BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Salah satu ilmu yang dapat membantu terwujudnya manusia yang berkualitas adalah
ilmu Tasawuf. Ilmu tersebut satu mata rantai dengan ilmu-ilmu lainnya dengan
pada sisi luar yang dhahir yang tak ubahnya jasaddan ruh yang tak dapat
terpisah keduanya
Bahwa ilmu bathin yang keluar dari qalbu itu adalah tasawuf, yang dikerjakan
dan diamalkan oleh qalbu atau hati, dan ilmu dhahir yang keluar dari lidah
adalah ilmu yang diucapkan oleh lidah dan diamalkan oleh jasad yang disebut
juga ilmu syari’ah.
Ilmu tersebut tidak dapat terpisah keduanya karena ilmu dhahir diucapkan dan
digerakkan oleh tubuh/jasad dan ilmu bathin diamalkan oleh qalbu dan serentak
pengamalannya bersamaan keduanya.Hal tersebut menunjukkan bahwa ilmu tersebut
tidak dapat dipisahkan keduanya bahkan makin dalam ilmu Tasawuf seseorang itu
semakin mendalam pula pengamalan syari’at-nya dan kewarasannya.Seorang Sufi
sangat menjaga syari’at-nya dan bathin-nya, bahkan keluar masuk nafasnya
dan khatar (kata hatinya) itu, juga dipeliharanya.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Tasawuf adalah salah satu
dari ilmu-ilmu ke-Islaman yang begitu menarik untuk dikaji. Oleh karena itu,
pada makalah ini akan diuraikan :
B.
Rumusan Masalah
1.
Sejauh mana pengertian tasawuf itu ?
2.
Asal-usul kata tasawuf ?
3.
Esensi tasawuf ?
4.
Bagaimana awal mula munculnya dan berkembangnya
tasawuf ?
5.
Apakah tujuan yang hendak dicapai oleh tasawuf
?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tasawuf
Arti tasawuf dan asal katanya menurut logat sebagaimana tersebut dalam buku Mempertajam
Mata Hati(dalam melihat Allah). Menurut Syekh Ahmad ibn Athaillah yang
diterjemahkan oleh Abu Jihaduddin Rafqi al-Hānif :
1.
Berasal dari kata suffah(صفة)= segolongan sahabat-sahabat Nabi yang
menyisihkan dirinya di serambi masjid Nabawi, karena di serambi itu para
sahabat selalu duduk bersama-sama Rasulullah untuk mendengarkan fatwa-fatwa
beliau untuk disampaikan kepada orang lain yang belum menerima fatwa itu.
2.
Berasal dari kata sūfatun (صوفة)= bulu binatang, sebab orang yang memasuki tasawuf
itu memakai baju dari bulu binatang dan tidak senang memakai pakaian yang
indah-indah sebagaimana yang dipakai oleh kebanyakan orang.
3.
Berasal dari kata sūuf al sufa’(صوفة الصفا)=
bulu yang terlembut, dengan dimaksud bahwa orang sufiitu bersifat
lembut-lembut.
4.
Berasal dari kata safa’(صفا)=
suci bersih, lawan kotor. Karena orang-orang yang mengamalkan tasawuf itu,
selalu suci bersih lahir dan bathin dan selalu meninggalkan perbuatan-perbuatan
yang kotor yang dapat menyebabkan kemurkaan Allah.[1]
Pendapat tersebut di atas menjadi khilaf (perbedaan pendapat) para ulama,
bahkan ada pendapat tidak menerima arti tasawuf dari makna logat atau asal
kata.Menurut al-Syekh Abd.Wahid Yahya berkata: Banyak perbedaan pendapat
mengenai kata”sufi” dan telah ditetapkan ketentuan yang bermacam-macam,
tanpa ada satu pendapat yang lebih utama dari pendapat lainnya kerena semua itu
bisa diterima.
