MATERI 3
KELEMBAGAAN KOPRI DAN STUDY GENDER
A.       Pengertian Gender
        Kata Gender‛ berasal dari bahasa Inggris ‚gender‛ berarti ‚jenis kelamin‛. Dalam Webter New World Dictionary, gender diartikan sebagai ‚perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku‛.
       Hilany M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex and Gender, an Introduction mengatakan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (culturalecpectationsfor women and men), Pendapat ini sejalan dengan pendapat umumnya kaum feminis seperli Linda L. Lindsey, yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-Iaki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (what A given society difines asmasculine or feminine is a component of gender).
       HT. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-Iaki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan.
Dari berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya. Gender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non biologis. Konsep gender yakni suatu hal yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural sejarah perbedaan gender (gender difference) antara manum jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu, terbentuknya perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosia1iasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial dan kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara

B. Sejarah Awal Adanya KOPRI
Sejarah organisasi yang bernama Korp PMII Putri yang disingkat KOPRI mengalami proses yang panjang dan dinamis. KOPRI berdiri pada kongres III PMII pada tanggal 7-11 Februari 1967 di Malang Jawa Timur dalam bentuk Departemen Keputrian dengan berkedudukan di Surabaya Jawa Timur dan lahir bersamaan Mukernas II PMII di Semarang Jawa Tengah pada tanggal 25 September 1976. Musyawarah Nasional pertama Korp PMII Putri diselenggarakan pada kongres IV PMII 1970.
KOPRI dari masa ke masa mengalami ketidakharmonisan karena minimnya koodinasi. Hanya pada saat Ali Masykur Musa (1991-1994) yang memiliki keharmonisan dengan Ketua KOPRI-nya dari Lampung (Jauharoh Haddad). KOPRI pada awalnya diposisikan menjadi badan otonom dari PMII namun sekarang menjadi semi otonom yang mana pimpinan KOPRI dipilih atau ditunjuk oleh Ketua Umum PB PMII. Tepatnya KOPRI harus berada di cabang-cabang di setiap daerah.
KOPRI mengalami keputusan yang pahit ketika status KOPRI dibubarkan melalui voting beda suara pada Kongres KOPRI VII atau PMII XIII di Medan pada tahun 2000. Merasa pengalaman pahit itu terasa, bahwa kader-kader perempuan PMII pasca kongres di Medan mengalami stagnasi yang berkepanjangan dan tidak menentu, oleh sebab itu kader-kader perempuan PMII mengganggap perlu dibentuknya wadah kembali, kongres XIII di Kutai Kertanegara Kalimantan Timur pada tanggal 16-21 April 2003 sebagai momentum yang tepat untuk memprakarsai adanya wadah. 
Maka, terbentuklah POKJA perempuan dan kemudian lahirlah kembali KOPRI di Jakarta pada tanggal 29 September 2003,  karena semakin tajam semangat kader perempuan PMII maka pada kongres di Bogor tanggal 26-31 Mei tahun 2005 dan terjadi voting atas status KOPRI denga suara terbanyak menyatakan KOPRI adalah Otonom sekaligus memilih ketua umum PB KOPRI secara langsung sehingga terpilih dalam kongres sahabati Ai’ maryati Shalihah. Dalam Kongres PMII ke-16 di Batam, Maret 2008, setelah melalui sidang dan voting yang menegangkan dan melelahkan hingga subuh, memutuskan status KOPRI  adalah Semi Otonom.
 
B.       Legalitas Serta Visi Misi KOPRI
Berdasarkan referensi dari AD (Anggaran Dasar) PMII tentang Legalitas KOPRI yang dijelaskan dalam Bab VIII Pengembangan PMII Putri Pasal 9 yakni (1) Pengembangan PMII putri diwujudkan dengan pembentukan wadah kader putri pmii yaitu Koprs PMII putri yang selanjutnya disingkat KOPRI. (2) KOPRI adalah wadah perempuan yang didirikan oleh kader putri PMII melalui kelompok kerja sebagai keputusan Kongres PMII XIV. (3) KOPRI didirikan pada tanggal 29 september 2003 di asrama haji pondok gede Jakarta dan merupakan kelanjutan sejarah dari KOPRI yang didirikan pada 25 September 1967 (4) KOPRI berstatus Badan Semi Otonom pada setiap level kepengurusan PMII.
