A. Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia
Terdapat beberapa pendapat yang berkembang tentang
sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Sebagai misal, dalam seminar bertema
sejarah masuknya Islam di Indonesia yang diselenggarakan di Medan pada 1976 dan
di Aceh pada 1980 para sejarawan Muslim menyepakati bahwa Islam sudah masuk ke
Indonesia sejak abad pertama Hijriyah atau pada abad ke-7 dan ke-8 Masehi
langsung dari Arab.
Pendapat lain yang berkembang dari para orientalis
Barat, C. Snouck Horgronje misalnya, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia
baru pada abad ke-13 M atau tahun 1200 M melalui tanah India dan baru sejak
abad ke-17 mereka berkenalan dengan sumber aslinya di Mekah. Teori Barat ini
berdasarkan pada masa berdirinya suatu kerajaan sebagai titik tolak masuknya
Islam di Indonesia. Pada umumnya mereka mengajukan bukti penemuan batu nisan
al-Malik al-Saleh, raja Muslim pertama, di Pasai, Aceh (Suminto, 1993:313).
Islam awal yang berkembang di Idonesia ini bersifat
sinkretis. Ada dua faktor yang mempengaruhi corak sinkretisme ini, yakni:
Pertama, sebelum kedatangan Islam, masyarakat nusantara telah dipengaruhi
secara dominan oleh agama Hindu, agama Budha, dan kepercayaan animisme dan
dinamisme, yang terlebih dahulu berkembang. Kedua, Islam yang masuk melalui
jalur india, sebagai wilayah asal agama Hindu yang kental dengan tradisi
animistik dan dinamistik, juga sangat membuka peluang tumbuh suburnya Islam
sinkretis ini. Proses purifikasi atau pemurnian kembali ajaran lslam original
terjadi seiring dengan semakin banyaknya dan mudahnya orang Indonesia yang
pergi Haji ke Mekah (Suminto, 1993: 314).
Di masa penjajahan Belanda, Islam di indonesia
mendapatkan tantangan baru dengan hadirnya agama Kristiani yang masuk melalui
proyek Kristenisasi secara sembunyi sebagai faktor penting untuk mendukung
Proses penjajahan Belanda di Indonesia. Sebab, penjajah Belanda melihat bahwa
penguasaan dan pengendalian terhadap perkembangan Islam di tengah bangsa
Indonesia adalah sebuah hal yang signifikan mengingat semua yang menguntungkan
Islam di kawasan ini akan merugikan kekuasaan pemerintahan Belanda di
Indonesia.
B. Nilai Universal Ajaran Islam
Menurut Karim, keberadaan Islam di Indonesia telah
mempunyai sejarah yang panjang sehingga memberi peluang bagi munculnya banyak
tafsiran yang berbeda-beda. Demikian pula dalam proses Pengislaman penduduk
Indonesia juga mempunyai corak yang beragam. M.C. Ricklefs (1999:33), misalnya,
membagi Islamisasi diIndonesia ke dalam tiga tahap:
1.
Tahap Konversi Agama (abad
ke-14 hingga ke-18);
2.
Tahap pembedaan penganut yang
‚komited‛ dan yang tidak ‚komited‛ (abad ke-19); dan, 3. Tahap pemurnian orang Islam (abad ke-20).
Sementara A.H. Johns (1999:34) melihat dalam perspektif
yang lebih luas untuk memberikan gambaran yang cukup jelas tentang jawaban umat
Islam terhadap proses Islamisasi, yakni melalui: kesetiaan pada ajaran
fundamentalis, perluasan ‚teosofi‛ sinkretisme, penyerapan unsur-unsur Islam ke
dalam agama yang telah ada sejak dahulu, ‚ekleteisisme‛, intelektual, dan
campuran dari semuanya ini.
Dengan mengutip Landon, Karim menyimpulkan ke-Islaman
orang Indonesia bersifat khas jika dibandingkan dengan masyarakat Muslim
manapun di dunia ini, karena keislaman mereka tidak mempengaruhi atau mengubah
praktik kehidupan sehari-hari. Bahkan, warna lokal justru sangat menentukan corak
keislaman masyarakatnya sehingga akan dijumpai ada kawasan yang sangat
dipengaruhi ajaran sufistik, sementara yang lainnya tidak. Jadi, Islam bagi
masyarakat Muslim Indonesia bukanlah identitas yang homogen.
