Gambar Pinterest
Buah bibir membiru
Tikaman samurai tajam Negara
Menembus dada hingga leher
Tersungkur bawah meja menjadi tumbal penguasa
"Tok.. tok tokk..”

"Permisi, selamat malam!"

Terdengar riang tiga kali ketukan yang bersumber dari sederet rumah perkampungan sebelah tempatku memancing malam kemarin. Keheningan yang membawaku semakin bertanya-tanya kepada pohon besar sebelah embung sudut desa.

"Tok.. tok tokk..”

Ketukan terdengar lagi hingga mengganggu konsentrasi memancing malam itu. Gagap dan penasaran mengalihkan pendengaran telinga sekaligus pandangan mata untuk mencari titik sumbernya. Aku memanjat pelan sembari memegang ranting hingga ujung lubang pada bunga yang mekar.

Ternyata ada dua orang lelaki gagah besar berpakaian rapi sambil membawa seberkas surat ditangan kanannya, sedang ingin bertamu di rumah itu.

"Kira-kira ada apa ya," pikirku sembari mengintip dari atas menembus gelangga daun pohon jambu besar depan rumahnya.

Selang beberapa menit, pintu dibuka oleh seorang Ibu dengan kisaran usia 56 tahun membawa lentera api ditangan kirinya, dalam keadaan rumah yang sepi menjemput mentari.

"Siapa ya.?" Sapa santun Ibu kepada dua lelaki itu yang sedang berdiri tegak dalam keadaan siaga di depan pintu.

"Mohon maaf! Mengganggu waktunya sebentar, kami dari aparat penegak hukum padepokan, bu." Kata lelaki berbadan besar berkumis tebal memakai topi hitam sambil menengok disekitaran kanan dan kiri halaman rumah.

"Ada keperluan apa ya, Pak.?" Sambung Ibu begitu gemeter, ketika mendengarkan kata 'aparat' mendengung pada kedua telinganya yang masih ringan mendengarkan bisikan sendu dan seduh.

"Bu, kami diperintahkan untuk memohon kepadamu segera menandatangi surat ini, tentang satu hektar lahan belakang rumah akan di bangun sebuah ruas jalan tol antar—kabupaten dan kota," perintah lelaki yang memakai jaket hitam sembari membuka stopmap folio berisi surat lelang sekaligus memberikan sebuah pena pemaksaan seketika.

Brok...

Tiba-tiba pintu rumah ditutup kencang oleh Ibu tersebut, dengan wajah lusuh, marah dan cemas. Lentera mulai redup menghapus cahaya-cahaya dari kedua wajah lelaki besar itu. Jalan menuju gang memang sepi malam itu. Aku tidak melihat satu pun warga yang sedang bersendu gurau mewarnai heningnya malam di tengah keramaian. Cuma ada satu mobil hitam milik dua lelaki besar yang parkir di kanan jalan sebelah Pos Kampling depan rumah Pak Kasun (Kepala Dusun).

Dua lelaki gagah pun kembali dengan kertas utuh, tanpa ada sentuhan tangan Ibu berkepala lima yang sedang marah tidak ingin menjual lahan kepada Perusahaan maupun Negara, Walaupun dengan dalih pembangunan dan memperlancar akses ekonomi sekaligus kesejahteraan rakyat.

Untunglah! Gumamku sambil memanjat turun dari pohon besar dengan malam yang sepi memeluk dingin. Bulan yang membungkus bintang menyemai perjalanan mancing yang penuh misteri kejadian mengerikan di gang rumah tua kemarin lusa.

"Kok sepi ya malam ini, biasanya orang-orang pada memancing,!" gumamku menoleh kanan-kiri—memikir ulang antara berlanjut mancing atau pulang ke rumah. Kian malam tidak ada satu pun orang yang berdatangan, aku pun memutuskan untuk pulang saja.

Ratusan pohon pisang memperindah lingkungan pekarangan rumah warga, apalagi singkong, jahe, kunyit, bawang merah, kemangi, dan cabe yang bisa tumbuh subur di lahan yang membungkus dua musim kemarau dan hujan, daun-daun yang hijau memperlihatkan diri, memantik dari segala mata dan pendengaran menjadikannya lebih asik. Lampu senterku memberi jalan pada kaki yang melangkah di batas lahan-lahan yang subur.