Pada hakekatnya, itu merupakan penamaan simbolis. Jika diinginkan keterangan
selanjutnya, maka haruslah kembali pada jumlah bilangan pada huruf-hurufnya
adalah sesuatu yang menakjubkan jika diperhatikan bahwa jumlah dari huruf sufi
sama dengan jumlah“al-Hakim al-Ilahi”, maka seorang sufi yang hakiki
ialah orang yang sudah mencapai hikmahIlahi yaitu orang arif dengan
Allah, karena pada hakekatnya bahwa Allah tidak dapat dikenal melainkan
dengan-Nya (dengan pertolongan-Nya)[2]
Dengan pendapat para ahli tasawuf tentang arti tasawuf menurut
bahasa tersebut di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa nama-nama dan
istilah menurut bahasa adalah arti simbolik yang bermakna kebersihan dan
kesucian untuk senantisa berhubungan dengan Allah.Untuk mencapai tingkat ma’rifat
untuk menjadi manusia yang berkualitas lagi kamil.
Dari sekian banyak defenisi yang ditampilkan oleh para ahli tentang tasawuf,
sangat sulit mendefenisikannya secara lengkap karena masing-masing ahli
mendefenisikan tasawuf hanya dapat menyentuh salah satu sudutnya saja,
sebagaimana dikemukakan oleh Anne Marie Schimmel, seorang sejarahwan dan dosen tasawuf
pada Harvard University[3], sebagai
contoh apa yang telah didefenisikan oleh Syekh al-Imam al-Qusyairi dalam
kitabnya Risālah al-Qusyairiyyah,
المراعون انفاسهم مع الله تعالي
الحافظون قلوبهم عن طوارق الغفلة باسم التصوف
‘Orang-orang
yang senantiasa mengawasi nafasnya bersamaan dengan Allah Ta’ala. Orang-orang
yang senantiasa memelihara hati atau qalbunya dari berbuat lalai dan lupa
kepada Allah dengan cara tersebut di atas dinamakan tasawuf.
Menurut Abu
Muhammad al-Jariri yang disebutkan dalam kitab al-Risalah al-kusyairi
beliau ditanya tentang tasawuf, maka ia menjawa :
الدخول في كل خلق سني والخروج من كل
خلق دني
‘Masuk dalam
setiap moral yang luhur dan keluar dari setiap moral yang rendah.
Menurut Abd
al-Husain al-Nur memberikan batasan dalam defenisi yang lain yaitu akhlak yang
membentuk tasawuf :
التصوف الحرية والكرم وترك التكلف
والسخاء
‘Tasawuf
adalah kemerdekaan, kemurahan tidak membebani diri serta dermawan.[4]
Dengan beberapa pengertian tasawuf tersebut di atas menunjukkan bahwa
hubungan Allah dengan manusia yang tak terpisah, sampai merasuk dalam qalbu
sehingga manusia yang ber-tasawuf itu selalu berada dalam daerah Ilahi
yang qadim, karena manusia dalam pengertian qalbu dan ruh, dapat
dihubungkan dengan Allah seperti firman Allah dalam hadis Qudsi :
قوله تعالي في الحديث القدسي ما وسعني
ارضي ولا سماءي ووسعني قلب عبد المؤمن
‘Allah
berfirman dalam hadis Qudsi, sekiranya Aku, diletakkan di bumi dan langit-Ku
tidak mampu memuat Aku dan qalbu-nya orang mukmin dapat memuat Aku.[5]
Bahwa hadis Qudsi tersebut menggambarkan tentang bumi dan langit tidak dapat
secara langsung dekat Allah swt.Bahkan andaikata Allah swt. Akan ditempatkan dan
diletakkan dalam bumi dan langit itu tidak akan sanggup membawa dan memuatnya,
akan tetapi sekiranya Allah swt. Akan ditempatkan dan diletakkan dalam qalbu-nya
orang mukmin, niscaya akan sanngup dan mampu memuatnya karena manusia itu lebih
tinggi martabatnya, dibandingkan dengan makhluk lainnya, setelah itu pula
manusia mempunyai nur (cahaya dari Allah) dengan demikian mudah
berhubungan, nur dengan nur.