Penelitian Karel A. Steenbrink (l984:15-26) sangat
menggambarkan heterogenitas dan kekuatan wama lokal yang mempengaruhi identitas
Muslim Indonesia pada abad ke-19. Beberapa peristiwa penting dipaparkan,
Steenbrink dalam penelitiannya ini, mulai peristiwa perang yang dilakukan
Pangeran Diponegoro dijawa, Perang padri di Minangkabau, Sumatera-yang
dilakukan oleh Tuanku Nan Renceeh, Tuanku Nan Tuo, dan Tuanku Imam Bonjol,
Jihad di Cilegon (9-30 Juli 1888), hingga Jihad di Aceh (1873 dan
seterusnya).
Beberapa peran ulama lokal pada abad ini iuga diungkap
oleh Steenbrink, seperti Syeikh Mohammad Arsyad al-Banjari (1710-1872), Haji
Ahmad Rifangi dari Kalisalak, Batang, Jawa Tengah (1786-1875), Syekh Nawawi
al-Bantani, Banten dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (1860-1916).
Steenbrink juga memaparkan tentang perkembangan
kehidupan keagamaan pada masa itu, seperti pertumbuhan lembaga-lembaga
pendidikan pesantren di Jawa dan Sumatera; perkembangan tarekat sufi, misalnya,
Tarekat Alawiyah, Tarekat Syatariyah, Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Akmaliyah
Kyai Nurhakim, Serat Centini, Serat Ciboleh Serat Darmogandul dan Babad Kediri,
dan Suluk Gatoloco. Hal yang terakhir dibahas dalam penelitiannya ini adalah
tentang kebijakan pemerintah Hindia Belanda pada kurun abad ke-19 ini.
Kebijakan-kebijakan tersebut meliputi tentang: Pengadilan agama, hakim agama
dan penghulu Masjid, masalah haji, dan perkara surat Wasiat.
Dengan demikian, jika ajaran Islam yang Universal ini
kita kaitkan dengan ajaran kita di PMII sangatlah relevan dieratkan, ditambah
lagi dengan pemikirannya yang menganut faham ASWAJA (Ahlussunnah Wal Jama’ah)
sebab Islam ASWAJA tidak memandang semua orang dari latar belakang agamanya
maupun status sosialnya, karena manusia itu semuanya saudara, dengan artian
saudara dari seorang Adam dan Hawa. Dan dari sini dapat disimpulkan
bahwasaannya Nilai Universalnya dapat dikatakan sebagai pemahaman Islam
Rahmatan Lil ‘Alamin, dengan aspek Tawasuthnya, Tasamuhnya, Tawazunnya serta
Ta’adulnya, yang akan dibahas dalam sub bab berikutnya.
C. Definisi dan Sejarah Masuknya ASWAJA di Indonesia
Istilah Ahlussunnah wal Jama'ah (ASWAJA), merupakan
gabungan dari tiga kata, yakni Ahl, Assunnah, dan Aljamâ'ah. Secara etimologis,
kata ahl ( أھل ) berarti golongan,
kelompok atau komunitas. Etimologi kata assunah ( الس Ø©ّÙ† )
memiliki arti yang cukup variatif, yakni: wajah bagian atas, kening, karakter,
hukum, perjalanan, jalan yang ditempuh, dll. Sedangkan kata aljamâ'ah (لجماعن ) berarti perkumpulan sesuatu tiga ke
atas. Adapun terminologi Ahlussunnah wal Jama'ah, bukan merujuk kepada
pengertian bahasa (lughawi) ataupun agama (syar'i), melainkan merujuk pada
pengertian yang berlaku dalam kelompok tertentu (urfi). Yaitu, ASWAJA adalah
kelompok yang konsisten menjalankan sunnah Nabi saw. dan mentauladani para
sahabat Nabi dalam akidah (tauhîd), amaliah badâniyah (syarîah) dan akhlaq
qalbiyah (tasawuf).
Terminologi istilah Ahlussunnah wal Jama'ah ini
didasarkan pada sebuah hadits yang menyatakan bahwa hanya kelompok inilah yang
selamat dari 73 perpecahan kelompok umat nabi Muhammad SAW:
Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ada dalam genggamanNya,
umatku akan bercerai-berai ke dalam 73 Golongan. Yang satu masuk surga dan yang
72 masuk neraka‛. Ditanyakan: ‛Siapakah mereka (golongan yang masuk surga) itu,
wahai Rasulullah?‛. Beliau menjawab: ‚Mereka adalah Ahlussunnah wal Jama’ah‛.
