Kita telah menyaksikan bersama film dokumenter yang diproduksi oleh Watchdoc dengan judul Sexy Killers. Film dengan durasi kurang lebih 1 jam 20 menit ini menggambarkan suatu ironi di negeri ini, negeri yang katanya memiliki tanah subur sehingga beragam jenis tanaman tumbuh di atasnya dan beragam jenis ikan hidup di dasar lautnya. Lalu, apakah setelah menyaksikan Sexy Killers kita tega untuk menyanyikan lagu “tanah kita tanah surga, tongkat dan kayu jadi tanaman”? Jika jawabannya tega, maka kita ini bukan manusia tapi iblis. Dan, inilah rasa kemanusian kita benar-benar diuji. Bukan membatasi kemanusiaan dengan perdebataan dan tindakan terkait bom di tempat ibadah yang tidak digali akar masalahnya, pengucapan natal bagi orang islam, dan orang muslim ikut mengamankan jalannya perayaan natal di gereja. 

Beruntung bagi kita yang tinggal di Jawa, dengan pengecualian tidak bertempat tinggal yang terdampak industri ekstraktif. Kenapa bisa beruntung tinggal di Jawa? Karena semua ada di Jawa. Kita bisa sekolah dengan nyaman, beribadah dengan nyaman, tidur dengan nyaman, dll. Hal yang demikian itu membuat manusia-manusia Jawa dengan kelimpahan kenyamanan-nya hanya berpikir, berdebat, dan bertindak sekedarnya saja. Manusia Jawa tidak merasakan ganasnya asap kebakaran hutan seperti di Sumatera dan Kalimantan, manusia Jawa tidak merasakan ganasnya pengerukan batubara dan penanaman kelapa sawit seperti di Sumatera dan Kalimantan, dan manusia Jawa tidak akan merasakan sakitnya peluru tentara dan eksploitasi PT. Freeport di Papua.

Kita kembali pada film yang barusan dilihat bersama untuk mengetahui jalannya bisnis batubara di negeri ini, yang notaben-nya kita belum/tidak merasakan dampak dari industri tersebut. Industri batubara lahir di era Soeharto pasca dikeluarkannya UU Penanaman Modal Asing (PMA) pada 1967. Namun, kejayaan bisnis ini baru tercipta setelah melalui serangkaian kehancuran produksi minyak dan gas bumi serta kayu di era Soeharto. Beberapa catatan dan riset menyatakan meroketnya indsutri batubara terjadi pasca rezim Soeharto. Ini bisa dilihat dari data Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh pemerintah pada kurun waktu antara 2001-2010, yakni sebesar kurang lebih 10.000 izin dengan 40%-nya adalah tambang batubara. Pada 2017 IUP mengalami penurunan seiring dengan selesainya beberapa proyek yang berjumlah 8.170 dalam 23 provinsi.

Sejak Soeharto berkuasa sampai sekarang bisa dikatakan penguasa adalah sebuah rezim ekstraksi, yang memiliki arti begitu bergantung pada sumber daya alam. Sebagai contoh di sektor batubara menyebutkan bahwa Indonesia menjadi negara dengan ekspor terbesar nomor dua dunia setelah Australia pada 2015. Ketergantungan negara terhadap industri ekstraktif ini memunculkan suatu fenomena politik yang disebut dengan oligarki, atau dalam konteks film ini dinamakan oligarki batubara. Realita demikian membuat kita yakin bahwa reformasi sama sekali tidak memperbaiki kondisi yang terjadi pada era Soeharto, sebaliknya semakin memperkeruh keadaan politik pemerintahan dengan lahirnya banyak oligarki baru. Oligarki dapat dipahami melalui pendefinisian oleh tiga ilmuwan politik. Pertama, Jeffry Winters menyebut sebagai kumpulan orang yang berkuasa dan mengendalikan kekuasaan alam untuk mempertahankan dan meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial yang eksklusif. Kedua, Robison dan Vedi Hadiz mendefinisikan oligarki sebagai relasi kekuasaan yang memungkinkan  konsentrasi kekayaan dan otoritas serta pertahanan kolektif atas konsentrasi kekayaan. Dua definisi tersebut secara nyata bisa kita lihat di film relasi antara para penguasa di nasional dan lokal, yang ironisnya mereka semua masih akan berkuasa selama lima tahun kedepan. Jadi, Jokowi atau Prabowo sama-sama tidak memberikan solusi atas kehadiran industri batubara.