Adapun fungsi dibentuknya KOPRI dijelaskan dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) BAB VIII  PMII PUTRI Pasal 21 Ayat 2 bahwa KOPRI diwujudkan dalam Badan Semi Otonom yang secara khusus menangani pengembangan kader putri PMII berperspektif keadilan dan kesetaraan gender.
Salah satu wujud adanya KOPRI dilihat dari bagian kepengurusan juga dipaparkan dalam Bab VII Anggaran Rumah Tangga (ART) PMII tentang Kuota Kepengurusan Pasal 20 dinyatakan bahwa ayat (1) Kepengurusan di setiap tingkat harus menempatkan anggota perempuan dari 1/3 keseluruhan anggota pengurus. Dan ayat (2) Setiap kegiatan PMII harus dilaksanakan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan perempuan 1/3 dari keseluruhan anggota.
Struktur KOPRI sebagaimana struktur PMII, yakni (1) Pengurus KOPRI terdiri dari seorang ketua, seorang sekretaris, seorang bendahara dan sejumlah biro-biro sesuai dengan kebutuhan. (2) Pengurus KOPRI disahkan dengan SK Ketua Umum di setiap level/jenjang kepengurusan. 
a.  Pengurus KOPRI PB PMII, disahkan oleh SK Ketua Umum PB PMII 
b.  Pengurus KOPRI PKC PMII, disahkan oleh SK Ketua PKC PMII 
c.  Pengurus KOPRI PC PMII, disahkan oleh SK Ketua PC PMII (ART PMII Bab VIII Pasal 22 Ayat 1&2).

Kemudian, Visi KOPRI adalah Terciptanya masyarakat yang berkeadilan berlandaskan kesetaraan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dan Misi KOPRI adalah Mengideologisasikan nilai keadilan gender dan mengkonsolidasikan gerakan perempuan di PMII untuk membangun masyarakat berkeadilan gender.

 C. Hubungan KOPRI dengan Penjelasan Gender
Seperti halnya penjelasan mengenai terbentuknya KOPRI yang tak lain adalah memberi wadah bagi perempuan untuk bergerak seperti halnya laki-laki pada tanggung jawab sosialnya. Maka, munculah statemen Gender (kesetaraan) antara keduanya. Dalam artian kesetaraan bertanggung jawab dan merupakan wujud dekontruksi serta rekontruksi budaya patriaki yang dianggap sangat memojokkan seorang perempuan. Yang seolah-olah perempuan itu tidak layak untuk berpendidikan tinggi dan harusnya ia hanya berada dirumah terus-menerus. Padahal sudah jelas dalam kandungan ayat Allah, bahwa semua manusia itu sama, yang membedakan adalah keimanan dan ketaqwaannya. Dan Gender di PMII ini sifatnya masih ada batasan-batasannya, seperti halnya batasan perempuan yang sifatnya kodrati.
Jika dihubungkan dengan KOPRI sendiri, maka tak lain adalah saling berkesinambungan antar keduanya. KOPRI adalah wadahnya, sedangkan Gender adalah isinya. Singkatnya KOPRI ini sebagai pengembangan bagi Perempuan yang cenderung merasa malu jika harus bersama-sama dalam forum dengan laki-laki tanpa adanya suatu kebiasaan. Nah, dengan wadah dan pengajaran mengenai gender inilah perempuan dapat membiasakan diri untuk mengembangkan bakatnya lewat argumen-argumennya dalam forum khusus perempuan tanpa menghilangkan sifat feminisnya sebagai seorang perempuan. Artinya, dalam gender KOPRI tersebut masih ada batasan-batasan yang memang harus dibatasi bagi seorang perempuan itu sendiri (segi hukum alam), kecuali dalam segi berpikirnya, perempuan dan laki-laki sama tak ada batasannya.