(HR. Thabrani). Hadits yang lain menjelaskan: Umat ini
nantinya juga akan terpecah menjadi 73 sekte, satu yang selamat, yang lainnya
dalam kerusakan. Shahabat bertanya, ‛Siapa yang selamat?‛ Nabi menjawab: ‛Ahlussunah
wal Jama‘ah‛. Mereka bertanya kembali: ‛Siapa Ahlussunah wal Jama‘ah?‛ Jawab
Nabi: ‛Adalah apa yang aku dan sahabatku praktekkan hari ini‛.
Dengan pengertian terminologis demikian, ASWAJA secara
riil di tengah-tengah umat Islam terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, Ahl
Alhadits dengan sumber kajian utamanya adalah dalil sam’iyah, yakni Alqur’an,
Assunnah Ijma dan Qiyas. Kedua, para ahl alkalâm atau ahl annadhar (teologi)
yang mengintegrasikan intelegensi (asshinâ’ah alfikriyyah).Mereka adalah
Asyâ'irah dengan pimpinan Abu Hasan Al'asy’ari dan Hanafiyah dipimpin oleh Abu
Manshur Almaturidi. Sumber penalaran mereka adalah akal dengan tetap meletakkan
dalil sam’iyyah dalam porsinya. Ketiga, Ahl Alwijdân wa Alkasyf (kaum
shufiyah). Sumber inspirasi mereka adalah penalaran Ahl Alhadits dan Ahl
Annadhar sebagai media penghantar yang kemudian dilanjutkan melalui pola kasyf
dan ilham. Ketiga kelompok inilah yang paling layak disebut ASWAJA secara
hakiki.
Islam masuk ke
Indonesia sejak zaman Khulafaur Rasyidin tepatnya pada masa Khalifah Utsman bin
Affan. Penyebaran Islam di Indonesia masuk melalui dua jalur utama yaitu
Jalur Selatan yang bermadzhab Syafi’i (Arab, Yaman, India, Pakistan,
Bangladesh, Malaka, Indonesia) dan Jalur Utara (Jalur Sutara) yang bermadzhab
Hanafi (Turki, persia, Kazakhstan, Uzbekistan, Afganistan, Cina, Malaka,
Indonesia).
Penyebaran Islam semakin berhasil, khususnya di Pulau
Jawa sejak abad ke-13 oleh Wali Sanga. Dari murid-murid Wali Sanga inilah
kemudian secara turun-temurun menghasilkan Ulama-ulama besar di wilayah
Nusantara seperti Syaikhuna Khoil Bangkalan (Madura), Syaikh Arsyad Al Banjari
(Banjar, Kalimantan, Syaikh Yusuf Sulawesi, dan lain-lain.
Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja)
sebagai bagaian dari kajian keislaman – merupakan upaya yang mendudukkan aswaja
secara proporsional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran
atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena
rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran,
sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat
dan aktualisasinya tertentu.
Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang
di era tertentu untuk kita yakini, sama halnya dengan aliran teologi sebagai
dogma dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan tertentu. Padahal aliran
teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan interpretasi
sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita
antisipasi berarti kita telah memelihara kemerdekaan (hurriyah); yakni
kebebasan berfikir (hurriyah al-ra’yi), kebebasan berusaha dan berinisiatif
(hurriyah al-irodah) serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas (hurriyah
al-harokah).
Di Indonesia, Nahdlatul Ulama merumuskan ASWAJA dengan
dua pengertian. Pertama, ASWAJA sudah ada sejak zaman Nabi, sahabat nabi,
tâbi'în dan tâbi'înattâbi'în yang umumnya disebut dengan
assalaf ashshalih. Pendapat ini didasarkan pada pengertian bahwa ASWAJA
berarti golongan yang setia pada Assunah dan Aljamâ'ah, yaitu Islam yang
diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. bersama para sahabatnya pada
zaman Nabi masih hidup dan apa yang dipraktekkan para sahabat sepeninggal
beliau, terutama Khulafa‘ Arrasyidin. Dari pengertian ini, ASWAJA dirumuskan
sebagai: kelompok yang senantiasa konsisten dan setia mengikuti sunnah Nabi
saw. dan thariqah atau jalan para sahabatnya dalam akidah, fiqh dan tasawuf.
Kelompok ini terdiri dari para teolog (mutakallimîn), ahli fiqh (fuqahâ’), ahli
hadits (muhaditsîn), dan ulama tasawuf (mutashawwifîn).
