Foto : Facebook Djajus Pete |
Dari sini kita perlu menyadari bersama, bahwa secara tidak sadar. Keberadaan sungai bengawan solo yang mampu menciptakan iklim baru dalam nilai-nilai kebudayaan, terutama yang berhubungan dengan nilai fungsi dan kemanfaatan sebagai sumber mata pencaharian bagi masyarakat yang hidup dan bertahan ditepian sungai.
Saban sore yang jauh diperkiraan cuaca. Hendaklah kita mencoba menyusuri tepi-tepi sungai, akan diperlihatkan dengan fenomena yang menarik untuk dinikmati, misalnya penambang pasir yang gagah dan gigih untuk meraih sumber penghidupan. Belum lagi, penambangan perahu yang tidak pernah lupuk dari mata mengantuk tatkala membawa puluhan nasib menyeberangi sungai ke kota tetangga.
Sungai memang memberikan sumber kehidupan bagi masyarakat khususnya pertanian, dan juga menjadi wahana pembuangan limbah pabrik maupun industri, bukan hanya itu, sampah pun dibuang dengan sengaja oleh sebagian masyarakat sekitarnya. Silahkan nonton documenter (watcdoc).
Lalu, apa fungsi sastra, dalam memahami fenomena sosial yang dihadapkan dengan perkembangan akses begitu cepat. Sastra lahir dari masyarakat, menceritakan fenomena kehidupan masyarakat, dan diperuntukkan kepada masyarakat.
Seperti yang disebut Horatius (65-68 SM) dalam bukunya Ars Poetica, “dulce et utile”, yaitu kenikmatan dan manfaat—dua jenis syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah karya sastra. Dan Sastra yang baik terlahir dari penulis yang melengkapi dirinya dengan pengetahuan tentang keseluruhan kompleksitas kondisi sosial-budaya suatu bangsa di mana karya sastra itu dilahirkan (lihat Mina Elfira, 2012, Sastra dan Masyarakat, Jakarta: Padasan).
Kembali lagi pada persoalan sastra. Berbicara perihal fungsi akan kian menarik. Berdasarkan pengetahuan ini—yang bertolak dari latar belakang pendidikan saya sebagai lulusan agama. Sangat tidak singkron dan elok, jika menulis tentang itu. Akan tetapi mau bagaimana, saya harus menulis dari sisa-sisa ingatan dua tahun lalu.
Dalam tulisan ini, saya akan lebih membahas tentang aktivitas pertanian di Bojonegoro dengan berbagai ritual dan rintangannya. Maka dengan ilmu sastra yang beberapa kali kerap didiskusikan di warung kopi, mencoba melakukan pengamatan terhadap lingkungan, sosial dan budaya. Lebih khususya Pertanian.
Disisi lain untuk memahami secara sederhana, bahwa pertanian itu merupakan sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, seperti kebutuhan hidup manusia yaitu makan dan minum. Dengan pertanian, orang bisa bertahan hidup, dan akan memposisikan diri dengan potensi yang ada di lingkungan.
Mengenahi dengan gaya penggambaran atau interpretasi tentang realita pertanian, pada kenyataannya, memang sangat beragam dalam jenis-jenis karya sastra. Jika kita pernah mendiskusikan dari keragaman gaya terkait karya, maka akan lahirlah sebuah novel dan roman, akan banyak dijumpai di toko-toko buku, dan perpustakaan. Seperti karya Pramoedya Ananta Toer yang telah melahirkan berbagai macam karya sastra yang keterkaitan dengan pertanian, misal;mengangkat isu buruh tani, tetkait dengan nasib dan perjuangan buruh di Indonesia.
Sebagian pula, juga ada beberapa karya yang hanya memposisikan “keindahan” bentang alam pertanian sebagai latar cerita saja—bahkan acap kali terjebak pada eksotisisme pertanian. Pada contoh kasus yang lain, ada juga sastrawan yang tampak dengan sengaja tidak menyinggung atau memunculkan gambaran yang jelas atas isu pertanian yang ia angkat, contohnya Ahmad Tohari lewat karya triloginya, Ronggeng Dukuh Paruk.
Hemat penulis, sekian banyak kebudayaan yang lahir dari tepian sungai dan batu kapur, masyarakat Bojonegoro, akan lebih memanfaatkan tersebut sebagai sumber kehidupan. Dari sini kita akan melihat seberapa besar budaya itu berpengaruh dalam kehidupannya, dan berapa lama budaya itu akan tetap dipertahankan sebagai identitas kemurnian atas nilai-nilai etis dan ramah dengan lingkungan.
Al-akhir, budaya apa yang terbentuk dari Sungai dan Batu Kapur?
Silahkan disambung tulisan ini, atas hasil pengamatan dan penelitian kalian semua.
Muhammad Andrea
Penyaji Kopi di Warung Sematta Kopi Bojonegoro
0 Komentar