C.       Prespektif Islam Tentang Gender
Dalam prespektif Islam, semua yang diciptakan Allah SWT berdasarkan kudratnya masing-masing, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Qamar (54): 49 yang berbunyi ‚Sesungguhnya segala sesuatu Kami
ciptakan dengan qadar/qudrat‛. Kodrat berasaI dari bahasa Arab qadara/qadira,- yaqduru/yaqdiru - qudratan, Da1am kamus Munjid fi al-lughah Wal al-A'Iam, kata ini diartikan dengan qawiyyun 'ala as-syai (kuasa mengerjakan senatu), ja’alajhu 'ala miqdarih (membagi sesuatu menurut porsinya), atau qashshara (memendekkan/membatasi). Dari akar kata qadara/ qadira ini juga lahir kata taqdir (qaddra-yuqaddira - taqdir). 
Bagaimana sesungguhnya pandangan Islam (a-Qur'an dan Hadits) dalam menempatkan perbedan jenis kelamin daIam konsep pranata sosial. Catatan sejarah tentang kedudukan dalam struktur sosial, khususnya masyarakat Arab pra-Islam sangat memprihatinkan. Perempuan dipandang tidak lebih dari "obyek", perlakuan seks kaum laki-Iaki dan dianggap sebagai beban dalam strata sosial. Itulah sebabnya, dalam budaya masyarakat Arab ketika itu bukan sesuatu yang naif untuk "menyingkirkan" perempuan dalam kehidupan dan pergaulan mereka. Tidak segan-segan mereka membunuh, bahkan mengubur anak perempuan mereka. AI-Qur'an sendiri secara langsung menyinggung hal ini dan menyindir mereka yang berpikiran picik yang menganggap anak, khususnya perempuan, hanya sebagai beban sosial dan ekonomi. QS. Al-An'am (16): 151: … Dan janganlah kamu membubuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dam kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatanperbuatan keji, baik yang tampak diataranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membubuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahaminya‛.
Islam mengakui adanya perbedaan (distintion) antara laki-Iaki dan perempuan, bukan pembedaan (discrimination). Perbedaan tersebut didasarkan atas kondisi fisik biologis perempuan yang ditakdirkan berbeda dengan laki-laki., namun perbedaan itu tidak dimaksudkan untuk memuliakan yang satu dan merendahkan yang lainnya. Dalam Islam, kaum perempuan juga memperoleh berbagai hak sebagaimana halnya kawan laki-laki.
a.      Hak-Hak Dalam Bidang Politik
Tidak ditemukan ayat/hadits yang melarang kaum perempuan untuk akill dalam dunia polilik. Hal ini terdapat dalam QS. at-Taubah (9):71, QS. al-Mumtahanah (60):12.
b.     Hak-hak dalam Memilih Pekerjaan
Memilih pekerjaan bagi perempuan juga tak ada larangan baik itu di dalam atau di luar rumah, baik secara mandiri atau secara kolektif, baik di lembaga pemerintah atau swasta. Selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan dan tetap memelihara agamanya, serta tetap menghindari dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
c.      Hak memperoleh pekerjaan
Kalimat pertama yang diturunkan daIam Al-Qur'an adalah kalimat perintah, yaitu perintah untuk membaca (iqra'). Perintah untuk menuntut ilmu pengetahuan tidak hanya bagi kaum laki-Iaki tetapi juga perempuan "menuntut ilmu pengetahuan difardlukan kepada kaum Muslim laki-Iaki dan perempuan".

