A. Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia
Terdapat beberapa pendapat yang berkembang tentang sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Sebagai misal, dalam seminar bertema sejarah masuknya Islam di Indonesia yang diselenggarakan di Medan pada 1976 dan di Aceh pada 1980 para sejarawan Muslim menyepakati bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah atau pada abad ke-7 dan ke-8 Masehi langsung dari Arab. 
Pendapat lain yang berkembang dari para orientalis Barat, C. Snouck Horgronje misalnya, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia baru pada abad ke-13 M atau tahun 1200 M melalui tanah India dan baru sejak abad ke-17 mereka berkenalan dengan sumber aslinya di Mekah. Teori Barat ini berdasarkan pada masa berdirinya suatu kerajaan sebagai titik tolak masuknya Islam di Indonesia. Pada umumnya mereka mengajukan bukti penemuan batu nisan al-Malik al-Saleh, raja Muslim pertama, di Pasai, Aceh (Suminto, 1993:313).
Islam awal yang berkembang di Idonesia ini bersifat sinkretis. Ada dua faktor yang mempengaruhi corak sinkretisme ini, yakni: Pertama, sebelum kedatangan Islam, masyarakat nusantara telah dipengaruhi secara dominan oleh agama Hindu, agama Budha, dan kepercayaan animisme dan dinamisme, yang terlebih dahulu berkembang. Kedua, Islam yang masuk melalui jalur india, sebagai wilayah asal agama Hindu yang kental dengan tradisi animistik dan dinamistik, juga sangat membuka peluang tumbuh suburnya Islam sinkretis ini. Proses purifikasi atau pemurnian kembali ajaran lslam original terjadi seiring dengan semakin banyaknya dan mudahnya orang Indonesia yang pergi Haji ke Mekah (Suminto, 1993: 314).
Di masa penjajahan Belanda, Islam di indonesia mendapatkan tantangan baru dengan hadirnya agama Kristiani yang masuk melalui proyek Kristenisasi secara sembunyi sebagai faktor penting untuk mendukung Proses penjajahan Belanda di Indonesia. Sebab, penjajah Belanda melihat bahwa penguasaan dan pengendalian terhadap perkembangan Islam di tengah bangsa Indonesia adalah sebuah hal yang signifikan mengingat semua yang menguntungkan Islam di kawasan ini akan merugikan kekuasaan pemerintahan Belanda di Indonesia.

B. Nilai Universal Ajaran Islam
Menurut Karim, keberadaan Islam di Indonesia telah mempunyai sejarah yang panjang sehingga memberi peluang bagi munculnya banyak tafsiran yang berbeda-beda. Demikian pula dalam proses Pengislaman penduduk Indonesia juga mempunyai corak yang beragam. M.C. Ricklefs (1999:33), misalnya, membagi Islamisasi diIndonesia ke dalam tiga tahap:
1.      Tahap Konversi Agama (abad ke-14 hingga ke-18);
2.      Tahap pembedaan penganut yang ‚komited‛ dan yang tidak ‚komited‛ (abad ke-19); dan, 3. Tahap pemurnian orang Islam (abad ke-20).
Sementara A.H. Johns (1999:34) melihat dalam perspektif yang lebih luas untuk memberikan gambaran yang cukup jelas tentang jawaban umat Islam terhadap proses Islamisasi, yakni melalui: kesetiaan pada ajaran fundamentalis, perluasan ‚teosofi‛ sinkretisme, penyerapan unsur-unsur Islam ke dalam agama yang telah ada sejak dahulu, ‚ekleteisisme‛, intelektual, dan campuran dari semuanya ini.
Dengan mengutip Landon, Karim menyimpulkan ke-Islaman orang Indonesia bersifat khas jika dibandingkan dengan masyarakat Muslim manapun di dunia ini, karena keislaman mereka tidak mempengaruhi atau mengubah praktik kehidupan sehari-hari. Bahkan, warna lokal justru sangat menentukan corak keislaman masyarakatnya sehingga akan dijumpai ada kawasan yang sangat dipengaruhi ajaran sufistik, sementara yang lainnya tidak. Jadi, Islam bagi masyarakat Muslim Indonesia bukanlah identitas yang homogen. 