Dari beberapa keterangan, diketahui bahwa sesungguhnya pengenalan tasawuf
sudah ada dalam kehidupan Nabi saw., sahabat, dan tabi’in. Sebutan yang populer
bagi tokoh agama sebelumnya adalah zāhid, ābid, dan nāsik,
namun term tasawuf baru dikenal secara luas di kawasan Islam sejak
penghujung abad kedua Hijriah. Sebagai perkembangan lanjut dari ke-shaleh-an
asketis (kesederhanaan) atau para zāhid yang mengelompok di
serambi masjid Madinah.Dalam perjalanan kehidupan, kelompok ini lebih
mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan
mengabaikan kenikmatan duniawi.Pola hidup ke-shaleh-an yang demikian
merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan
pesatnya.Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan
fase pertama perkembangan tasawuf,[6]
yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan
akhirat sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan
keasyikan duniawi.Fase asketisme ini setidaknya sampai pada dua Hijriah
dan memasuki abad tiga Hijriah sudah terlihat adanya peralihan konkrit dari asketisme
Islam ke sufisme. Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang
ditandai oleh antara lain peralihan sebutan zāhid menjadi sufi.
Di sisi lain, pada kurun waktu ini, percakapan para zāhid sudah sampai
pada persoalan apa itu jiwa yang bersih, apa itu moral dan bagaimana metode
pembinaannya dan perbincangan tentang masalah teoritis lainnya.
Tindak lanjut dari perbincangan ini, maka bermunculanlah berbagai teori tentang
jenjang-jenjang yang harus ditempun oleh seorang Sufi(al-maqāmat) serta
ciri-ciri yang dimiliki oleh seorang sufi pada tingkat tertentu (al-hāl).
Demikian juga pada periode ini sudah mulai berkembang pembahasan tentang al-ma’rifat
serta perangkat metodenya sampai pada tingkat fana’ dan ijtihad.Bersamaan
dengan itu, tampil pula para penulis tasawuf, seperti al-Muhāsibi (w.
243 H), al-Kharraj (w. 277 H.), dan al-Junaid (w. 297 H.),[7]
dan penulis lainya.Fase ini ditandai dengan munculnya dan berkembangnya ilmu
baru dalam khazanah budaya Islam, yakni ilmu tasawuf yang tadinya hanya
berupa pengetahuan praktis atau semacam langgam keberagamaan.Selama kurun waktu
itu tasawuf berkembang terus ke arah yang lebih spesifik, seperti konsep
intuisi, al-kasyf, dan dzawq.[8]
Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai salah satu kultur ke-Islaman,
nampaknya memperoleh infus atau motivasi dari tiga faktor. Infus
ini kemudian memberikan gambaran tentang tipe gerakan yang muncul.
Pertama: adalah
karena corak kehidupan yang profan dan hidup kepelesiran yang diperagakan oleh
ummat Islam terutama para pembesar dan para hartawan. Dari aspek ini, dorongan
yang paling besar adalah sebagai reaksi dari sikap hidup yang sekuler dan
gelamour dari kelompok elit dinasti penguasa di istana. Profes tersamar ini
mereka lakukan dengan gaya murni etis, pendalaman kehidupan spiritual dengan
motivasi etikal. Tokoh populer yang dapat mewakili aliran ini dapat ditunjuk
Hasan al-Bahsri (w. 110 H) yang mempunyai pengaruh kuat dalam kesejarahan
spiritual Islam, melalui doktrin al-zuhd dan khawf – al-raja’,
rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H) dengan ajaran al-hubb atau mahabbah
serta Ma’ruf al-Kharki (w. 200 H) dengan konsepsi al-syawq sebagai
ajarannya.[9]Nampaknya
setidaknya pada awal munculnya, gerakan ini semacam gerakan sektarian yang interoversionis,
pemisahan dari trend kehidupan, eksklusif dan tegas pendirian dalam
upaya penyucian diri tanpa memperdulikan alam sekitar.
Kedua:
timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaum khawarij
dan polarisasi politik yang ditimbulkannya. Kekerasan pergulakan politik pada
masa itu, orang-orang yang ingin mempertahankan ke-shaleh-an dan
ketenangan rohaniah, terpaksa mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat
ramai untuk menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung
dalam pertentangan politik.Sikap yang demikian itu melahirkan ajaran ‘uzlah
yang dipelopori oleh Surri al-Saqathi (w. 253 H).[10]
Apabila diukur dari kriteria sosiologi, nampaknya kelompok ini dapat
dikategorikan sebagai gerakan “sempalan”, satu kelompok ummat yang sengaja
mengambil sikap ‘uzlah kolektif yang cenderung ekslusif dan kritis
tehadap penguasa.