"Lo! Le, habis dari mana,?" tanya si kakek yang sedang duduk di batas ladang tanaman singkong, semangka, timun, bayam dan cabe miliknya, sengaja melihat lampu senterku dari jauh.

"Habis mancing di embung, itu lho kek," jawabku. "Kalau kakek sendiri ngapain, disini,?" sambungku.

"Lagi menunggu tanaman, Le."! Jawab kakek sekali-kali mengeluarkan asap rokok dari mulut hingga menembus dua lubang hidung seperti loko buatan Belanda yang membawa ratusan kayu Jati Jawa menuju Batavia tempo itu.

"Sini Le! Kalau kamu lapar ambil aja itu semangka, atau cabut saja tanaman singkong itu,?" tawaran kakek dengan kelihatan wajah mengharapkanku untuk istirahat sebentar sekaligus menemani ngobrol ngalor-ngidol.

Kejadian tadi masih saja menjadi pertanyaan di dalam pikiranku, memang danyang begitu tepat memberikan jalan untuk menjawab teka-teki atas apa yang terjadi dari Gang Rumah Tua itu. Aku segera mendekat ke sebelah tempat duduk si kakek tua, semoga saja mendapatkan banyak cerita, lebih-lebih soal Ibu yang habis kedatangan tamu tidak dikenal.

***

Buah lembut cahaya bulan kian mendekap begitu dekat tepat di atas kepala kami—ratusan daun tumbuhan di lahan terlihat bahagia menari-nari berselimut angin malam membungkus kesuyian, bulan yang begitu terang seperti Matahari buatan China yang hampir melebihi kuasa ciptaan Tuhan (astaga). Aku pun merasakan udara segar saling berebut air dan udara untuk saling bertahan hidup bersama tanaman maupun tumbuhan disekitar.

Sebatang buah singkong, berhasil dicabut oleh kakek dengan gancu besi satu-satunya yang sudah puluhan tahun lamanya ia pakai penyanggah beban kehidupan penuh ancaman. "Le, sini ke gubuk, mari bakar singkong bareng,!" ajakan kakek yang sedang mengumpulkan jerami kering untuk membakar singkong.

"Iya kek.!" Sambungku sambil berjalan menuju gubuk melewati setapak jalan batas lahan begitu subur penuh nyawa.

Suasana hening memeluk gubuk kecil terangkai dari bambu beratap ilalang-ilalang kering begitu menawan, hanya sebagai tempat istirahat sementara, selesai menanam dan merawat tanamannya, kiranya panas menjadikannya dingin, kiranya hujan menjadikannya hangat, serasa dalam Istana Negara Penguasa (astaga).

"Kek, aku boleh tanya sesuatu, nggak,?" tanyaku sembari melihat dia menyalakan korek api untuk membakar jerami kering di depannya.

"Tentu saja boleh, kalau bisa aku jawab, kalau tidak bisa ya,! biar orang lain yang menjawab; emangnya mau tanya apa.?" Gumam kakek menggelengkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.

"Begini kek! eh, kakek kenal dengan Ibu yang Rumahnya dekat Embung Desa itu ndak,?" tanyaku sepontan begitu saja.

"Tentu saja kenal, Le! orang dia juga masih keluarga dari bapakku dulu kok,!" jawab kakek tersenyum-senyum sambil menumpuk puluhan biji singkong di atas api yang sudah membara.

"Memangnya ada apa?" ungkap kakek.

"Tadi itu kek, pas aku mancing melihat ada dua orang lelaki gagah besar memaksa Ibu untuk menandatangi surat, tetapi ia menolak dan kelihatan marah besar hingga menutup pintu terdengar begitu keras, kira-kira ada masalah apa ya kek, kok segitunya,!" sambungku.

"Oh, itu.!" Jawab kakek dengan wajah sedih murung mengalihkan pandangan dari tempat duduk di depan bakaran api singkong yang menyala.

"Maaf, kek! Jika pertanyaanku tadi menyinggung.!" Sambungku lagi tergesa-gesa, karena merasa tidak sopan yang menjadikan kakek bertingkah aneh hingga berpindah tempat duduk seketika.

