, seorang lelaki tua kurus berkulit sawo matang sedikit kehitaman, mengatakan keluh kesahnya.

"Memang begini kehidupan seorang petani Tuan, kalau kemarau sulit mencari air, kalau musim penguhujan air tumpah ruah tak karuan tapi ketika panen raya tiba harga gabah sangat murah, aku saja menanam padi hanya untuk makan selebihnya ku gunakan buat membiayai pendidikan anakku itu pun kalau cukup, kalau kurang terpaksa menjadi buruh". Salah satu lelaki menanggapi, sambil menajamkan sabitnya dengan batu gunung.

"Apa yang membawa tuan-tuan menjadi petani?, kalau memang menjadi petani itu menyusahkan bahkan sering kali orang-orang di kota besar sana mengatakan bahwa seorang petani tidak jauh dari kata kemisikinan dan kemiskinan adalah sebuah kesalahan. Di bangku pendidikan pun di tanamkan seorang anak petani pantas mendapatkan bantuan biaya tambahan, entah mempunyai lahan luas atau hanya satu petak sawah mereka menganggap orang-orang seperti kita ini kaum yang tidak mampu kaum yang lapar padahal petani adalah asset terbesar yang di miliki negara karena kaum kami lah penyumbang bahan pangan terbesar dengan alat sekedarnya yaitu sabit dan cangkul." Bapakku yang semenjak tadi hanya diam kemudian menanggapi.

"Kau benar Sardi, tapi apa boleh buat nenek moyang kita adalah seorang petani dan lihat lah hamparan sawah luas di belakang desa kita. Tentu jangan tanyakan, kenapa kita mau menjadi petani. Tanpa penyabit dan penyangkul seorang panglima pun tidak akan tenang menyantap hidangan di mejanya, bila penyabit dan penyangkul sudah murka seorang raja pun akan terlempar dari istananya." Alimin menancapkan sabit ke bumi, dia marah pada keadaan, tapi kemarahan satu orang petani tidak akan berdampak apa-apa bagi penguasa, kecuali ada seribu lebih petani yang marah akan menjadi cambukan berdarah bagi penguasa.

"Memang lah seperti itu Tuan-Tuan, janganlah berkecil hati. Selama masih punya lahan kita masih bisa menanam, selama masih punya lahan kita masih bisa makan, selama masih punya lahan kita bisa hidup dengan tenang, tetapi selama lahan kita di rampas, sabit dan cangkul akan terus mencari darah." Suwardi, lelaki yang sedang duduk di atas kursi kayu memakai topi lusuh menambahi untuk meredam kemarahan Alimin.

"Nah, nah hari sudah hampir siang Tuan-tuan, ayo mari semua berangkat ke sawah mencari pakan kasihan kalau hewan ternak kita kelaparan tidak mungkin kita menunggu pakan ternak jatuh dari langit keburu mati ternak kita". Seorang lelaki berpakaian kaos panjang, memakai caping dan membawa sabit beserta tali yang di ikatkan di sedel belakang menuju ke sepedah anginya berteriak penuh semangat mengajak mereka segera pergi ke sawah. Kebanyakan dari mereka memakai kaos putih lengan panjang dan pendek di dadanya bergambarkan calon dari salah satu partai yang berbeda-beda.

Aku yang dari tadi membisu, kulihat raut-raut wajah para petani itu marah sepertinya mereka terpancing ketika mendengar ucapan yang di katakan oleh bapakku. Aku membayangkan betapa sulitnya menjadi orang kalangan kelas menengah ke bawah, betapa sulitnya menjadi seorang petani, pedagang dan buruh. Tapi, menurutku siapa pun kita, bagaimana pun keadaan kita, kaya-miskin, putih-cokelat, Islam-Kristen, kita di lahirkan sebagai manusia merdeka. Itulah martabat kita merdeka sebagai manusia dan merdeka sebebas-bebasnya di tanah sendiri.

Selesai membersihkan diri, kutatap jam dinding sudah pukul 09.15 waktunya pergi untuk mendapatkan secangkir kopi di dekat desa, cuaca di kota desaku hari ini cerah tak berawan jangankan awan hitam awan putih pun tak ada. Tatkala angin kemarau membawa daun kering terbang berayun-ayun bergerak ke tengah jalan raya, membuat para pengendara sepedah motor terpaksa harus menghindarinya padahal hanya selembar dau kering.

Aku membuka tutup cangkir kopi membiarkan angin kemarau yang dingin membuatnya tak terlalu panas buat di minum. Sebuah motor berhenti tepat di depan warung, seorang laki-laki berjaket hitam memakai sandal jepit masuk sesaat dia berhenti di ambang pintu, melepas helmnya yang sekarang sedang menuju ke sini. Aku melihatnya lamat-lamat sambil meneguk kopi yang berada di tanganku.

"Astaga ternyata kau Godam, butuh 5 detik aku mengenalimu". Godam tersenyum lebar, melangkah mendekat dan menyalamiku.

"Maukah kau ku pesankan secangkir kopi kelas rakyat". Aku menatapnya dengan tersenyum.

"Kopi kelas rakyat". Katanya, tatapan matanya sungguh-sungguh penuh keheranan. Aku beranjak memesankan satu cangkir kopi lagi.

"Ya. Kopi kelas rakyat, anggap saja namanya kopi kelas rakyat rasanya nikmat, senikmat ketika kau meminum gelas kotor bekas bibir kekasihmu bersama tawanya. Sedang kopi ini anggap saja mewakili, para buruh, petani dan para rakyat jelata yang bekerja untuk perusahaan dan perkebunan para pemilik modal".

"Aku sependapat denganmu, aku malah teringat kepada sistem kapitalisme. Kapitalisme merupakan perkakas asing yang di gunakan para pemilik modal untuk mendobrak system produksi masyarakat untuk kepentinganya sendiri."