Kedua, ASWAJA adalah paham keagamaan yang muncul
(dimurnikan) setelah Imam Abu Alhasan Al'asy'ari dan Imam Abu Manshur
Almaturidi memformulasikan akidah Islam yang sesuai dengan
Alqur'an dan Assunnah.Itu sebabnya, kelompok ASWAJA juga disebut sebagai
penganut paham Asy'ariyah dan Maturidiyah. Syaikh Murtadla Azzubaidi dalam
kitab Al'ittihâf Assâdah Almuttaqîn, Syarah kitab Ihyâ' Ulûmiddîn karya Imam
Alghazali menyatakan: Ketika diucapkan secara mutlak istilah Ahlussunnah wal
Jama'ah, maka yang dikehendaki mereka ialah kelompok penganut paham Al'asy'ari
dan Almaturidi.
KH. Hasyim Asy’ari pada
sambutan pembukaan deklarasi berdirinya Jam’iyah Nahdlatul Ulama menandaskan:
‚Ciri Ahlussunah wal Jama‘ah, adalah mereka yang di bidang tauhid mengikuti
Imam Abu Alhasan Al'asy’ari atau Abu Mansur Almaturidi; di bidang fiqh
mengikuti madzhab empat: Imam Abi Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i bin Idris
atau Ahmad bin Hambal; dan di bidang tasawuf mengikuti ajaran Syaikh Junaid Albaghdadi
dan Imam Alghazali.‛
Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar
tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut masih bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama.
Nama Ahlussunnah Wal Jama’ah dipopulerkan setelah
lahirnya sekte – sekte yang menyimpang dalam Islam seperti khawarij, jabariyah,
qodariyah, mu’tazilah, dll. Sehingga muncullah teologi dari Abu Hasan
Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi yang kembali kepada Rasulullah SAW.
Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan Islam yang selalu berpegang teguh
kepada Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Kemudian didalam teologi menganut satu
dari dua madzhab yaitu Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu
Manshur Al-Maturidi. Sedangkan dalam fikih menganut satu diantara empat
madzhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Serta menganut satu dari
dua madzhab tasawuf yaitu Al-Ghazali dan AlJunaidi sebagaimana halnya
penjelasan dari KH. Hasyim Asy’ari diatas.
D. Implementasi Ajaran ASWAJA dalam PMII
Dengan sikap dan pemahaman yang didasarkan atas prinsip
Ahlussunnah wal jamaah, baik dalam bidang teologi, fikih, dll, serta pengalaman
bangsa Indonesia. maka Ahlussunnah Wal Jama’ah harus bisa menjadi alat untuk
menjawab berbagai macam realitas masyarakat, sehingga benar – benar bisa
membawa Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin. Sebagaimana pemahaman dalam prinsip
ASWAJA sebagai Manhaj, dilihat dari :
• Bidang
Aqidah : Dalam bidang Aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah
Ahlussunnah wal-Jama’ah diantaranya yang pertama adalah aqidah Uluhiyyah
(Ketuhanan), berkait dengan ikhwal eksistensi Allah SWT atau sama halnya yang
termuat dalam Rumusan NDP (Tauhid).
• Bidang
Tasawuf : Imam Al-Junaid bin Muhammad Al-Baghdadi menjelaskan ‚Tasawuf artinya
Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya; Tasawuf
adalah engkau berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apa pun.‛
Seperti halnya hubungan kasih sayang antara Manusia dengan Allah
(Hablumminallah)
• Bidang
Istinbath Al-Hukm (Pengambilan Hukum Syari’ah) : Hampir seluruh kalangan Sunni
menggunakan empat sumber hukum yaitu: Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Sama dengan rumusan NDP HablumminalAlam, sebab Istinbath Hukum ini mencakup
segalanya yakni segala aspek yang ada di Alam dunia ini.
• Bidang
Sosial Politik : Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara
yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi
(kerajaan) atau negaramodern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-syarat atau
kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut
tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut.
Syarat-syarat itu antaranya dengan Prinsip Syura (Musyawarah), Prinsip Al-‘Adl
(Keadilan), Prinsip Al-Hurriyah (Kebebasan), Prinsip Al-Musawah (Kesetaraan
Derajat). Relevan dengan konsep NDP HablumminanNas.
Sehingga, dengan begitu muncullah statemen yang mana
ASWAJA dirincikan dalam landasan Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr dan Manhaj
Al-Harokah.
