Membaca buku merupakan aktivitas yang selayaknya dilakukan oleh Mahasiswa diberbagai perguruan tinggi se-Indonesia, dalam imajinasi saya sebelum kuliah, bahwa seseorang yang telah menyandang status Mahasiswa akan diakui oleh masyarakat tentang kualitas inteletualitasnya dan mampu menyelesaikan beberapa problem yang ada di sekitar kampus dan masyarakat.

Kampus merupakan lembaga perguruan tinggi yang mencakup dari berbagai aspek sosial, budaya dan politik, setiap Mahasiswa tidak bisa mengelak dari berbagai problem yang dihadapi terutama persoalan sosial. Jika kampus mempunyai budaya membaca buku, terutama prodak-prodak intelektualisme Mahasiswa akan terbentuk di dalamnya dan menjadi promotor bagi Agama dan Bangsa.

Mungkin imajinasi saya terlalu liar dalam menafsirkan Mahasiswa, faktanya hari ini tidak sesuai dengan apa yang terpikirkan tiga tahun lalu, hampir dari seluruh Kampus ysng ada di Bojonegoro, nilai minat membaca buku Mahasiswa masih di bawah 50%, berarti tandanya bukan persoalan modernisme zaman yang mempengaruhi prilaku dan moral Mahasiswa, tetapi lebih dari apa yang sudah diupayakan oleh pihak kampus sebelumnya dalam membangun sebuah budaya membaca buku di lingkungan maupun taman Kampus.

Padahal kita sering melihat dan membaca di dinding-dinding sekolahan ada puluhan motivasi terkait pendidikan, salah satunya terkait Membaca buku adalah jendela dunia, namun tidak ada system yang mengikat dari sebuah institusi maupun lembaga dalam mencapai visi dan misi pendidikan tersebut. Maka perlu adanya evaluasi dalam memperbaiki system dan budaya yang sudah berjalan di lingkungan pendidikan. Lebih parahnya lagi, membaca buku sebagai pelarian untuk mengerjakan tugas sekolah atau pun kampus. Disitulah krangka berpikir Siswa dan Mahasiswa perlu ada pemahaman secara komperehensif.

Disisi lain, memang bergesernya sebuah budaya masyarakat dari tradisional ke Modern ada baik dan buruknya, lantas perubahan tersebut bukan berarti menentang kebudayaan hari ini, tentu harus ada alternatif-alternatif lain yang bisa memberikan solusi terbaik dan bermanfaat bagi saksama.

Sekarang penulis akan memberikan sebuah perspektif terhadap Warung Kopi, Masyarakat memahami bahwa Warkop adalah tempat nongkrong para lelaki, mengobrol sesuatu. Kenapa masyarakat menganggap bahwa itu hal yang aneh dan berdampak negatif, kalau memahami Warkop identik dengan tempat lelaki bukan perempuan, bagaimana jika Warkop diubah menjadi Caffe, maka pemahaman masyarakat akan lebih berbeda, padahal esensinya sama tidak beda. Nah disinilah, kita dapat mengambil satu kesimpulan bahwa pola pikir masyarakat pada umumnya, melihat situasi dan kondisi itu lebih cukup dibandingkan mengamati dan memahami suatu pristiwa.

Penulis sangat berapresiasi sekali terhadap gerakan-gerakan Mahasiswa yang berindikasi pada hal kebaikan dan positif. Seperti Komunitas Jagong Literasi, Komunitas yang baru beberapa hari berdiri menunjukan eksistensi dan kualitas teknis atau mekanisme gerakan dalam mewarnai Warung Kopi. Warkop yang berada di salah satu kota Bojonegoro, lebih tepatnya di Warkop Jeruk utaranya Masjid Babus sofa menjadikan pilihan utama dalam mengambil tempat perdananya untuk Jagongan.

Disisi lain para pegiat kopi sedang duduk manis sambil main gedget, enam Mahasiswa kurang lebih membawa Papan Tulis sebagai media dan Buku bacaan sebagai bahan dialektika sesama anggota, walaupun hanya sedikit keanehan yang mereka rasakan, tidak dapat merubah niat dan tekat mereka untuk membumikan Literasi di warung-warung kopi se-Bojonegoro.

Komunitas Jagong Literasi yang diprakasai oleh Fahmi Khumaini, Zarkasi, Aziz, Banjar, dan teman-teman-nya sepekan lalu kini dapat direalisasikan dengan baik, Komunitas tersebut dijadikan sebuah ruang baru untuk belajar bersama demi menunjang kapasitas dan menumbuhkan budaya Minat membaca buku dan diskusi bagi Mahasiswa di Bojonegoro.

Jagong Literasi yang dimulai siang sampai malam hari tidak terasa capek baik pikiran dan tenaga, karena setiap peserta mempresentasikan buku yang telah dibaca, kemudian saling bertanya mengenahi pemahaman terhadap buku dan pemikiran-pemikiran penulis, jagongan yang dilakukan dua minggu sekali disetiap hari sabtu.

Bisa diambil kesimpulan, bahwa setiap Warung Kopi bukan berarti tempat negatif, melainkan banyak positifnya, tergantung bagaimana kita bisa memahami dan mengamati disetiap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pegiat Kopi, ketika dalam keadaan nongkrong maupun berdialektika. Semua punya hak yang sama dalam berpendapat, tetapi berpendapatlah dengan baik dan bijak, kemudian sertakan beberapa refrensi untuk mengetahui seberapa jauh untuk mempertahankan kebenaran tanpa ada tendensi emosi dan politik, warnailah tempat-tempat Warkop dengan berbagai kegiatan yang berpotensi bagi kita untuk berlali secepat mungkin dalam mengejar impian.

Penulis : Andre S. J