Ahmad Syifa'u Hasanuddin
Pojok timur Kabupaten Bojonegoro terdapat cerita unik dan mistik yang masih kental dipercaya oleh masyarakat sekitar, seperti salah orang ini yang sedang bercerita kepada penulis waktu di warung kopi, dia bernama Ahmad Syifa'ul Hasanuddin anak ketiga dari Ibu Yunaimah dan Bapak Suburhan.

Syifa'u lahir di 11 Juli 1995 di Desa Pilang Kecamatan Kanor. Panggil saja dia dengan sebutan Fau, begitulah masyarakat pada umumnya memanggil sejak kecil hingga dewasa. Melihat dari jejak kelahiran dan perjalananya tidak lepas dengan keunikan, mitos dan tradisi jawa yang selama masih kental dipercayai masyarakat.

Hingga waktu semakin malam, dia menceritakan terkaitan dengan hal unik yang masih diingat sejak kecil, di usia 3 tahun, pernah terjadi Banjir Bandang atas luapan sungai Bengawan solo lebih tepatnya pada tahun 1998, atas faktor jebolnya tanggul didekat rumahnya karena derasnya air yang meluap.

Dari sudut rumahnya gemuruh-riuh suara air, angin dan jeritan keluarga sekaligus tetangga, atas tenggelamnya anak ketiganya, seorang anak yang baru berusia 3 tahun. Seorang Ibu hadir lebih duluan untuk menyelamatkan anaknya dengan menggunakan Getek tanpa disengaja Fau terpleset dan tenggelam dengan kedalaman kurang lebih 1/5 meter.

Suara panik, kuwatir dan tangisan semakin kencang karena selama bebrapa menit belum juga diketemukan, dengan cara apa pun sudah dilakukan oleh orang-orang yang ada disekitar. Entah ada hidayah dari Tuhan atau yang lain, pada menit ke 10 yang tanpa disadari bahwa Ibunya merasakan ikatan batin kuat terhadap anaknya, dengan sendirinya mengulurkan tangan ke dalam air di waduk belakang rumah dan ditemukanlah anak kesayangannya dalam kondisi selamat.

Waktu semakin pagi, cerita masih berlanjut dengan hangat, ketika Fau berusia 6 tahun, Paman saudara dari bapaknya pulang dari Malaysia, bermain ke rumahnya, secara tiba-tiba ia menyakan kepada Bapaknya, bahwa Fau yang dulu lahirnya bersamaan dengan ular, perasaan penasaran dan kaget muncul seketika dalam benak Fau, untuk secepatnya mendapatkan jawaban dari orang tuanya.

Jadi ceritanya itu, ketika malam kelahira anak ketiganya, ada seekor ular di bawah ranjang sebesar kaki manusia, sempat ramai sampai tetangganya melihat, tidak lama kemudian salah seorang sepupu bertanya kepada si ular, seperti ; ingin dibunuh atau pergi sendiri? Ular pun tidak mau pergi, dan dibunuhlah dengan tombak pas terkena kepalanya, matilah seketika itu.

Dalam tradisi Jawa, ketika ada hewan yang masuk rumah, jangan sampai dibunuh, karena hewan tersebut mengandung unsur mistik yang dipercaya sebahai tanda-tanda suatu kejadian, dan juga bagi bagi seorang lelaki yang istrinya sedang hami, dilarang membunuh atau menghina apa dan siapa pun, karena akan mendapatkan labet.

Penulis ; Muhammad Andrea