Foto; Facebook Djajus Pete
 "Wong Jowo Ilang Jawane"

Sebuah pepatah jawa yang kerap sekali kita dengarkan dalam lingkungan dan kebudayaan masyarakat Jawa untuk merespon perkembangan dari generasi ke generasi.

Wong Jowo Ilang Jawane dalam bahasa Indonesia adalah orang yang dilahirkan di jawa yang sudah kehilangan identitas leluhur dari sisi bahasa dan lingkungan kebudayaannya. Bisa disebut jati diri, kepribadian, sekaligus nilai-nilai keluhuran.

Berbicara terkait dengan Jawa, kita akan dipertemukan dengan khas bahasa yang unik dan apik penuh dengan prinsip-prinsip keluhuran. Struktur bahasa mampu memberikan ruang dan tempat kepada apa, dan siapa bahasa itu digunakan.

Ketika kita berbicara kepada orang-orang seusia, maka lebih menggunakan bahasa Jawa Ngoko, apabila berbicara kepada orang yang lebih tua menggunakan bahasa Jawa Kromo. Karena setiap bahasa memiliki nilai estetika sendiri, seperti halnya kedalaman makna dan cara penyampaian yang lebih diprioritaskan dengan tindakan.

Bahasa adalah medium komunikasi yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia. Kalau orang jawa itu sendiri, lebih pada prilaku dan nilai bahasa. Misal, orang kalau sedang berbicara dengan orang yang lebih tua, ia akan mencerminkan kegunaan bahasa sesuai dengan ekspresi tubuhnya sendiri yang halu, sopan, sekaligus prinsip kepribadian (unggah-ungguh).

Apakah penting bahasa Jawa, sebagai medium komunikasi yang harus dirawat dan dilestarikan dalam kurun waktu begitu singkat akan pengaruh kebudayaan-kebudayaan baru diera masifnya informasi dan teknologi semakin produktif. Tentu saja sulit. Kalau tidak dengan diri sendiri, kemudian lingkungan, terutama identitas terkait.

Disisi lain, apakah orang-orang jawa akan benar-benar meninggalkan nilai estetika bahasanya dan lebih menggunakan bahasa selain itu untuk memudahkan berinteraksi sesama sosial yang memiliki bahasa dan kebudayaan masing-masing. Temtu, karena Indonesia sendiri lahir dari kepungan pulau, suku, ras, dan agama. Ya. Begitulah cerminan kekayaan bahasa yang dimiliki bangsa baru saja lahir kemarin senja.

***

Penulis akan mencoba mengajak pembaca dengan melihat fenomena sosial masyarakat Jawa yang sudah beralih fungsi dari realitas sebenarnya dan jauh dari nilai-nilai kebudayaan yang pernah lahir dari leluhurnya.

Lima belas tahun lalu, aku berkunjung disebuah Desa Ngapus, Desa Glagahan, Kecamatan Sugihwaras Kabupaten Bojonegoro, dengan populasi penduduk yang tidak begitu besar. Namun secara garis besar mereka lahir dari keluarga yang asli Jawa. Dengan aktivitas sosial dan kebudayaan sangat erat dengan jawa.

Ketika kemarau panjang menutup usia, kabut pun kian turun disepanjang emperan, rumah dusun, dan halaman tuan-tuan tanah hingga lahan-lahan kering tertutup air mata hujan. Musim tanam kembali lahir dari tubuh-tubuh petani.

Pohon-pohon yang pernah kehilangan daun, bunga, dan ranting kecil-kecil kini kembali bersemi. Rumput-rumput hijau lahir di antara deretan halaman rumah, lapangan, dan ladang kering. Dewa hujan membawa keberkahan.

Saban pagi buta, kumelihat petani hilir mudik bergantian, meninggalkan perkampungan membersamai domba-domba kecil, sapi-sapi betina, sekaligus kerbau-kerbau menyangga usia manusia dalam sepanjang peradaban Jawa.

Apa yang terjadi, petani dibawa pengembala, buruh tani dibawa usia melihat nasib bekerja kepada tuan-tuan tanah hanya untuk mendapatkan upah. Kemudian mengusap keringat yang hangat di bawah terik matahari yang sedang berjaga ditulang punggungnya.