Tanah Menghilang, Hidup Semakin Berat
Sexy Killers telah memperlihatkan kepada kita semua bahwa pengoperasian industri batubara membutuhkan lahan yang luas, belum lagi aturan yang ada di Indonesia dengan melihat bahaya yang ditimbulkan mengharuskan rumah atau bangunan lainnya harus berjarak minimal 500 meter. Inilah permulaan konflik dari indsutri ekstraktif, yaitu alih fungsi lahan atau bisa juga disebut dengan perampasan lahan (land grabbing). Perampasan lahan di sini mengakibatkan bentrokan dua kubu tiga aktor, yakni antara negara-korporasi melawan rakyat pemilik lahan. Perampasan ini mengakibatkan bergantinya kepemilikan lahan serta fungsinya—tanah, air, hutan, dan sumber daya alam lainnya yang seharusnya bisa diakses—menjadi terkosentrasi dan privatisasi yang dimiliki oleh korporasi atau negara dengan tujuan akumulasi kapital, perampasan ini dilaukan dengan membeli/menjual/menyewa yang selanjutnya mengakibatkan transformasi rezim tenaga kerja agraria. Di film sudah sangat jelas diperlihatkan bahwa banyak masyarakat tergusur dari rumah/lahannya dan kehilangan sumber ekonomi yang kebanyakan berprofesi sebagai petani, dengan klimaksnya adalah menjadi salah satu bagian dari industri ekstraktif tersebut; bukan menjadi direktur perusahaan tapi kaum buruh lepas yang sewaktu-waktu bisa ditendang keluar.

Kajian akademis kuno (ditulis dan dipubliskan beberapa ratus tahun lalu) yang ditulis oleh seorang ilmuwan bernama Karl Marx melalui karya fenomenalnya “Das Kapital” menyebut proses perampasan lahan ini sebagai akumulasi primitif. Akumulasi primitif mengandung dua hal yang saling berkaitan. Pertama, ini adalah proses historis yang memisahkan produsen dari alat produksi. Marx bilang: “The so-called primitive accumulation, therefore, is nothing else than the historical process of divorcing the producer from the means of production.” Dalam konteks ini, Marx menegaskan bahwa penyingkiran produsen pertanian, para petani pemilik berskala kecil dari tanah adalah landasan utama dari keseluruhan proses akumulasi primitif. Tanah dalam jumlah besar, yang berada di bawah sistem kepemilikan kolektif, dirampas dan dikonversikan menjadi kapital.  Kedua, para produsen pertanian tadi lantas tidak memiliki lagi sesuatu untuk dijual, kecuali dengan bebas menjual tenaga kerja mereka sebagai kelas pekerja, setelah keseluruhan alat produksi (tanah) mereka dirampok. Oleh karena itu, mereka adalah pekerja bebas dalam dua pengertian sekaligus: mereka tidak memiliki alat produksi sebagaimana dalam kasus budak dalam corak produksi perbudakan dan buruh pertanian dalam corak feodalisme, dan juga tidak memiliki alat produksi sebagaimana petani pemilik yang mengusahakan lahan pertaniannya secara swadaya. Dengan kata lain, akumulasi primitif merupakan mekanisme untuk menciptakan kelas pekerja bebas atau kelas proletar modern untuk siap dieksploitasi di dalam corak produksi kapitalis. Tenaga kerja dikonversi menjadi kapital.
   
Bayang-Bayang Kematian Dalam Industri Batubara
Industri batubara telah memakan banyak korban seperti yang diperlihatakn dalam film. Mulai dari lubang pasca produksi yang tidak direklamasi membuat banyak anak meninggal tenggelam, kerusakan lingkungan, dan proses konversi batubara menjadi listrik melalui Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mengakibatkan beragam penyakit akibat debu dan asapnya. Ada dua proses produksi batubara yang mengancam hidup manusia, yaitu: pertama, penggalian batubara dapat mengakibatkan pencemaran udara dan air permukaan; kerusakan hutan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan erosi; serta dalam pencucian batubara tersebut sangat rakus air yang mengakibatkan konflik water scarity antar masyarakat, dan lubang bekas tambang yang tidak direklamasi membuat banyak nyawa generasi bangsa melayang sia-sia. Kedua, bayang-bayang kematian datang dari efek bekerjanya PLTU yang mengakibatkan penyakit stroke (2700 jiwa/tahun); jantung iskemik (2300 jiwa/tahun); kanker paru-paru (300 jiwa/tahun); dan kardiovaskular (1200 jiwa/tahun)—dengan total kematian dini di Indonesia mencapai 6500 jiwa/tahun.
Apa solusinya?

Penulis sebenarnya tidak bisa memberikan solusi nyata atas peristiwa keji yang secara singkat tertulis ini. Hal ini tidak lain karena penulis bukanlah Presiden atau menteri yang dapat mengambil tindakan nyata. Namun, jika harus menuangkan isi di kepala maka tidak ada jalan lain selain menghentikan industri batubara dan menggantikannya dengan sumber-sumber listrik lain. Apakah ini hanya sebatas mimpi? Jawabannya jelas tidak. Karena ada dua contoh negara yang sudah melakukannya, kedua negara tersebut yaitu: Amerika Serikat dengan membuat rencana akan menutup 2000 PLTU dan sebayak 82.5 gigawatt energi batubara dibatalkan; Tiongkok yang mengalami krisis udara bersih membuat PLTU di sana mengalami penurunan 3,7% dan sumber-sumber energi lain meningkat.

Oleh: Mohammad Imam Faisal

TAMBANG BATUBARA: MERUSAK LINGKUNGAN, MENGHANCURKAN KEHIDUPAN RAKYAT, DAN MENCIPTAKAN OLIGARKI BARU (tulisan ini untuk bahan diskusi pada acara nonton bareng film Sexy Killer yang diselenggarakan oleh PC. IPPNU DAN FNKSDA Kabupaten Bojonegoro pada 13 April 2019)