Dalam pandangan ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis,
sepertinya merupakan pelarian, atau mencari konpensasi untuk menang dalam medan
perjuangan duniawi. Ketika di dunia yang penuh tipu daya ini sudah kering dari
siraman cinta sesama, mereka bangun dunia baru, realitas baru yang terbebas dari
kekejaman dan keserakahan, dunia spiritual yang penuh dengan salju cinta.
Faktor ketiga,
tampaknya adalah karena corak kodifikasi hukum Islam dan perumusan ilmu kalam
yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal yang menyebabkan kehingan
moralitasnya, menjadi semacam wahana tiada isi atau semacam bentuk tanpa
jiwa.Formalitas faham keagamaan dirasakan semakin kering dan menyesakkan rūh
al-dīn yang menyebabkan terputusnya komunikasi langsung suasana keakraban
personal antara hamba dan penciptanya.Kondisi hukum dan teologis yang kering
tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi agama dalam agama, para zuhūdan
tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas, sehingga memacu
penggeseran seketisme ke-shaleh-an kepada tasawuf.[11]
Apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini merupakan
fase ketiga yang ditandai dengan dimulainya unsur-unsur di luar Islam
berakulturasi dengan tasawuf. Ciri lain yang penting pada fase ini
adalah timbulnya ketegangan antara kaum orthodoks dengan kelompok sufi
berfaham ittihad[12],
di pihak lain.
Akibat lanjut dari pembenturan pemikiran itu, maka sekitar akhir abad ketiga
Hijriah tampil al-Karraj (w. 277 H) bersama al-Junaid (w. 297 H) menawarkan
konsep-konsep tasawuf yang kompromistis antara sufisme dan orthodoksi.Tujuan
gerakan ini adalah untuk menjembatani atau bila dapat untuk mengintegrasikan
antara kesadaran mistik dengan syariat Islam. Jasa mereka yang paling bernilai
adalah lahirnya doktrin al-baqa’ atau subsistensi sebagai imbangan dan
legalitas al-fana’.hasil keseluruhan dari usaha pemaduan itu, doktrin sufi
membuahkan sejumlah besar pasangan-pasangan kategori dengan tujuan memadukan
kesadaran mistik dengan syari’ah sebagai suatu lembaga. Upaya tajdid itu
mendapat sambutan luas dengan tampilnya penulis-penulis tasawuf tipologi
ini, seperti al-Sarraj dengan al-Luma,al-Kalabasi dengan al-Ta’arruf
li Mazhāhib Ahl al-Tasawuf dan al-Qusyairi dengan al-Risālah.[13]
Sesudah masanya ketiga sufi ini, muncul jenis tasawuf yang
berbeda, yaitu tasawuf yang merupakan perpaduan antara sufisme
dan filsafat sebagai hasil pikir Ibnu Masarrah (w. 381 H) dengan konsepsinya ma’rifat
sejati, sebagai gabungan dari sufisme dan teori emanasiNeo-
Platonisme. Gagasan ini, sesudah masa al-Gazali dikembangkan oleh
Suhrawardi al-Maqtūl (w. 578 H) dengan doktrin al-Isyrākiyah atau illuminasi.
Gerakan orthodoksi sufisme mencapai puncaknya pada abad lima Hijriah
memalui tokoh monumental al-Gazali (w. 503 H). Dengan upayanya mengikis semua
ajaran tasawuf yang menurutnya tidak Islami.Sufisme hasil
rekayasanya itu yang sudah merupakan corak baru, mendapat tempat yang terhormat
dalam kesejahteraan pemikiran ummat Islam.Cara yang ditempuhnya untuk
menyelesaikan pertikaian itu, adalah dengan penegasan bahwa ucapan ekstatik
berasal dari orang arif yang sedang dalam kondisi sakr atau
terkesima.Sebab dalam kenyataanya, kata al-Gazali, setelah mereka sadar mereka
mengakui pula, bahwa kesatuan dengan Tuhan itu bukanlah kesatuan hakiki,
tetapi kesatuan simbolistik.[14]
Pendekatan yang dilakukan oleh al-Gazali, nampaknya bagi satu pihak memberikan
jaminan untuk mempetahankan prinsip bahwa Allah dan alam ciptaan-Nya adalah dua
hal yang berbeda, sehingga satu sama lain tidak mungkin bersatu. Di pihak lain
memberikan kelonggaran pula bagi para sufi untuk memasuki
pengalaman-pengalaman ke-sufi-an puncak itu tanpa kekhawatiran dituduh
kafir. Gambaran ini menunjukkan tasawuf sebagai ilmu telah sampai ke
fase kematangannya atau memasuki fase keempat, yang ditandai dengan timbulnya
dua aliran tasawuf, yaitu tasawufsunni dan tasawuf
filsafati.[15]
C. Esensi
Tasawuf
Ajaran tasawuf
mengandung esensi etika yang berlandaskan padapembangunan moral manusia.
