Kejahatan Di Balik Kampus

Dalam sistem ekonomi kapitalisme, kampus menjadi pabrik untuk memproduksi beberapa bentuk ide dan teori yang digunakan untuk memperkuat sistem tersebut, konsekuensi nya dari sistem pendidikan di bawah sistem kapitalisme. Institut menjadi kampus pendidikan untuk mencari keuntungan semata, oleh sebab itu kampus sebagai mesin pencetak dan memproduksi sarjana-sarjana yang tunduk dan patuh terhadap sistem kepentingan kapitalisme dan korporasi. Secara tidak sadar mahasiswa akan terjerumus kedalam kreativitas individual, acuh terhadap lingkungan sekitar dan tidak akan mengerti problem-problem yang sedang dihadapi oleh mahasiswa maupun masyarakat.


Sikap individualis mahasiswa merupakan korban dari sistem kurikulum perkuliahan yang sangat ketat atau terlalu mengekang, seperti diwajibkan membeli buku dari dosen-dosen tersebut, padahal buku tersebut tidak dijadikan bahan referensi matakuliah nya. Lebih parahnya lagi membayar fidhyah sebesar 250.000.00- bagi yang tidak masuk 6 kali dalam pertemuan dua minggu.


Keadaan masih sama sampai sekarang disebabkan mahasiswa cenderung bersikap individualis bahkan pihak birokrasi kampus bersikap otoritarianisme, hilangnya kepedulian dari lingkungan sekitar, akan berdampak pada keterpurukan nilai sosialnya, lantas apa yang harus dibanggakan setelah lulus menjadi sarjana, karena kualitas institut sudah menjadi aset perekonomian para kapitalisme dan selalu tumbuh puluhan ribu sarjana disetiap tahunnya.


Karena mahasiswa hanya tahu teori-teori akademik nya, mereka tidak mengerti isu nasional maupun internasional, teori dan pengalaman diluar jalur akademik nya, aktualisasi mahasiswa tidak begitu menarik dan berdinamis. apalagi mahasiswa yang kronologi nya dari pesantren salaf, mereka semua akan lebih sami’na wa ‘atho’na terhadap elit-elit kampus, karena mereka menganggap dosen adalah GURU (digugu lan ditiru).


Hormat dan ta’dzim adalah pekerjaan para santri pesantren, perlu diketahui bahwa eksistensi santri dan mahasiswa berbeda, kalau santri itu ketika di dalam pesantren, kalau mahasiswa itu ketika di dalam kampus, bisa didiskripsikan seperti maqolah berbunyi ; “Setiap bahasa ada tempatnya dan setiap tempat ada bahasanya“. Makanya dogma-dogma yang masih melekat di dalam pikiran Mahasiswa baru yang lulusan dari pesantren akan kelihatan apatis dan menerima saja.

Padahal jika dilihat dari kasat mata bahwa problem-problem yang sedang dihadapi oleh rakyat negeri ini, sangatlah berpengaruh dikalangan mahasiswa itu sendiri, Seperti halnya : Masalah yang dihadapi oleh para pekerja buruh, guru, petani rakyat dan hampir semua ruang gerak manusia, sistem yang berlaku di dunia kerja tentunya, mahasiswa akan sadar setelah lulus kuliah dengan persoalan banyaknya pengangguran serta persoalan dalam lapangan pekerjaan, setidaknya hal tersebut menjadi perhatian bagi mahasiswa hari ini, bahwa mahasiswa calon pekerja merupakan yang sesuai bidang akademik yang diambil nya tidak calon penambah jumlah pengangguran. Anehnya dunia kerja tidak bisa menampung seluruh lulusan institut atau universitas.


Yang lebih memprihatinkan lagi kampus menjelma menjadi sebuah institusi yang memproduksi pikiran dan watak borjuis, dimana hampir setiap harinya mahasiswa dicekoki dengan teori-teori borjuis, mereka justru dijauhkan dari teori sosial dan teologi pembebasan untuk menjadi mahasiswa yang transformatif dan progresif atau (Agen of Change). Mahasiswa tidak dididik untuk peka terhadap lingkungan atau (Agen of social control). Maka mahasiswa selama 4 tahun yang duduk di bangku perkuliahan hanya menjadi mahasiswa yang apatis dan pragmatis, apalagi sekarang sudah zamannya modernisasi dan globalisasi, mahasiswa akan lebih mudah mengikuti arus zaman yang serba praktis.


Oleh karena itu wahai sahabat-sahabati mahasiswa hendaklah berpikir kritis, cerdas, Cakap, dan Solutif terhadap problematika sosial yang ada di lingkungan. Marilah bertindak untuk kebenaran dengan membebaskan diri dari pembodohan menuju kemerdekaan yang sepantasnya sebagai mahasiswa bukan lagi murid maupun siswa dengan seragam abu-abu. Mahasiswa jangan sekedar tahu rumus-rumus dan hafalan-hafalan semata, tetapi juga mampu memahami kompleksitas teori kehidupan dan aktivitas kegiatan yang ada di dalamnya termasuk problem-problem yang terjadi disekitarnya. Karena mahasiswa kaum intlektual organik dan juga kaum yang merdeka dalam berkreatif, inovatif, transformatif dan progresif bukan lagi Robot dalam Pabrik, tetapi Mahasiswa di dalam Perguruan Tinggi.





Oleh :@abhyandre