Gambar Fajar W |
Ditengah redupnya sikap kritis Mahasiswa di dalam Kampus, dan masifnya gerakan Tiktok di Indonesia, menjadikan miris, jika dibiarkan, maka semangat baru bersolidaritas untuk membuka ruang dialektika antar saksama denga Nonton Bareng dan Diskusi mengenahi Film Sultan Agung.
Selesai Nobar Sultan Agung dilanjut dengan diskusi terkait Gelar Sultan Agung Hanyakrukusuma disandang Raden Mas Rangsang tepat selepas ayahnya, Panembahan Hanyokrowati, wafat. Bukan perkara mudah baginya untuk menggantikan peran sang ayah, terlebih saat itu ia masih remaja.
Peran Sultan tidak mudah, ia harus menyatukan adipati-adipati di tanah Jawa yang tercerai-berai oleh politik VOC yang dipimpin Jan Pieterszoon Coen di bawah panji Mataram.
Pada titik puncak Kemarahan Sultan Agung kepada VOC ketika ia mengetahui bahwa VOC tidak memenuhi perjanjian dagang dengan Mataram dengan membangun kantor dagang di Batavia.
Sultan Agung lantas mengibarkan Perang Batavia sampai meninggalnya Coen dan runtuhnya benteng VOC. Dalam perjuangan ini, ia juga harus menghadapi berbagai pengkhianatan. Menjelang akhir hidupnya, Sultan Agung menghidupkan kembali padepokan tempatnya belajar, melestarikan tradisi dan karya-karya budaya Mataram.
Sebuah apresiasi yang dahsyat bagi teman-teman dalam merawat semangatnya untuk selalu mengingat dengan sejarah, bahwa perjalanan bangsa Indonesia tidak semudah yang dibayangkan selama ini, namun ada berbagai peristiwa pertarungan, perperangan dan pertumpahan darah dari masa ke masa dalam mempertahankan dan mengusir para Imperialisme Hindia dan Belanda.
Setidaknya generasi milenialism tahu dan paham dari mana Indonesia itu terbentuk, minimmya literatur yang diakses, maka upaya dalam memahami sejarah, dengan nonton Film yang ada nilai sejarahnya walaupun ada sedikit tambahan fiktif, tetapi hal itu sudah sedikit mewakili untuk melek dengan sejarah di Indonesia.
Dalam kritik salah satu Mahasiswa terhadap Film, memang sengaja alur cerita dibuat sedemikian rupa, karena melihat dari judulnya sendiri, Tahta, Perjuangan dan Cinta, karena hari ini banyak generasi Milenial yang suka mekonsumsi soal cinta apalagi soal perjuangan, maka sangat tepat narasi film mudah dipahami, tetapi kalau berlebihan, akan menghilangkan eksistensi nilai dari sejarah itu sendiri.
Penulis ; Fajar Wijaksono
0 Komentar