Berbicara pembangunan moralitas,sebagaimana diketahui bersama bahwa dewasa ini
peradaban dunia tengahmengalami krisis moralitas, dimana banyak fenomena
menunjukkankekerasan dan kekejian yang dilakukan oleh manusia. Sehingga
terjadidistorsi moral yang menyebabkan kehancuran dan kerugian manusia
itusendiri.Pada konteks ini, tasawuf mampu berfungsi sebagai terapi
krisisspiritual yang berimbas pada distorsi moral.
Sebabpertama
, tasawufsecara psikologis, merupakan hasil dari berbaga i pengalaman spiritual
dan merupakan bentuk dari pengetahuan langsung mengenai
realitas-realitasketuhanan yang cenderung menjadi inovator dalam agama. Kedua,kehadiran
Tuhan dalam bentuk mistis dapat menimbulkan keyakinan yangsangat kuat. Ketiga,
dalam tasawuf, hubungan dengan Allah di jalin atasdasar kecintaan. Dengan kata
lain, moralitas yang menjadi inti ajaran tasawufmendorong manusia untuk
memelihara dirinya dari menelantarkankebutuhan-kebutuhanspiritualitasnya.
Sebab,menelantarkan kebutuhan spiritualitas sangat bertentangan dengan tindakan
yang dikehendaki olehAllah SWT.Permasalahan moralitas dalam tasawuf dapat
dijadikan sebagaisalah satu alternatif materi dalam proses dakwah, karena
memiliki tigatujuan: pertama, turut serta berbagi peran dalam
penyelamatankemanusiaan dari kondisi kebingungan sebagai akibat hilangnya
nilai-nilaispiritual. Kedua , memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang
aspekesoteris Islam terhadap manusia modern. Ketiga, untuk memberikanpenegasan
bahwa sesungguhnya aspek esoteris Islam, yaitu tasawuf adalahjantung ajaran
Islam.Dengan mengaplikasikan ajaran tasawuf, umat manusia dapatmencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagiaan ini dapat tercapaidengan maksimal
tanpa harus meninggalkan atau mematikan yang satu untuk mendapatkan yang lain.
Tetapi dapat dicapai secara selaras danseimbang dengan mengaplikasikan dan
membumikan ajaran tasawufdalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara.
Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari
ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang
hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa
kehidupan rasulullah saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil
kebudayaan islam sebagaimana ilmu –ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan
ilmu tauhid. Pada masa rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal
pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat nabi.
Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh
abu Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya.
Dalam sejarah islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul
aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II
Hijriyyah.
Imam Ghazali dalam
an-Nusrah an-Nabawiahnya mengatakan bahwa mendalami dunia tasawuf itu
penting sekali.Karena, selain Nabi, tidak ada satupun manusia yang bisa lepas
dari penyakit hati seperti riya, dengki, hasud dll.Dan, dalam pandangannya,
tasawuf lah yang bisa mengobati penyakit hati itu.Karena, tasawuf konsentrasi
pada tiga hal dimana ketiga-tiganya sangat dianjurkan oleh al-Qur\'an al-karim.Pertama,
selalu melakukan kontrol diri, muraqabah dan muhasabah.Kedua,
selalu berdzikir dan mengingat Allah Swt. Ketiga, menanamkan sifat
zuhud, cinta damai, jujur,sabar, syukur, tawakal, dermawan dan ikhlas.
Melihat
konsenstrasi bahasan tasawuf di atas, jelas sekali bahwa tasawuf bagian dari
Islam.