"Hmmm.., tidak apa-apa, Le.!" Mungkin sudah waktunya kamu mendengarkan sebuah peristiwa mengerikan dulu itu, lagian kamu juga sudah dewasa, aku kira sudah mampu memilah memilih dengan bijak antara hal baik dan buruk. Dulu pernah terjadi sebuah peristiwa mengenaskan di Gang Rumah Tua itu. Sejarah itu tidak pernah hilang di dalam ingatan masyarakat setempat, sampai masuk di Gang tersebut terdapat Gapura Besar bertuliskan Peristiwa Gang Rumah Tua (Garuta) 1965.

Jadi, begini ceritanya, pada tahun 1965 Suparmin suami Sarmini dituduh sebagai anggota partisipan Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan surat perintah dari Negara waktu itu untuk menjaga stabilitas keamanan kondisi sosial masyarakat tentang Pancasila yang ingin diubah, maka seluruh anggota partisipan maupun kader aktif partai (PKI) harus dibunuh sampai ke akar-akarnya tanpa memandang suku, ras dan agama, bahkan tanpa melalui peradilan terlebih dahulu, itu pun dilakukan dengan cara yang keji tidak berkemanusiaan. Ada yang ditembak, cambuk, perkosa, diarak, dan dipenggal kepalanya, kemudian jasadnya dibuang ke sungai maupun sumur setempat.

Padahal, Suparmin seorang muslim yang ta'at beribadah, aktivitas sehari-hari sebagai seorang petani ulung dari terbitnya matahari hingga senja ia jalani selama puluhan tahun lamanya hidup bersama tanah, entah nasib apa yang diperoleh dia hingga harus dipenggal kepalanya malam hari ketika sedang menunggu tanaman semangka yang ingin dipanen dini hari.

Dan aku menjadi saksi, Le! Puluhan suara letusan tembakan terngiang-ngiang di Desa ini, tangisan memilukan anak-anak kecil kehilangan Ibu dan Bapak sekaligus keluarganya, rumah-rumah di bakar, dan tidak ada satu pun keluarga yang berani menyelamatkan nyawa mereka waktu itu, karena pada lari mencari persembunyian lebih aman.

Kebetulan juga nasib baik bagi Sarmini malam itu, bertepatan dia masih di rumah ibunya di Kabupaten B yang tidak begitu banyak simpatisan masyarakat yang menjadi bagian dari Partai terlarang yang mengakibatkan ribuan orang-orang pribumi terbunuh mengenaskan ditangan bangsanya sendiri.

Sembilan minggu kemudian, Sarmini mendengarkan informasi terbaru dari Radio, bahwa kondisi Negara sudah pulih kembali (aman), maka pulanglah dia ke rumah halaman, dengan membawa baju ganti dibungkus jarik khas Jawa menuju pintu dengan wajah bingung dan gelisah. Aku pun segera menuju rumahnya lewat pintu belakang dan menceritakan semua kejadian yang menimpa suaminya beberapa minggu silam.

"Mbok, yang sabar ya! Semua ini sudah terjadi, do'akan saja suamimu, semoga baik-baik saja disana, semoga segala amal dan ibadah diterima oleh Tuhan yang Mahakuasa.!" Nasihatku kepada Sarmini yang sedang sembujungkan kaki di tempat tidur terbuat dari bambu beralas tikar daun pandan di ruang tamu.

"Begitu kejam bangsa ini, sampai tega membunuh rakyatnya sendiri yang tidak berdosa dan bersalah kepada Negara.!" Kemarahan Sarmini sambil melototi kakek itu yang sedang duduk di atas kursi kayu jati dekat jendela Rumahnya.

"Aku paham Ni, betapa sakit dan pedihnya kehilangan orang yang dicintai, tetapi juga tidak demikianlah! Sudahlah,! mau bagaimana lagi, siapa pun juga tidak menginginkan kejadian seperti itu, cukup! Do'akan saja Ni, biar Tuhan yang mengadili itu semua,!" sambungku.

"Tenang ya Ni, semua akan baik-baik saja,!" nasihat kakek lagi untuk Sarmini yang tidak berhenti-henti meneteskan air mata, dan tidak sanggup lagi berkata apa-apa.

"Iya sudah Ni, aku pamit pulang dulu, ingin mencari rumput untuk dua ekor sapiku di kandang belum makan seharian.!" Pamitku sambil berdiri dan berjalan, baru saja ingin membuka pintu belakang Rumah Sarmini.