Indahkah kebudayaan itu semua. Aku kembali melihat pembajak sawah yang sedang bekerja dengan dua ekor sapi, dan satu pecut ditangan kanannya, sembari nembang-menembang sampai ke ubun-ubun ambang hingga tenggelam ke dalam usia sunyi yang paling sepi (ngeluku).

Belum lagi, tiga sampai tujuh orang berbaris lurus, pada mencabut satu persatu, empat perempat benih padi yang akan ditanam esok hari (daut). Setelah itu di tempatkan berceceran di lahan yang sudah terbajak dan tergaru dengan apik (tempah).

Matahari akan berjaga dilain negara, orang-orang akan kembali ke rumah, membawa sekarung rumput, membawa sebungkus ketan yang dibungkus daun jati, bersamaan mengikuti sapi dan kerbau berjalan pelan perlahan hingga sampai ke kampung halaman.

Barang kali. Aku adalah sebagian orang yang pernah menceritakan fenomena itu kembali. Guna merawat ingatan yang kian terjamah oleh rekaman-rekaman baru dan kebudayaan-kebudayaan baru di tengah menjalani aktivitas kehidupan sebagai manusia urban.

Akan kuceritakan kembali. Sebelum matahari terbit, puluhan perempuan akan meninggalkan rumah menuju sawah. Mereka hanya mengenakan baju telesan dan caping sebagai pekerja musiman yang harus ditempuh selesai subuh. Pada biasanya mereka hanya bekerja selama 3-4 jam selama sehari. Dengan ongkos yang sesuai dengan tenaga keringat yang dikeluarkan sendiri.

Begitu pun aku, seorang pembelajar yang dilahirkan dari keluarga yang sama sekali pun tidak memiliki tanah. Karena orang tua hanya penggarap (pemakai) bukan pemilik, sudah wajar jika suatu waktu tanah akan pulang ke tanah kelahirannya (negara).

Tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bahwa fenomena yang begitu sederhana dan biasa; menjadi luar biasa bagiku, untuk mendiskusikan kembali nilai-nilai dan hubungan-hubungan antara bahasa dan kebudayaan atau mengejahwentahkan petatah-petitih nasihat para leluhur. Kita tahu, bahwa bahasa dan budaya tidak pernah terpisahkan. Bahkan tidak pernah diceraikan seperti angka penceraihan bojonegoro yang kian meningkat memadati kantor-kantor agama.

Kusadari atau tidak, bahwa kita sebagai masyarakat Jawa, pernah merasakan estetika kebudayaan yang terbentuk dari hamparan sungai. Menjadi buruh tani dimusim hujan, menjadi buruh tani dimusim kemarau. Bukan kah negara lebih agraris dibandingkan pekerja kontrak musim yang senantiasa gugur dalam musim itu sendiri.

Lima belas belakangan ini, desaku sudah tidak ada lagi tembang-menembang di hamparan lahan yang basah. Pembajak tradisional kian terkikis oleh manis-manis modernis. Ketika traktor lahir sebagai solusi yang produktif untuk meningkatkan dan efisensi waktu dalam penggarapan lahan, lebih dinikmati dibandingkan kerbau dan sapi saling menyanggah nasib manusia Jawa.

Tiga sampai empat bulan. Padi akan segera dipanen, fenomena unik pun terjadi. Seorang pengasak silih berganti di bawah terik matahari, dan hilang penuh misteri. Ketika alat tradisional tergantikan oleh kombi. Puluhan buruh tani memilih pergi dari kebudayaannya sendiri, bekerja di luar jawa sebagai pemanen sawit yang mengubah hutan menjadi peliharaan pertanian.

Begitulah yang bisa penulis sampaikan kepada pembaca. Bilamana ada tutur kata yang tidak elegan dibaca. Jangan sering-sering percaya, kalau belum kautanyakan kepada orang tua, kakek, nenek, bahkan tujuh keturunanmu yang lahir di Jawa. Sebelum budaya baru menghilangan identitas dan nilai-nilai leluhurmu.


Penulis : Muhammad Andre

Penyaji Kopi di Warung Sematta Kopi, Perumahan Pandawa, Pacul sekaligus aktif dalam Komunitas Sematta Sastra Bojonegoro