Penelitian Karel A. Steenbrink (l984:15-26) sangat menggambarkan heterogenitas dan kekuatan wama lokal yang mempengaruhi identitas Muslim Indonesia pada abad ke-19. Beberapa peristiwa penting dipaparkan, Steenbrink dalam penelitiannya ini, mulai peristiwa perang yang dilakukan Pangeran Diponegoro dijawa, Perang padri di Minangkabau, Sumatera-yang dilakukan oleh Tuanku Nan Renceeh, Tuanku Nan Tuo, dan Tuanku Imam Bonjol, Jihad di Cilegon (9-30 Juli 1888), hingga Jihad di Aceh (1873 dan seterusnya). 
Beberapa peran ulama lokal pada abad ini iuga diungkap oleh Steenbrink, seperti Syeikh Mohammad Arsyad al-Banjari (1710-1872), Haji Ahmad Rifangi dari Kalisalak, Batang, Jawa Tengah (1786-1875), Syekh Nawawi al-Bantani, Banten dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (1860-1916).
Steenbrink juga memaparkan tentang perkembangan kehidupan keagamaan pada masa itu, seperti pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan pesantren di Jawa dan Sumatera; perkembangan tarekat sufi, misalnya, Tarekat Alawiyah, Tarekat Syatariyah, Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Akmaliyah Kyai Nurhakim, Serat Centini, Serat Ciboleh Serat Darmogandul dan Babad Kediri, dan Suluk Gatoloco. Hal yang terakhir dibahas dalam penelitiannya ini adalah tentang kebijakan pemerintah Hindia Belanda pada kurun abad ke-19 ini. Kebijakan-kebijakan tersebut meliputi tentang: Pengadilan agama, hakim agama dan penghulu Masjid, masalah haji, dan perkara surat Wasiat.
Dengan demikian, jika ajaran Islam yang Universal ini kita kaitkan dengan ajaran kita di PMII sangatlah relevan dieratkan, ditambah lagi dengan pemikirannya yang menganut faham ASWAJA (Ahlussunnah Wal Jama’ah) sebab Islam ASWAJA tidak memandang semua orang dari latar belakang agamanya maupun status sosialnya, karena manusia itu semuanya saudara, dengan artian saudara dari seorang Adam dan Hawa. Dan dari sini dapat disimpulkan bahwasaannya Nilai Universalnya dapat dikatakan sebagai pemahaman Islam Rahmatan Lil ‘Alamin, dengan aspek Tawasuthnya, Tasamuhnya, Tawazunnya serta Ta’adulnya, yang akan dibahas dalam sub bab berikutnya.

C. Definisi dan Sejarah Masuknya ASWAJA di Indonesia
Istilah Ahlussunnah wal Jama'ah (ASWAJA), merupakan gabungan dari tiga kata, yakni Ahl, Assunnah, dan Aljamâ'ah. Secara etimologis, kata ahl ( Ø£Ú¾Ù„  ) berarti golongan, kelompok atau komunitas. Etimologi kata assunah (  الس Ø©ّÙ†  ) memiliki arti yang cukup variatif, yakni: wajah bagian atas, kening, karakter, hukum, perjalanan, jalan yang ditempuh, dll. Sedangkan kata aljamâ'ah  (لجماعن ) berarti perkumpulan sesuatu tiga ke atas. Adapun terminologi Ahlussunnah wal Jama'ah, bukan merujuk kepada pengertian bahasa (lughawi) ataupun agama (syar'i), melainkan merujuk pada pengertian yang berlaku dalam kelompok tertentu (urfi). Yaitu, ASWAJA adalah kelompok yang konsisten menjalankan sunnah Nabi saw. dan mentauladani para sahabat Nabi dalam akidah (tauhîd), amaliah badâniyah (syarîah) dan akhlaq qalbiyah (tasawuf). 
Terminologi istilah Ahlussunnah wal Jama'ah ini didasarkan pada sebuah hadits yang menyatakan bahwa hanya kelompok inilah yang selamat dari 73 perpecahan kelompok umat nabi Muhammad SAW:
Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ada dalam genggamanNya, umatku akan bercerai-berai ke dalam 73 Golongan. Yang satu masuk surga dan yang 72 masuk neraka‛. Ditanyakan: ‛Siapakah mereka (golongan yang masuk surga) itu, wahai Rasulullah?‛. Beliau menjawab: ‚Mereka adalah Ahlussunnah wal Jama’ah‛.