D. Muncul
dan Berkembangnya Tasawuf
Kenapa gerakan
tasawuf baru muncul paska era Shahabat dan Tabi\'in?Kenapa tidak muncul pada
masa Nabi?Jawabnya, saat itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf.Perilaku umat
masih sangat stabil.Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam
masih dijalankan secara seimbang.Cara pandang hidupnya jauh dari budaya
pragmatisme, materialisme dan hedonisme.Tasawuf sebagai nomenklatur sebuah
perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak dibutuhkan.
Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi\'in pada hakikatnya sudah sufi: sebuah
perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak
meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq
Ketika kekuasaan Islam makin meluas.Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin
mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani.Budaya hedonisme pun menjadi
fenomena umum.Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar abad 2
Hijriah).Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup.
Konon, menurut pengarang Kasf adh-Dhunun, orang yang pertama kali
dijuluki as-shufi adalah Abu Hasyim as-Shufi (w. 150 H)
E. Tujuan
Tasawuf
Secara umum, tujuan terpenting dari sufi ialah agar berada sedekat
mungkin dengan Allah[16]. Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik
tasawuf secara umum, terlihat adanya tiga sasaran “antara” dari tasawuf,
yaitu :
1.
Tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek
moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkesinambungan,
penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga manusia konsisten dan komitmen
hanya kepada keluhuran moral. Tasawuf yang bertujuan moralitas ini, pada
umumnya bersifat praktis.tasawuf yang bertujuan ma’rifatullah
melalui penyingkapan langsung atau metode al-Kasyf al-Hijab. Tasawuf
jenis ini sudah bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang
diformulasikan secara sistimatis analitis.
2.
Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana
sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis,
pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungnan
manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan.dalam hal apa makna dekat
dengan Tuhan itu, terdapat tiga simbolisme yaitu; dekat dalam arti melihat dan
merasakan kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan Tuhan
sehingga terjadi dialog antara manusia dengan Tuhan dan makan dekat yang ketiga
adalah penyatuan manusia dengan Tuhan sehingga yang terjadi adalah menolong
antara manusia yang telah menyatu dalam iradat Tuhan[17].
Dari uraian singkat tentang tujuan sufisme ini, terlihat ada keragaman
tujuan itu. Namun dapat dirumuskan bahwa, tujuan akhir dari sufisme
adalah etika murni atau psikologi murni, dan atau keduanya secara bersamaan,
yaitu: (1) penyerahan diri sepenuhya kepada kehendak mutlak Allah, karena
Dialah penggerak utama dari sermua kejadian di alam ini; (2) penanggalan secara
total semua keinginan pribadi dan melepaskan diri dari sifat-sifat jelek yang
berkenaan dengan kehidupan duniawi (teresterial) yang diistilahkan
sebagai fana’ al-ma’asi dan baqa’ al-ta’ah; dan (3) peniadan
kesadaran terhadap “diri sendiri” serta pemusatan diri pada perenungan terhadap
Tuhan semata, tiada yang dicari kecuali Dia. Ilāhi anta maksūdīy wa ridhāka
mathlūbīy.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Kata tasawuf mulai dipercakapkan sebagai
satu istilah sekitar akhir abad dua Hijriah yang dikatkan dengan salah satu
jenis pakaian kasar yang disebut shuff atau wool kasar. Namun
dasar-dasar tasawuf sudak ada sejak datangnya agama Islam. Hal ini dapat
diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad saw. cara hidup beliau yang kemudian
diteladani dan diteruskan oleh para sahabat. Selama periode Makkiyah, kesadaran
spiritual Rasullah saw.. adalah berdasarkan atas pengalaman-pengalaman
mistik yang jelas dan pasti, sebagaimana dilukiskan dalam Aquran surah al-Najm:
12-13; surah al-Takwir:
2.
Kalau dalam pencarian akar kata tasawuf
sebagai upaya awal untuk mendefenisikan tasawuf, ternyata sulit untuk
menarik satu kesimpulan yang tepat. Kesulitan serupa ternyata dijumpai pula
pada pendefenisian tasawuf .kesulitan itu nampaknya berpangkal pada esesnsi
tasawuf sebagai pengalaman rohaniah yang hampir tidak mungkin dijelaskan
secara tepat melalui bahasa lisan.