E. Gender dalam PMII
Berbicara tentang gender, berarti berbicara tentang masalah fungsi dan sosial. Seperti ungkapan Hilany M. Lips dan SA. Shield, ia berasumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Artinya, unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut didalam masyarakat. Begitupun di dalam PMII, yang mana memberikan sebuah wadah khusus untuk memahami bagaimana konsep feminisme (gender) tersebut. 
Melalui investigasi teoritis, sering kita temukan anggapan-anggapan kader PMII seperti pemikiran Nur Amir Samsuri, bahwa feminisme merupakan sebuah ide yang diantaranya berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan. Dengan begitu, realitas seperti inilah yang akan berdampak jangka panjang dalam proses kaderisasi bagi organisasi tentang pemahaman feminisme, karena pemaknaan tersebut akan menimbulkan sikap yang selalu beranggapan bahwasannya perempuan selalu berada dibawah laki-laki (berbicara masalah sosial bukan kodrat). 
Konsep Gender dalam PMII
Dalam konteks wacana maupun pemahaman gender di organisasi PMII, konsep yang dimaksudkan bukanlah konsep pembebasan perempuan atas ketertindasan oleh kaum laki-laki. Akan tetapi, pemikiran ataupun konsep disini adalah bagaimana pengaplikasian pada pengetahuan realitas kehidupan sosial organisasi PMII dengan tujuan menuju perubahan positif dan progressif ataupun inovatif untuk keberlangsungan eksistensi PMII itu sendiri. Memang yang terjadi saat ini, secara mayoritas dalam perkembangan fungsional-struktural, kemudian keberhasilan dalam mencapai proses kaderisasi selalu didominasi oleh laki-laki. Hal ini disebabkan karena adanya pola pikir logis yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Oleh karena itu, pemikiran teori feminis modern yang dikembangkan di dalam wadah PMII selalu berorientasi pada pemahaman kesejajaran dan juga pengaplikasian secara sosial untuk menciptakan sebuah kehidupan sosial itu menjadi lebih baik dan lebih terarah. Tepatnya, gender merupakan shadow system dari feminisme yang digunakan dalam konsep pengidentifikasian perbedaan maupun kesamaan laki-laki dan perempuan dalam hal pengaruh sosial budaya yang menyebabkan timbulnya turunan pembeda antara peran, perilaku, mentalitas serta karakteristik emosional laki-laki dan perempuan, yang selama ini berkembang di masyarakat khususnya di tubuh PMII.
Adapun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, konsep feminis modern sangatlah relevan dengan sistem demokrasi kita. Sebagaimana bunyi UUD 1945 Pasal 28 H ayat 2, dijelaskan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Kemudian, pasal tersebut di jabarkan kembali dalam kehidupan politik di Indonesia tentang kebijakan pemerintah yang memberikan quota 30% (UU Pemilu pasal 53) bagi calon legeslatif perempuan untuk masuk dalam sistem demokrasi yang merupakan aksi di atas perebutan kekuasaan dan wujud pengaplikasian makna gender tersebut.
Jadi, jelaslah bahwa semua warga negara mempunyai hak yang sama tanpa membedakan status, struktur sosial, ciri-ciri primodial maupun identitas eksklusif lainnya, guna mencapai kesejahteraan bersama juga mencari jalan keluar untuk permasalahan kita semua.
Sisi Negatif Gender di PMII
Setelah membahas tentang bagaimana konsep maupun tujuan adanya realitas feminisme dalam sebuah organisasi khususnya PMII, ada beberapa faktor dari feminisme yang harus diketahui dalam berproses di PMII yaitu terbagi menjadi 2 
1.      Terjadinya pemikiran penindasan fungsional-struktural; pemahaman atas pola pikir dalam konsep kekuasaan yang merupakan dominasi kaum laki-laki. Hal ini akan melahirkan kader-kader oportunitis dan apatis sehingga merusak komitmen atas doktrinasi konsep kebersamaan dan konsep Hablum Minannas
2.  Terjadinya penyekatan (vakum) antara kaum laki-laki dan perempuan yang bersifat jangka panjang atas konflik kesalahpahaman feminisme.