(HR. Thabrani). Hadits yang lain menjelaskan: Umat ini nantinya juga akan terpecah menjadi 73 sekte, satu yang selamat, yang lainnya dalam kerusakan. Shahabat bertanya, ‛Siapa yang selamat?‛ Nabi menjawab: ‛Ahlussunah wal Jama‘ah‛. Mereka bertanya kembali: ‛Siapa Ahlussunah wal Jama‘ah?‛ Jawab Nabi: ‛Adalah apa yang aku dan sahabatku praktekkan hari ini‛.
Dengan pengertian terminologis demikian, ASWAJA secara riil di tengah-tengah umat Islam terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, Ahl Alhadits dengan sumber kajian utamanya adalah dalil sam’iyah, yakni Alqur’an, Assunnah Ijma dan Qiyas. Kedua, para ahl alkalâm atau ahl annadhar (teologi) yang mengintegrasikan intelegensi (asshinâ’ah alfikriyyah).Mereka adalah Asyâ'irah dengan pimpinan Abu Hasan Al'asy’ari dan Hanafiyah dipimpin oleh Abu Manshur Almaturidi. Sumber penalaran mereka adalah akal dengan tetap meletakkan dalil sam’iyyah dalam porsinya. Ketiga, Ahl Alwijdân wa Alkasyf (kaum shufiyah). Sumber inspirasi mereka adalah penalaran Ahl Alhadits dan Ahl Annadhar sebagai media penghantar yang kemudian dilanjutkan melalui pola kasyf dan ilham. Ketiga kelompok inilah yang paling layak disebut ASWAJA secara hakiki.
Islam masuk ke Indonesia sejak zaman Khulafaur Rasyidin tepatnya pada masa Khalifah Utsman bin
Affan. Penyebaran Islam di Indonesia masuk melalui dua jalur utama yaitu Jalur Selatan yang bermadzhab Syafi’i (Arab, Yaman, India, Pakistan, Bangladesh, Malaka, Indonesia) dan Jalur Utara (Jalur Sutara) yang bermadzhab Hanafi (Turki, persia, Kazakhstan, Uzbekistan, Afganistan, Cina, Malaka, Indonesia).
Penyebaran Islam semakin berhasil, khususnya di Pulau Jawa sejak abad ke-13 oleh Wali Sanga. Dari murid-murid Wali Sanga inilah kemudian secara turun-temurun menghasilkan Ulama-ulama besar di wilayah Nusantara seperti Syaikhuna Khoil Bangkalan (Madura), Syaikh Arsyad Al Banjari (Banjar, Kalimantan, Syaikh Yusuf Sulawesi, dan lain-lain.
Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) sebagai bagaian dari kajian keislaman – merupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara proporsional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu.
Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini, sama halnya dengan aliran teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan tertentu. Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan interpretasi sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita antisipasi berarti kita telah memelihara kemerdekaan (hurriyah); yakni kebebasan berfikir (hurriyah al-ra’yi), kebebasan berusaha dan berinisiatif (hurriyah al-irodah) serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas (hurriyah al-harokah).
Di Indonesia, Nahdlatul Ulama merumuskan ASWAJA dengan dua pengertian. Pertama, ASWAJA sudah ada sejak zaman Nabi, sahabat nabi, tâbi'în dan tâbi'înattâbi'în yang umumnya disebut dengan
assalaf ashshalih. Pendapat ini didasarkan pada pengertian bahwa ASWAJA berarti golongan yang setia pada Assunah dan Aljamâ'ah, yaitu Islam yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. bersama para sahabatnya pada zaman Nabi masih hidup dan apa yang dipraktekkan para sahabat sepeninggal beliau, terutama Khulafa‘ Arrasyidin. Dari pengertian ini, ASWAJA dirumuskan sebagai: kelompok yang senantiasa konsisten dan setia mengikuti sunnah Nabi saw. dan thariqah atau jalan para sahabatnya dalam akidah, fiqh dan tasawuf. Kelompok ini terdiri dari para teolog (mutakallimîn), ahli fiqh (fuqahâ’), ahli hadits (muhaditsîn), dan ulama tasawuf (mutashawwifîn).
