A.
Pengantar
PMII lahir bukan hanya dari nilai Islam, organisasi
yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah ini juga bukan hanya sebagai wadah
berkumpulnya Mahasiswa NU. Di dalam negara Indonesia tercinta, PMII menjadi
satu-satunya organisasi kemahasiswaan yang mampu dan berani memadukan antara
nilai – nilai keislaman dan nilai – nilai keindonesiaan. Islam sebagai agama,
sedangkan Indonesia adalah negara yang memiliki keberadaan unik dan berbeda.
Intinya PMII menghadirkan Islam dengan tetap mengacu pada nilai – nilai
kebudayaan bangsa Indonesia.
Menjadi kader PMII, secara otomatis menjadi generasi
Indonesia yang siap berbakti dan mengabdi untuk kejayaan Indonesia. Generasi
Indonesia adalah generasi yang tidak pernah kehilangan nilai-nilai
keindonesiaan yang telah ditanamkan oleh para pendiri bangsa ini. Sebab,
membangun PMII sama halnya dengan membangun bangsa Indonesia. Generasi
Indonesia yang sejati adalah generasi yang berjiwa Indonesia, yaitu berhati
putih, dan berjiwa merah sebagai lambang keberanian. Maksudnya berani untuk dan
demi Indonesia, sehingga menjadi generasi sejati haruslah mampu berinteraksi
secara total dengan nilai-nilai keindonesiaan, baik nilai sejarah maupun
nilai-nilai kebudayaan Indonesia. Dan, itulah salah satu ciri kader PMII yang
kaffah, yaitu kader yang memahami kondisi Indonesia sejak awal sampai bagaimana
memposisikan Indonesia di tengah pusaran global yang setiap waktu bisa berubah.
B.
Sejarah Indonesia
Pada hakikatnya masalah pembabakan atau periodesasi
sejarah bukanlah sekedar menentukan batas awal dan batas akhir, atau pembagian
babak satu, dua dan tiga; melainkan juga harus menjelaskan alasanalasan
rasional, yang berkaitan erat konsep pemenggalan waktu tersebut, termasuk
konsep ruang (spatial) dan waktu (temporal). Artinya harus jelas tempat atau
ruang di mana peristiwa itu terjadi dan kapan terjadinya. Kalau konsep serta
argumentasinya tidak jelas, maka akan terjadi kerancuan, bahkan kekacauan.
Pada awalnya pembabakan Sejarah Indonesia disusun
dengan mengikuti pembabakan yang telah dibuat oleh para sejarawan Kolonial
Belanda, khususnya buku Geschiedenis van Nederlandsch-Indië (terbit pertama kali
tahun 1939) karya Stapel dkk. Ternyata pembabakan ‚tiruan‛ itu selain banyak
mengundang kritikan karena dinilai tidak cocok dengan semangat ‚Indonesia
Sentris‛ yang berkembang waktu itu. Masalah pembabakan itu kemudian dibawa ke
dalam Kongres Nasional Sejarah pada tahun 1957 yang kemudian dibicarakana lagi
pada Seminar Nasional Sejarah ke-2 tahun 1970. Salah satu keputusan dari
Seminar Nasional Sejarah yang kedua itu adalah penulisan Sejarah Nasional
Indonesia yang diharapkan nantinya menjadi semacam buku baboon sejarah
Indonesia.
Berdasarkan keputusan akhirnya pada pertengahan dekade
1970-an terbit buku ‚Sejarah Nasional Indonesia‛ terdiri dari enam jilid, yang
diterbitkan oleh Balai Pustaka-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. Pada cetakan pertama, duduk sebagai editor umum adalah Sartono Kartodirdjo,
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Dalam ‚pemutakhiran yang
dilakukan pada tahun 1984, susunan editornya berubah menjadi Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Ada pun susunan pembabakannya berdasarkan
cetakan kedelapan tahun 1993 adalah sebagai berikut:
•
Jilid I Jaman Prasejarah di
Indonesia
•
Jilid II Jaman Kuno (awal M –
1500 M)
•
Jilid III Jaman Pertumbuhan
dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia (±15001800)
•
Jilid IV Abad Kesembilanbelas
(± 1800-1900)
•
Jilid V Jaman Kebangkitan
Nasional dan Masa Akhir Hindia Belanda (±1900-1942)
•
Jilid VI Jaman Jepang dan
Jaman Republik Indonesia (±1942-1984)
Ternyata terbitnya buku Sejarah Nasional Indonesia
tidak menyelesaikan permasalahan yang ada. Selain banyak yang pro dan kotra
terhadap buku tersebut, juga dalam praktiknya masaih banyak buku ajar sejarah,
terutama untuk sekolah-sekolah menengah yang terpengaruh oleh tulisan Stapel
dkk, atau tidak jelas dalam pembabakaannya. Sebagai contoh kesalahan dalam membuat
pembabakan itu nampak pada buku ajar Sejarah Indonesia untuk SMU yang
diterbitkan oleh penerbit Bumi Aksara. Penulis buku itu membagi periodisasi
Sejarah Indonesia sebagai berikut:
1.