Metodologi Pemikiran (Manhajul fikr) Aswaja
Jika kita mencermati doktrin-doktrin paham ASWAJA, baik
dalam akidah (iman), syariat (islam) ataupun akhlak (ihsan), maka bisa kita
dapati sebuah metodologi pemikiran (manhaj alfkr) yang tengah dan moderat
(tawassuth), berimbang atau harmoni (tawâzun), netral atau adil (ta'âdul), dan
toleran (tasâmuh). Metodologi pemikiran ASWAJA senantiasa menghidari
sikap-sikap tatharruf (ekstrim), baik ekstrim kanan atau ekstrim kiri. Inilah
yang menjadi esensi identitas untuk mencirikan paham ASWAJA dengan sekte-sekte
Islam lainnya. Dan dari prinsip metodologi pemikiran seperti inilah ASWAJA
membangun keimanan, pemikiran, sikap, perilaku dan gerakan.
1.
Tawasuth (Moderat) ialah
sebuah sikap tengah atau moderat yang tidak cenderung ke kanan atau ke kiri.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat ini sangat urgen
menjadi
semangat dalam mengakomodir beragam kepentingan dan perselisihan, lalu
berikhtiar mencari solusi yang paling ashlah (terbaik). Sikap ini didasarkan
pada firman Allah: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam),
umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan
agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Albaqarah:
143).
2.
Tawâzun (Berimbang) ialah
sikap berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan dalil-dalil
(pijakan hukum) atau pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan sebuah
keputusan dan kebijakan.Dalam konteks pemikiran dan amaliah keagamaan, prinsip
tawâzun menghindari sikap ekstrim (tatharruf) yang serba kanan sehingga
melahirkan fundamentalisme, dan menghindari sikap ekstrim yang serba kiri yang
melahirkan liberalisme dalam pengamalan ajaran agama. Sikap tawâzun ini
didasarkan pada firman Allah: Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami
dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka
Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS.
Alhadid: 25).
3.
Ta'âdul (Netral dan Adil)
ialah sikap adil dan netral dalam melihat, menimbang, menyikapi dan
menyelesaikan segala permasalahan. Adil tidak selamanya berarti sama atau
setara (tamâtsul). Adil adalah sikap proporsional berdasarkan hak dan kewajiban
masing-masing. Kalaupun keadilan menuntut adanya kesamaan atau kesetaraan, hal
itu hanya berlaku ketika realitas individu benarbenar sama dan setara secara
persis dalam segala sifat-sifatnya. Apabila dalam realitasnya terjadi tafâdlul
(keunggulan), maka keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdlîl).
Penyetaraan antara dua hal yang jelas tafâdlul, adalah tindakan aniaya
yangbertentangan dengan asas keadilan itu sendiri. Sikap ta'âdul ini
berdasarkan firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. (QS. Alma'idah: 8).
4.
Tasâmuh (toleran) ialah sikap
toleran yang bersedia menghargai terhadap segala kenyataan perbedaan dan
keanekaragaman, baik dalam pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, suku,
bangsa, agama, tradisi-budaya dan lain sebagainya.Toleransi dalam konteks agama
dan keyakinan bukan berarti kompromi akidah. Bukan berarti mengakui kebenaran
keyakinan dan kepercayaan orang lain. Toleransi agama juga bukan berarti
mengakui kesesatan dan kebatilan sebagai sesuatu yang haq dan benar.Yang salah
dan sesat tetap harus diyakini sebagai kesalahan dan kesesatan. Dan yang haq
dan benar harus tetap diyakini sebagai kebenaran yang haq. Dalam kaitannya
dengan toleransi agama, Allah SWT berfirman: Untukmulah agamamu, dan
untukkulah, agamaku. (QS. Alkafirun: 6). Barangsiapa mencari agama selain agama
Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia
di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85). Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS. Alhujurat; 13). Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‚Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi‚. (QS. Albaqarah: 30).
Aswaja sebagai Manhaj Al-Harokah
Selain sebagai landasan berpikir (Manhaj Al-Fikr),
Aswaja juga menjadi landasan bergerak atau bertindak. Disamping kita
mempercayai takdir, namun sudah seharusnya kita berusaha untuk bergerak dengan
menggunakan karakter Ahlussunnah Wal Jama’ah, demi mewujudkan Islam yang benar
dan Rahmatan Lil Alamin.
0 Komentar