Kedua, ASWAJA adalah paham keagamaan yang muncul (dimurnikan) setelah Imam Abu Alhasan Al'asy'ari dan Imam Abu Manshur Almaturidi memformulasikan akidah Islam yang sesuai dengan
Alqur'an dan Assunnah.Itu sebabnya, kelompok ASWAJA juga disebut sebagai penganut paham Asy'ariyah dan Maturidiyah. Syaikh Murtadla Azzubaidi dalam kitab Al'ittihâf Assâdah Almuttaqîn, Syarah kitab Ihyâ' Ulûmiddîn karya Imam Alghazali menyatakan: Ketika diucapkan secara mutlak istilah Ahlussunnah wal Jama'ah, maka yang dikehendaki mereka ialah kelompok penganut paham Al'asy'ari dan Almaturidi. 
KH. Hasyim Asy’ari pada sambutan pembukaan deklarasi berdirinya Jam’iyah Nahdlatul Ulama menandaskan: ‚Ciri Ahlussunah wal Jama‘ah, adalah mereka yang di bidang tauhid mengikuti Imam Abu Alhasan Al'asy’ari atau Abu Mansur Almaturidi; di bidang fiqh mengikuti madzhab empat: Imam Abi Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i bin Idris atau Ahmad bin Hambal; dan di bidang tasawuf mengikuti ajaran Syaikh Junaid Albaghdadi dan Imam Alghazali.‛

Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut masih bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama.
Nama Ahlussunnah Wal Jama’ah dipopulerkan setelah lahirnya sekte – sekte yang menyimpang dalam Islam seperti khawarij, jabariyah, qodariyah, mu’tazilah, dll. Sehingga muncullah teologi dari Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi yang kembali kepada Rasulullah SAW. Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan Islam yang selalu berpegang teguh kepada Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Kemudian didalam teologi menganut satu dari dua madzhab yaitu Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu
Manshur Al-Maturidi. Sedangkan dalam fikih menganut satu diantara empat madzhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Serta menganut satu dari dua madzhab tasawuf yaitu Al-Ghazali dan AlJunaidi sebagaimana halnya penjelasan dari KH. Hasyim Asy’ari diatas.

D. Implementasi Ajaran ASWAJA dalam PMII
Dengan sikap dan pemahaman yang didasarkan atas prinsip Ahlussunnah wal jamaah, baik dalam bidang teologi, fikih, dll, serta pengalaman bangsa Indonesia. maka Ahlussunnah Wal Jama’ah harus bisa menjadi alat untuk menjawab berbagai macam realitas masyarakat, sehingga benar – benar bisa membawa Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin. Sebagaimana pemahaman dalam prinsip ASWAJA sebagai Manhaj, dilihat dari :
       Bidang Aqidah : Dalam bidang Aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah Ahlussunnah wal-Jama’ah diantaranya yang pertama adalah aqidah Uluhiyyah (Ketuhanan), berkait dengan ikhwal eksistensi Allah SWT atau sama halnya yang termuat dalam Rumusan NDP (Tauhid).
       Bidang Tasawuf : Imam Al-Junaid bin Muhammad Al-Baghdadi menjelaskan ‚Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya; Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apa pun.‛ Seperti halnya hubungan kasih sayang antara Manusia dengan Allah (Hablumminallah)
       Bidang Istinbath Al-Hukm (Pengambilan Hukum Syari’ah) : Hampir seluruh kalangan Sunni menggunakan empat sumber hukum yaitu: Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Sama dengan rumusan NDP HablumminalAlam, sebab Istinbath Hukum ini mencakup segalanya yakni segala aspek yang ada di Alam dunia ini.
       Bidang Sosial Politik : Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negaramodern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu antaranya dengan Prinsip Syura (Musyawarah), Prinsip Al-‘Adl (Keadilan), Prinsip Al-Hurriyah (Kebebasan), Prinsip Al-Musawah (Kesetaraan Derajat). Relevan dengan konsep NDP HablumminanNas.