Zaman Prasejarah, yaitu zaman
ketika orang belum mengenal tulisan yang diakhir pada abad ke-4 Masehi
2.
Zaman Proto Sejarah yaitu
zaman ambang sejarah. Pasa zaman ini sudah ada tulisan-tulisan, tetapi sumber
tulisan itu dari luar negeri dan beritanya samarsamar.
3.
Zaman Sejarah, yaitu zaman di
mana orang sudah mengenal tulisan, yang memberi keterangan tetang
peristiwa-peristiwa masa lampau.
a.
Indonesia abad ke-1 s/d abad
ke-14 disebut Zaman Kuno yang membicarakan masa berkembangnya kebudayaan
Indonesia yang dipengaruhi agama Hindu dan Budha
b.
Indonesia abad ke-15 s/d abad
ke -18 disebut Zaman Baru yang membicarakan masa berkembangnya budaya Islam
sampai jatuhnya Mataram dan Banten ke tangan imperialis
Belanda
c.
Indonesia sesudah abad 18
disebut Zaman Modern.
Terlepas dari masih adanya polemic sekitar buku Sejarah
Nasional Indonesia yang enam jilid, pembabakan dalam tulisan sejarah pada
hakekatnya dapat disusun berdasarkan kronologis atau tematis. Susunan secara
kronologis artinya setiap babak disusun berdasarkan penggalan-penggalan waktu
kejadian sebenarnya. Pembabakan secara kronologis ini terutama sangat membantu
untuk penulisan sejarah yang mencakup kurun waktu yang panjang seperti sejarah
umum, sejarah nasional atau sejarah dunia. Misalnya Sejarah Indonesia Modern
1200-2004 karya M.C. Ricklefs yang diterbitkan oleh Serambi tahun 2005.
Struktur tulisannya adalah sebagai berikut:
I.
Lahirnya Zaman Modern
II.
Perjuangan Merebut Hegemoni,
± 1630-1800
III.
Pembentukan Negara Jajahan, ±
1800-1910
IV.
Munculnya Konsepsi Indonesia
± 1900-1942 V. Runtuhnya Negara
Jajahan ± 1942-1950
VI. Indonesia Merdeka
Era Reformasi
Pemerintahan Habibie
Presiden Habibie dengan segera membentuk sebuah
kabinet, dengan salah satu tugas yang utamanya memperolehan dukungan dari luar
negeri untuk rancangan pemulihan ekonominya. Beliau juga membebaskan para
tahanan politik dan melonggarkan kawalan terhadap kebebasan berpendapat dan
kegiatan organisasi.
Pemerintahan Wahid
Pemilihan umum untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7
Juni 1999, dengan Partai PDI Perjuangan yang dipimpin oleh Megawati
Sukarnoputri, anak perempuan Sukarno, muncul sebagai pemenang dalam pilihan
raya parlemen dengan mendapatkan 34%; Golkar (partai Suharto yang sebelumnya
selalu merupakan pemenang dalam pemilu) memperoleh 22%; Partai Persatuan
Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman
Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil Presiden untuk waktu lima
tahun.
Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan
Nasional pada awal November 1999 dan melakukan rombakan kabinetnya pada Agustus
2000. Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokrasi dan perkembangan
ekonomi di bawah keadaan-keadaan yang berlawanan. Di samping ketidakpastian
ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antara
kelompokkelompok etnik dan antara agama-agama, khususnya di Aceh, Maluku, dan
Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan oleh rakyat Timor Timur yang
tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang diakibatkan oleh para orang
militan Timor Timur pro-Indonesia menimbulkan masalah-masalah kemanusiaan dan
sosial yang besar. MPR yang semakin menentang kebijakan Presiden Wahid,
menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
Pemerintahan Megawati
Dalam MPR pertama pada bulan Agustus 2000, Presiden
Wahid memberikan laporan pertanggungjawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan
penunjuk perasaan menyerbu MPR dan mendesaknya agar meletakkan jabatan atas
alasan keterlibatannya dalam skandal. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki
pemerintahannya, beliau mengumumkan keputusan yang memberikan kekuasaan negara
sehari-hari kepada Megawati, wakil presidennya. Megawati mengambil alih jabatan
presiden tidak lama kemudian. Pemerintahan Yudhoyono
Pada tahun 2004, pemilu diadakan, dengan Susilo Bambang
Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal
jabatannya menghadapi pengalaman yang pahit seperti gempa bumi besar di Aceh
dan Nias pada Desember 2004 yang membinasakan sebagian Aceh serta gempa bumi di
Sumatera pada bulan Maret 2005. Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan
bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh
Merdeka yang bertujuan untuk mengakhiri konflik yang berpanjangan selama 30
tahun di wilayah Aceh.
C. Asal -Usul Nama Indonesia
Pada tahun 1920, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker
(1879 – 1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli),
memperkenalkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata
"India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang
telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari
Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad
ke-19 lalu diterjemahkan oleh JLA. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas
Johannes Krom pada tahun 1920.
Pengertian Nusantara
yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian nusantara zaman
Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan
pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam Bahasa Sansekerta artinya luar,
seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Oleh Dr. Setiabudi kata
nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang
nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini
memiliki arti yang baru yaitu "Nusa Di Antara Dua Benua Dan Dua
Samudra". Sampai hari ini istilah Nusantara tetap dipakai untuk
menyebutkan wilayah tanah air dari Sabang sampai Merauke.
Orang yang pertama kali memperkenalkan nama Indonesia
adalah orang Inggris bernama George Samuel Windsor Earl dalam tulisannya yang
berjudul "On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and
Malay-Polynesian Nations" pada tahun 1850. Dalam tulisan tersebut Earl
mengusulkan dua alternatif nama untuk menggantikan sebutan Hindia
(Indie/India), yaitu Malayunesia dan Indunesia. Earl sendiri lebih menyukai
menggunakan sebutan Malayunesia mengingat bahasa pergaulan di kepulauan ini
adalah bahasa Melayu. Selanjutnya Richardson Logan mengambil nama Indonesia
dari Earl dan untuk alasan kenyamanan pelafalan, ia mengganti huruf u menjadi
o. Untuk pertama kalinya nama Indonesia muncul di dunia internasional melalui
tulisan Logan di JIAEA (1850) yang berjudul "The Ethnology of the Indian
Archipelago".
Tahun 1884 Adolf Bastian dari Universitas Berlin
menerbitkan buku sebanyak lima volume dengan judul Indonesien oder die Inseln
des Malayischen Archipel (Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu). Buku
inilah yang membuat nama Indonesia menjadi populer di kalangan cendekiawan
Belanda, sehingga membuat sebagian kalangan salah mengira bahwa nama Indonesia
diciptakan oleh Bastian, padahal ia mengambil istilah tersebut dari
tulisan-tulisan Logan.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang
mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi
pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908
dengan nama Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging
atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka Hindia Poetra berganti nama menjadi
Indonesia Merdeka. Di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie
Club pada tahun 1924. Dan di tahun 1925, Jong Islamieten Bond membentuk
kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi
yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia." Akhirnya nama
"Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa pada
Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal
dengan sebutan Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota
Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia Belanda), Muhammad Husni Thamrin,
Wiwoho Purbohadidjojo dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada
Pemerintah Hindia Belanda agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai
pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Tetapi Belanda menolak mosi ini.
Dengan jatuhnya tanah air ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah
nama "Hindia Belanda". Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, lahirlah
Republik Indonesia.
D. Pilar Kebangsaan Indonesia
Pilar adalah tiang penyangga suatu bangunan agar bisa
berdiri secara kokoh, bila tiang ini rapuh maka bangunan akan mudah roboh.