"Ya. Benar sekali. Aku lupa menjelaskan kenapa aku menyebut secangkir kopi ini, dengan kopi kelas rakyat sebenarnya perkara ini ada sangkut-pautnya dengan kapitalisme. Kapitalisme tumbuh akibat penjajahan bangsa Belanda melahirkan kelas-kelas di dalam masyarakat Indonesia yang tak jauh beda dengan kapitalisme di Negara-negara Eropa yang melahirkan posisi borjuis dan proletar. Borjuis disini mewakili pemilik modal, bangsawan dan orang-orang yang memiliki jabatan dalam pemerintahan. Proletar mewakili para buruh, petani seperti yang ku bentangkan di dalam kopi kelas rakyat tadi."

"Ternyata kerangka berfikirmu bagus juga sobat. " Aku hanya tersenyum tipis, kopi hitam membasahi bibir Godam, meninggalkan titik-titik hitam di ujungnya.

"Ya memang seharusnya begitu Godam. Kau dan aku pun juga sama masih kelas rakyat, perihal apa kau menemuiku? "

Aku menghamparkan tanganku ke meja membentuk segitiga menatap rumah-rumah orang pedesaan di sebrang jalan sana begitu hangat dan damai. Sengaja aku duduk menghadap ke depan jalan agar mudah mengamati suasana di luar walau sebenarnya pandanganku terbatas oleh kendaraan yang berlalu-lalang. Selama itu, matahari sudah terlihat di ujung kepala sinarnya membasuh bumi. Sedang di depan rumah pohon-pohon pada diam, bergerak ketika angin menerpanya menjatuhkan daun bila menguning.

"Bukan apa-apa, hanya saja aku ingin membentangkan suatu perkara dari beberapa tokoh Nasionalis Indonesia yang telah ku baca beberapa hari yang lalu yaitu Tan Malaka."

"Tan Malaka.! Aku pernah membaca sebuah buku karya Tanpa Malaka yang berjudul Aksi Massa tapi tanpa pernah aku mengetahui sisik-melik bagaimana perjalanan hidupnya, apakah kau mengerti sejarah Tan Malaka, Godam?"

"Oke. Akan aku bentangkan secara singkat perkara bapak bangsa yang terlupakan ini, memang aku kesini ingin berdiskusi denganmu. Dalam memoarnya dari sebuah Novel yang berjudul Tan karya Hendri Teja. Tan Malaka lahir di Suliki, Sumatra Barat. Ia lahir dengan nama Ibrahim pada masa pacekelik. Tepat ketika bundanya melahirkannya, seorang lelaki tua misterius mendatangi ayahnya, Sutan Rasyad bahwa kelak putranya akan membawa perubahan besar pada dunia. Pada usianya yang sangat muda gelar datuk pamuncak telah di sandangnya. Girahnya besar akan pengetahuan mendorongnya berlayar ke Nederland. Tercampak dari tanah adat adalah konsekuensi yang di tanggungnya. "

"Di kota mana Tan Malaka belajar, dan siapa yang mengarahkanya pada semangat revolusioner." Aku memotong pembicaraanya, mencerna apa yang di paparkan Godam.

Kota Harleem tepatnya, Tan Malaka mengais pengetahuan di temani Fenny van de snijder, perempuan kulit putih yang di cintainya, ia melawan penjajah dengan tulisan bahkan ketika Tan Malaka di tolak untuk masuk ke Rijkweekschool, karena ia telah terlambat selama satu bulan tidak mungkin rasanya untuk di terima. Horensma tak kehabisan akal mencoba bernegoisasi, lelaki Belanda separuh botak yang bertanggung jawab untuk mengantarkan Tan Malaka ke ambang gerbang Rijjkweekschool. Saat tuan direktur Van der lay mengibas-ngibaskan berkasnya kemudian ada selembar kertas melayang jatuh. Mata Horensma terpancing, ia membukuk lalu memungut kertas itu dan berkata, "ternyata kau suka mempelajari kehidupan rakyat Hindia."

"Apa?, oh itu, aku mengguntinya dari Het Volk sekitar setahun silam, kalau tidak salah penulisnya pasti orang Belanda yang pernah tinggal di Hindia."

"Mungkin kau benar, tapi sebelumnya izinkan aku memperkenalkan pemuda yang telah menulis artikel kerja rodi itu. " Mata Van der Lay membelalak lalu dia mengulurkan tangan kepada Tan Malaka sikapnya tak seangkuh sebelumnya.

"Jadi, bagaimana menurutmu?" Horensma bertanya.

"Anggap saja sudah beres."

"Terkadang tulisan lebih tajam dari pada sebilah pedang bahkan sebuah tulisan bisa membunuh para penguasa. Nah, Herman dan Van der Mij lah yang pada awalnya membuka dan menggiring pemikiran Tan Malaka menjadi seorang Revolusioner." Godam tersenyum kecil, menatap buku yang di bawanya.

"Selesaikan akhir ceritanya Godam."
Baiklah, Enam tahun kemudia ia kembali ke Indonesia untuk menjadi guru bagi anak-anak buruh perkebunan di sumatra sejak saat itu ia terlibat aktif dalam aksi-aksi mogok kerja maupun perlawanan buruh di berbagai tempat. Akibatnya ia di buang ke Boven Digul.

"Lalu, bagaimana tentang kematian Tan Malaka bapak bangsa itu. Godam?"

"Oh itu?. Aku belum membaca bukunya, kurang tau juga yang pasti dia di bunuh oleh bangsanya sendiri." Keheningan panjang yang membunuh menyusul, sesaat kita tidak tau yang membunuh bapak republik.

Penulis : Joko Kuncoro