Sehingga, dengan begitu muncullah statemen yang mana ASWAJA dirincikan dalam landasan Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr dan Manhaj Al-Harokah.
Metodologi Pemikiran (Manhajul fikr) Aswaja
Jika kita mencermati doktrin-doktrin paham ASWAJA, baik dalam akidah (iman), syariat (islam) ataupun akhlak (ihsan), maka bisa kita dapati sebuah metodologi pemikiran (manhaj alfkr) yang tengah dan moderat (tawassuth), berimbang atau harmoni (tawâzun), netral atau adil (ta'âdul), dan toleran (tasâmuh). Metodologi pemikiran ASWAJA senantiasa menghidari sikap-sikap tatharruf (ekstrim), baik ekstrim kanan atau ekstrim kiri. Inilah yang menjadi esensi identitas untuk mencirikan paham ASWAJA dengan sekte-sekte Islam lainnya. Dan dari prinsip metodologi pemikiran seperti inilah ASWAJA membangun keimanan, pemikiran, sikap, perilaku dan gerakan.
1.     Tawasuth (Moderat) ialah sebuah sikap tengah atau moderat yang tidak cenderung ke kanan atau ke kiri. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat ini sangat urgen menjadi
semangat dalam mengakomodir beragam kepentingan dan perselisihan, lalu berikhtiar mencari solusi yang paling ashlah (terbaik). Sikap ini didasarkan pada firman Allah: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Albaqarah: 143).
2.     Tawâzun (Berimbang) ialah sikap berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan dalil-dalil (pijakan hukum) atau pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan sebuah keputusan dan kebijakan.Dalam konteks pemikiran dan amaliah keagamaan, prinsip tawâzun menghindari sikap ekstrim (tatharruf) yang serba kanan sehingga melahirkan fundamentalisme, dan menghindari sikap ekstrim yang serba kiri yang melahirkan liberalisme dalam pengamalan ajaran agama. Sikap tawâzun ini didasarkan pada firman Allah: Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. Alhadid: 25).
3.     Ta'âdul (Netral dan Adil) ialah sikap adil dan netral dalam melihat, menimbang, menyikapi dan menyelesaikan segala permasalahan. Adil tidak selamanya berarti sama atau setara (tamâtsul). Adil adalah sikap proporsional berdasarkan hak dan kewajiban masing-masing. Kalaupun keadilan menuntut adanya kesamaan atau kesetaraan, hal itu hanya berlaku ketika realitas individu benarbenar sama dan setara secara persis dalam segala sifat-sifatnya. Apabila dalam realitasnya terjadi tafâdlul (keunggulan), maka keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdlîl). Penyetaraan antara dua hal yang jelas tafâdlul, adalah tindakan aniaya yangbertentangan dengan asas keadilan itu sendiri. Sikap ta'âdul ini berdasarkan firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS. Alma'idah: 8).
4.     Tasâmuh (toleran) ialah sikap toleran yang bersedia menghargai terhadap segala kenyataan perbedaan dan keanekaragaman, baik dalam pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, suku, bangsa, agama, tradisi-budaya dan lain sebagainya.Toleransi dalam konteks agama dan keyakinan bukan berarti kompromi akidah. Bukan berarti mengakui kebenaran keyakinan dan kepercayaan orang lain. Toleransi agama juga bukan berarti mengakui kesesatan dan kebatilan sebagai sesuatu yang haq dan benar.Yang salah dan sesat tetap harus diyakini sebagai kesalahan dan kesesatan. Dan yang haq dan benar harus tetap diyakini sebagai kebenaran yang haq. Dalam kaitannya dengan toleransi agama, Allah SWT berfirman: Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS. Alkafirun: 6). Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85). Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS. Alhujurat; 13). Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‚Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi‚. (QS. Albaqarah: 30).
Aswaja sebagai Manhaj Al-Harokah 
Selain sebagai landasan berpikir (Manhaj Al-Fikr), Aswaja juga menjadi landasan bergerak atau bertindak. Disamping kita mempercayai takdir, namun sudah seharusnya kita berusaha untuk bergerak dengan menggunakan karakter Ahlussunnah Wal Jama’ah, demi mewujudkan Islam yang benar dan Rahmatan Lil Alamin.