Pilar kebangsaan juga merupakan Pondasi atau dasar dimana kita pahami bersama,
kokohnya suatu bangunan sangat bergantung dari pondasi yang melandasinya. Dasar
atau fondasi bersifat tetap dan statis sedangkan pilar bersifat dinamis. Ada 4
pilar kebangsaan Indonesia, yaitu : Pancasila, UUD’ 45, NKRI, dan Bhinneka
Tunggal Ika.
a. Pancasila
Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional
membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai pancasila dijadikan landasan pokok,
landasan fundamental bagi penyelenggaraan negara Indonesia. Pancasila berisi
lima sila yang pada hakikatnya berisi lima nilai dasar yang fundamental. Nilai-nilai
dasar dari pancasila tersebut adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Nilai
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalan permusyawaratan perwakilan, dan
nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Argumen penerimaan
Pancasila sebagai asas organisasi PMII ini mencakup dua hal sekaligus.
Pertama, argumen kebangsaan. Sikap ini mempertegas bahwa cara pandang PMII
terhadap kebangsaan senantiasa dijalankan secara konsisten. PMII menolak
terhadap wacana Negara Islam (islamic state), penerapan hukum-hukum syariat
Islam pada konsep negara, penerapan Piagam Jakarta dan wacana lain yang membawa
Islam pada struktur kekuasaan. Poinnya, PMII menolak terhadap keberadaan
simbol-simbol Islam ke dalam struktur kekuasaaan negara.
Kedua, argumen teologis. PMII menjadikan Islam sebagai
Akidah yang dipegang dalam landasan teologis, baik dalam tradisi keagamaan
maupun dalam ruang gerakannya. PMII tidak membawa simbol atau gerakan atas nama
Islam dalam menempatkan para kadernya pada lembaga-lembaga kekuasaan
negara.
Dengan demikian, asas Pancasila tidak sedikitpun
menggeser akidah Ahlussunah wal Jamaah PMII. Pilihan asas organisasi ini
merupakan komitmen PMII bahwa sejak awal berdirinya, PMII menempatkan komitmen
kebangsaan di atas komitmen-komitmen yang lain, baik komitmen primordial
ataupun komitmen keagamaan. Sehingga dalam perjalannya, PMII selalu
mengedepankan isu-isu demokrasi, pluralisme, toleransi, moderasi, Hak Asasi
Manusia (HAM), serta menolak wacana negara Islam.
Sebagai mahasiswa yang mempunyai latar belakang NU dan
pesantren, PMII memiliki corak pemahaman yang terbuka bagi masuknya perspektif
di luar Islam. Sehingga pemahaman keagamaan PMII menjadi inklusif, dan tidak
ekslusif sebagaimana kalangan fundamentalis dan konservatif keagamaan seperti
Hizbut Tahrir, Lembaga Dakwah Kampus dan sebagainya. Hal ini terbukti dengan
komitmen PMII yang memilih wacana keislaman tidak dimasukkan ke dalam wilayah
kekuasaan negara. PMII memandang negara harus netral dari agama.
b. UUD’ 45
Bangsa Indonesia memiliki tujuan mulia yang tercantum
dalam pembukaan UUD’ 45, diantaranya adalah Melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia, Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdakaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sehingga untuk mencapai
tujuan tersebut, tentunya diperlukan aturan – aturan untuk mempertegak langkah
dalam perjuangan mencapai tujuan. Aturan – aturan itulah yang disebut UUD’ 45.
c. NKRI
Kita tentunya sudah tahu bahwa syarat berdirinya sebuah
negara ada empat, yaitu memiliki wilayah, penduduk, pemerintahan dan adanya
pengakuan dari negara lain. Dan karena memenuhi empat syarat itulah kemudian
Negara Indonesia lahir dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
NKRI lahir dari pengorbanan jutaan jiwa dan raga para pejuang bangsa yang
bertekad mempertahankan keutuhan bangsa. Sebab itu, NKRI adalah prinsip pokok,
hukum, dan harga mati.
d. Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika adalah motto atau semboyan Bangsa
Indonesia. kalimat ini dikutip dari kitab Sutasoma karangan Empu Tantular yang
berbahasa sansekerta (Masa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14) dan
seringkali diterjemahkan dengan kalimat ‚Berbeda-beda tetapi tetap satu jua‛.
Demikian empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara
yang semestinya harus kita jaga, pahami, hayati dan laksanakan dalam pranata
kehidupan sehari-hari. Pancasila yang menjadi sumber nilai dan Ideologi, UUD’
45 sebagai aturan yang semestinya ditaati dan NKRI adalah harga mati, serta
Bhinneka Tunggal Ika adalah perekat semua rakyat. Maka dalam bingkai empat
pilar tersebut yakinlah tujuan yang dicita-citakan bangsa ini akan terwujud.
0 Komentar