Tiba-tiba, Radio di atas kepala Sarmini dilempar ke tanah; Prank.! Hingga hancur bertaburan berkeping-keping, sembari bersumpah kepada Tuhan, terdengar lantang ditelingaku waktu itu.

"Cukup suamiku saja yang darahnya mengalir ke sela-sela tanaman buah semangka di lahan subur yang kami beli dari jerih payah keringat hasil penjualan sepeda satu-satunya, dan aku bersumpah tidak akan menjual dan melelangkan lahan kepada siapa pun, sampai darah ini menyatu di lahan subur bekas darah tubuh suamiku yang dipenggal hidup-hidup!" sumpah Sarmini.

***

Dua buah singkong bakar habis aku makan, dengan mendengarkan si kakek tu bercerita yang semakin malam kian hening dan sunyi ditelingaku.

"Sedih ya kek, denger ceritanya,?" tanyaku lagi sambil mengambil satu buah singkong lagi yang sudah matang.

"Sangat menyedihkan, Le! Setelah kejadian itu Sarmini harus bertahan hidup sendirian selama puluhan tahun lamanya, sudah tidak dikaruniai keturunan seumur hidup, ditinggal suaminya, dan lahan satu-satunya yang dimiliki ingin dirampas juga, seolah hidup ia selalu menderita.!" Sambung kakek sambil memadamkan api dengan sebatang daun singkong muda.

"Kek, sepertinya bulan itu semakin redup ya, tanamanmu tidak kelihatan indah lagi hidungnya.!" Loh, itu siapa kek berjalan menuju kemari, sepertinya dua lelaki gagah yang sedang saya lihat di Gang Rumah Tua itu! Lho beneran kek mereka menuju kemari.

"Tenang-tenang, kita itu tidak salah, kenapa harus takut, ini minum dulu.! Biar daging singkong  yang kamu makan tidak berhenti di rongga mulut kisanak.!" Sambung kakek.

"Baik, Kek.!" Jawabku, dengan bisikan lirih sembari menganggukkan kepala.

Dua lelaki gagah itu pun, bener-bener menghampiri kami dengan sigap dan tegas, bertanya; "Hey, si kakek tua ngapain malam-malam disini, main bakar-bakar api lagi, coba pikir! Jika api ini menjalar ke ilalang-ilalang kering itu, apa tidak membahayakan nyawamu dan seluruh lahan disekitaran ini.?"

"Cukup apa belum bicaranya Pak, kalau belum silahkan bicara lagi,!" sebelum singkong ini habis terbakar melahirkan abu yang akan mengantarkan jasadmu kembali ke tanah, seperti pemerintah Belanda dulu yang memperkerjakan orang-orang pribumi hanya dengan dibayar siksaan sadis puluhan tahun lamanya (kerja rodi).

"Bisa tidak sedikit sopan berbicara kepada orang yang lebih tua."! Bentak balik kakek dengan wajah merah menunjuk ke muka dua lelaki gagah yang berdiri di depannya.

"Berani-beraninya membentak kami! Bawa dia ke kantor sekarang juga, cepat.!" Ujar lelaki gagah berbadan besar sekaligus menyuruh temannya untuk membawa kakek ke kantor dimintai keterangan.

"Saya pun menarik erat tangan kakek dari tarikan dua lelaki gagah berbadan besar itu.!" Jangan bawa dia, kakek tidak bersalah, kakek bukan penjahat, kakek bukan pemakan uang rakyat.

Tolong! Tolong! Tolong!

"Ayo! Bangun, bangun, bangun! Mimpi apa lagi kamu ini gus cah ganteng, baru saja tidur pulas dua jam, sudah mengigau minta tolong! ini minum dulu, lain kali kalau ingin tidur baca do'a, biar syetan-syetan tidak ikut berbaring di kasurmu, apalagi bercanda-canda di dalam mimpimu.!" Nasihat Ibu usai menarik kedua tanganku hingga dalam keadaan duduk dan baru sadarkan diri dengan nafas ngos-ngosan tak terukur.

Perakit : Muhammad Andrea penikmat Cerpen dan Puisi dalam kota kenangan penuh peristiwa dan misteri