3.
Sementara tujuan akhir tasawuf itu
sendiri adalah etika murni atau psikologi murni yang mencakup :
a.
Penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak
mutlak Allah.
b.
Penanggalan secara total keinginan-keinginan
pribadi dan melepaskan diri dari sifat-sifat jelek.
c.
Pemusatan pada perenungan terhadap Tuhan, tiada
yang dicari kecuali Dia.
DAFTAR
PUSTAKA
Fazlur Rahman. Islam.
Diterjemahkan oleh Ahsin dengan judul Islam Bandung: Pustaka, 1984.
Al-Iskandariah,
Ibnu Athaillah Syekh ahamd ibn.Pengubah Abu Jihaduddin Rifqi al-Hanif dengan
judul Mempertajam Mata Hati. t.t: Bintang Pelajar, 1990.
Ibnu Athaillah.
al-Hikam. Diterjemahkan oleh Salim Bahreisy dengan judul Tarjamah
al-Hikmah. Cet. V; Surabaya: Balai Buku, 1984).
al-Jaeliy,
Al-Syekh Abd al-Karim ibn Ibrahim. Insan al-Kāmil fi Ma’rifat Awāliri wa
al-Awā’il. Jilid II. Mesir: Syarikah Matba’ah Mustafa- Babil Halabi wa
Alādih, 1375 H.
al-Manawi,
Mustafa Muhammad al-Allāmah. Faedul Qadīr. Jilid IV. Mesir: Sanabun
Maktabah, 1357 H.
Nicholson.The
Mystic of Islam. London: Keqan Paul Ltd., 1966.
Permadi, K. Pengantar
Ilmu Tasawuf.Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Sahabuddin.Metode
Mempelajari Ilmu Tasawuf, menurut Ulama Sufi Cet. II; Surabaya: Media Varia
Ilmu, 1996.
Siregar, H.A.
Rivay.Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme.Cet. I; Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1999.
-
[1]Lihat Ibnu
Athaillah al-Iskandariah Syekh ahamd ibn Athaillah, pengubah Abu Jihaduddin
Rifqi al-Hanif dengan judul Mempertajam Mata Hati (t.t: Bintang Pelajar,
1990), hal. 5.
[2]Lihat Sahabuddin, op. cit., hal. 12.
[3]K. Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf (Cet.
I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal. 31.
[4]sahabuddin, op. cit., hal. 13
[5]Al-Syekh Abd
al-Karim ibn Ibrahim al-Jaeliy, Insān al-Kāmil fi Ma’rifat Awāliri wa
al-Awā’il , jilid II (Mesir: Syarikah Matba’ah Mustafa- Babil Halabi wa
Alādih, 1375 H), hal. 25.
[6]H.A. Rivay
Siregar, Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Cet. I; Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 36.
[7]Al-Muhāzib,
al-Ri’āyah li al-Huqūq al-Insān; al-Harraj, al-Tariq ilallah; al-Junaid,
Dawa’ al-Aywah.
[9]Nicholson, The Mystic of Islam (London:
Keqan paul Ltd., 1966), hal. 4. nama lengkapnya adalah Reynold Alleyne
Nicholson seorang orientalis Barat yang ahli dalam sejarah dan mistikisme dalam
Islam
[10]Fazlur Rahman, Islam,
diterjemahkan oleh Ahsin dengan judul Islam (Bandung: Pustaka, 1984), hal.
185.
[11]H. A. Rivay
Siregar, op. cit., hal. 39.
[12]Ittihad yaitu
beralihnya sifat kemanusiaan seseorang ke dalam sifat ke-Ilahi-an
sehingga terjadi pernyataan dengan Tuhan (fana). Lihat Fazlur Rahaman, op.
cit., hal. 186.
[15]H.A. Rivay
Siregar, op. cit., hal. 43.
[16]Ibnu Athaillah
al-Iskandariy, al-Hikam, diterjemahkan oleh Salim Bahreisy dengan judul Tarjamah
al-Hikmah (Cet. V; Surabaya: Balai Buku, 1984), h. 6.
[17]H. A. Rivay
Siregar, op. cit., hal. 5
0 Komentar