Credit Gambar www.merdeka.com |
Siapa yang tidak mengenal dengan Pendidikan,
setiap manusia berakal pernah mendengarkan kata Pendidikan, pernah merasakan
Pendidikan, jika ada dari salah satu manusia tidak mengetahui dan merasakan hal
tersebut perlu dipertanyakan status manusia dan jiwanya, pendidikan tidak hanya
di lembaga formal, bisa didapat disetiap tempat dan waktu yang tidak terikat
oleh legalitas sistem Pnedidikan.
Sudah layaknya kita mengkaji lebih dalam terkait
Manusia yang hidup di kampung halaman yang kemungkinan besar bersebrangan
dengan manusia lain, setiap manusia mempunyai visi dan misi yang berbeda kalau
pun ada yang sama kebetulan saja, karena ia terlibat dalam sistem atau formasi
sosial yang dodominasi oleh budaya Adat dan kepentingan Politik.
Manusia dilahirkan dalam keadaan sama tidak ada
perbedaan diantaranya, kalau pun ada hanya sebatas Gender atau kodrat dari
Tuhan yaitu Perempuan dan Laki-laki berdasarkan jenis kelamin. Dalam
perkembangannya dua jenis yang diposisikan sama oleh Tuhan dalam perspektif Agama,
Iman dan Taqwanya, Namun berubah total menjadi perbedaan yang signifikan dari
segala sumber multi tafsir di masanya yang disebabkan oleh faktor ekonomi.
Paradigma Patriarki melihat posisi sentral
kedudukan Manusia di masyarakat berdasarkan peran dan tanggung jawab sebagai
makhluk sosial, bagaimana laki-laki menjadi tulang punggung perempuan, dan perempuan
menjadi panggung rumahan yang bersandar terhadap suami, berakibat perempuan
akan selalu metergantungkan hidup sepenuhnya dan bersandar lebih kepada suami,
belum lagi persoalan stigmanisasi prilaku perempuan dimasyarakat penuh dengan
hantu-hantu gentanyangan, seperti keluar malam dibilang perempuan murahan,
memakai rok pendek dibilang memamerkan kemaluan, merokok dibilang perempuan
nakalan yang tidak bisa melahirkan sosok keturunan.
Strutur Sosial telah melegalkan Budaya Ptriarki
bahwa ketidak-adilan selalu dirasakan oleh perempuan disetiap harinya tidak
bisa dihapus dan dilawan dengan stigma-stigma baru sebagai upaya me-rekonstruksi
perubahan lebih baik, bahwa perempuan mempunyai kesamaan moral. Memahami
prilaku manusia seharunya secara kompleks tidak setengah-setengah, setiap masa
ada sejarahnya, setiap sejarah ada masanya, manusia yang diciptakan oleh Tuhan
dengan keadaan sama, tidak membedakan satu sama lainnya. Kita perlu menelaah
bersama bahwa hantu Patriarki masih bergentayangan disetiapn tahunnya, maka
dibutuhkan peran juga dari laki-laki dalam mendorong dan menenggelamkan budaya
patriarki dengan ideologi Feminisme.
Dalam hal ini, kita bisa merefleksikan
perjalanan suwarni pringgodigdo pada tahun 1937 pernah menulis terkait dengan
perlindungan dalam perkawinan, ia sangat menyesal sekali persoalan poligami,
terlebih soal kemerdekaan kaum perempuan, dengan usaha yang tidak sia-sia
Suwarni mendaptkan perhatian lebih dikalangan masyarakat sehingga ditahun 1930
ia membentuk kaum nasionalis perempuan, sebagai upaya memenangkan kemerdekaan
dan mendapatkan penghargaan yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Singkat cerita, suwarni pernah menentang keras dalam Kongres
Perempuan Indonesia II yang diadakan pada 20-24 Juli 1935 di Jakarta. Pada
kesempatan itu, Ratna Sari mewakili seksi wanita Persatuan Muslimin Indonesia
(Permi) dari Sumatera Barat menyampaikan pidato yang berapi-api tentang
poligami sebagai kewajiban perempuan. Hal ini serta merta mematik perasaan
tidak nyaman sebagian perempuan, namun sedikit yang berani mendebat.
Seperti yang dikisahkan Gadis Rasid dalam Maria Ulfah Subadio:
Pembela Kaumnya (1982: 53), Suwarni Pringgodigdo tanpa ragu langsung menyerbu
panggung. Dia sangat marah terhadap ucapan Ratna Sari. Amarah Suwarni lantas
berlanjut menyerang laki-laki yang disebutnya mirip seperti ayam jago yang suka
mengumpulkan perempuan.
Sindiran Suwarni terhadap laki-laki sangat pedas sekali, pada
masa itu memang kebanyakan laki-laki seenaknya sendiri, mengumpulkan banyak
perempuan sebagai barang dagangan, apalagi dari seorang keturunan bangsawan
yang sangat mudah bergonta-ganti pasangan karena punya harta berlimpah ganda.
Lebih menarik lagi perkataan Suwarni, “Jika perempuan diajar
berpikir bahwa perkawinan itu tujuan hidupnya dan pekerjaan rumah tangga itu
hanya menjadi tanggung jawabnya, maka mereka itu tidak dididik bekerja secara
cerdas dengan otak dan tubuhnya. Mendidik bekerja dengan cerdas akan memberikan
[mereka] senjata untuk meraih kebebasan ekonomi”.
Pola berpikir perempuan sangat memengaruhi dalam prilakunya,
maka tidak heran sekali, bahwa perempuan-perempuan yang ada di kampung halaman
desa, akan secepatnya dinikahkan oleh orang tua atau dengan kemauannya sendiri,
tidak hanya itu, sekolah belum lulus, ia sudah bertransaksi dengan laki-laki
yang bersedia menikahinya, seperti dikasih sepeda motor atau perhiasan emas,
ternyata sudah bisa ditebak bahwa Budaya Patriarki didominasi oleh faktor
ekonomi.
Dari
sebuah kaca mata sejarah memang benar, bahwa perempuan selalu dinomer diuakan
dalam kehidupann sosial masyarakat, terutama sebagai objek dari pecandu para
lelaki, dari prilaku poligami yang didominasi oleh kaum bangsawan sehingga
membentuk budaya sekaligus dilegitimasi oleh Agama, bahwa kaum laki-laki hendak
menikah lebih dari satu jika mampu berlaku adil masih dikampanyekan hari ini
sebagai legitimasi tunggal kaum laki-laki untuk mempertahankan status quo.
Hemat
penulis, sudah waktunya bagi kaum laki-laki untuk terlibat di dalam penghapusan
budaya patriarki biar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan, persoalan
patriarki juga merugikan laki-laki dalam aspek sosial, seperti kekerasan dalam
rumah tangga yang selalu dilakukan oleh laki-laki, berakibat terkurung dalam
jeruji besi, oleh sebab itu Ideologi Feminis sebagai paradigma teoritis dalam
menghapus status sosial perempuan menuju kemerdekaan secara alamiah tanpa ada
tendensi apa pun yang saling merugikan.
Sebagai
laki-laki juga harus belajar waspada terkait dengan prilaku dan perkataan dari
hal kecil, sehingga tidak merugikan kaum perempuan, syukur bisa menghargai dan
memuliakan perempuan dalam keadaan dan situasi apa pun, belajar melupakan pembicaraan
kotor, seperti payu dara perempuan besar, montok, semok, cantik, pokokman yang
berbahu pelecehan seksualitas dan menjadikan perempuan sebagai komoditas
komersialisasi nafsu duniawi.
Penulis
; Muhammad Andrea
0 Komentar