Meneruskan tradisi leluhur terkadang mudah juga berat, seperti yang dialami Mbah Sariyem, mempertahankan hidup dengan mentergantungkan profesi sebagai penganyam Tikar Tradisional terpaksa harus berakhir.
Begitu malang nasibnya mbah Sariyem, seorang nenek tua berusia 75 tahun harus hidup sendirian sebatang kara, Mbah Sariyem lahir di desa Ngapus Desa Glagahan Kecamatan Sugihwaras Kabupaten Bojonegoro harus berhenti aktifitas kesehariannya sebagai penganyam Tikar Tradisional karena daun pandan sudah tidak bisa tumbuh-subur di belakang rumahnya sekaligus konsumen kian hari semakin sepi.
Mbah yem, sapaan akrab para tetangga memanggilnya, dia satu-satunya perempuan yang masih hidup hingga hari ini diantara sepantarannya, juga sama-sama penganyam Tikar Tradisional, dia menekuni aktifitas itu kurang lebih 40 tahun, sisi lain dijadikan sumber rezeki kehidupan dan juga meneruskan tradisi leluhur Jawa, dengan konsep kesederhaan dalam memanfaatkan media apa saja yang ada disekitaran rumah.
Semenjak 2010 mbah Sariyem sudah tidak lagi membuat Tikar, diantara faktornya daun pandan yang tidak tumbuh kembali, padahal sudah beberapa kali ditanam, namun hasilnya juga nihil. Sisi lain kalah dengan Tikar modern yang baru-baru saja muncul di pasar dengan model-terbaru atau dibilang lebih bagus dalam pandangan konsumen hari ini.
Daun Pandan Berduri |
Dalam bahasa Jawa lokal mbah Sariyem memahami Tikar Tradisional dengan sebutan Keloso, bahasa khas lokal tersebut peninggalan dari tradisi leluhur sekaligus ilmu-cara membuatnya dilahirkan sejak dulu, seperti yang masih tersimpan dalam memori ingatannya, sejak kecil dia sudah belajar nganyam Tikar bersama mbah Sarbini (Bapaknya) sendiri.
Keloso juga mempunyai artian penting dalam kehidupan Mbah Sariyem, misalnya sanepan jowo; Keloso iku minongko dadi lasar manungso ingkang wancine sowan marang kuoso. Dalam bahasa Indonesia; Tikar Tradisional sebagai sarana/tempat untuk menghadap Tuhan yang Maha Kuasa.
Dalam tradisi lokal, kebanyakan yang beli Tikar Tradisional di Mbah Sariyem dipakai sebagai alas orang yang meninggal dunia, hingga ada sebagian masyarakat yang mengikut sertakan Tikarnya ke dalam kuburan atau sebagai penahan tanah biar tidak mengenahi si-mayit (setelah blabak).
Disisi lain, sebagian masyarakat juga menggunakan Tikar Tradisional sebagai alas tidur, jika diantara kalian yang masih ingat dengan rutinitas yang dilakukan oleh masyarakat dimasa dulu, misalnya "gelar keloso ngarep omah, delok ceblok'e lintang lan padange bulan tengah wengi". (Tikar tradisional sebagai alas tidur-tiduran di depan rumah sambil melihat bintang jatuh dan cerahnya bulan ditengah malam).
Lambat tahun, profesi Mbah Sariyem harus berhenti ditengah pertarungan pasar modern yang begitu seram, gimana Tikar Tradisional yang terbuat dari daun pandan beralih ke Tikar Modern dari bahan Kain dan Plastik yang diproduksi oleh Industri maupun pabrik tertentu.
Pada dasarnya pekerjaan sebagai penganyam tikar cukup memuaskan bagi mbah Sariyem, dalam satu minggu Mbah Sariyem bisa menghasilkan 10 Tikar, dengan harga jual masa itu, per-biji sekisaran Rp. 15.000.
Mohon maaf penulis abal-abalan tidak akan memberikan kesimpulan dari hasil cerita singkat Mbah Sariyem sebagai penganyam Tikar Tradisional, cuma saya sekedar memperlihatkan dan mengajak merenung, bahwa meadset berpikir orang jawa itu selektif dan solutif dalam menghadapi belbagai persoalan kehidupan, terutama konsep hidup sederhana, hidup dengan hasil apa yang ada di lingkungan rumah, misal daun pandan aja bisa menjadi alas buat tiduran, bancaan dan sembahyang.
Maka tidak heran lagi, bahwa titik Peradaban di Indonesia berangkat dari pulau Jawa, dengan ke-aneka ragaman budaya dan potensi alam yang bisa dikembangkan menjadikan aset terbesar kekayaan bagi masyarakatnya.
Perlu juga kita harus memutar kembali memori kelam dimasa kecil, ketika bermain bersama teman-teman dengan konsep ala kerajaan, dimana posisi sang mahkota raja menjadi penguasanya dengan menggunakan mahkota. Kalau saya dulu pernah menggunakan Mahkota terbuat dari daun nangka dan kerisnya dari batang randu (kapuk).
Dan Jawa itu sebuah wilayah yang eksklusif, ketahanan pangan yang dinamis dari hasil pertaniannya, bangunan rumah yang terbuat dari kayu jati beratap genteng dari tanah liat, dan bertembok anyaman bambu, sekaligus dikelilingin tanaman Mangga dan pisang sebagai cemilan musiman.
Penulis : Muhammad Andrea
0 Komentar