Membicarakan Kondisi Agraria di Bojonegoro Melalui Pemutaran Film Bojonegoro FNKSDA (Front Nadhliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam) komite Kabupaten Bojonegoro pada Sabtu (23/06) mengadakan acara diskusi dan nonton film dokumenter Pesta Demokrasi Berlumur Batubara produksi JATAM (Jaringan Advokasi Tambang). Acara yang berlangsung di salah satu warung kopi di Bojonegoro ini diawali dengan nonton film Pesta Demokrasi Berlumur Batubara. Forum yang dihadiri kurang lebih 40 orang ini setelah melihat film diajak oleh Ali Ibrahim selaku moderator berdiskusi terkait film.
“Kurang lebih film ini bercerita soal korelasi atau hubungan antara demokrasi (pemilihan kepala daerah) dengan bentang kekayaan alam luar biasa di Sumetara Selatan dan Kalimantan Timur. Ucap Melky Nahar salah satu pemateri dari JATAM nasional. Lalu beliau juga mengatakan, di dalam film kita sudah lihat bahwa menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) biaya calon kepala daerah untuk gubernur bisa mencapai seratus milyar, sedangkan biaya calon bupati berkisar dua puluh sampai tiga puluh milyar. Padahal realitanya kekayaan para calon kepala daerah hanya berkisar pada tujuh sampai sepuluh milyar.”
Setelah Melky Nahar sedikit memberikan pengantar diskusi terkait film yang ditayangkan, forum dilanjutkan dengan tanya-jawab mengalir oleh peserta diskusi. jumlah tanah di jawa khususnya di Jawa Timur saat ini mengkhawatirkan, ini tidak lain karena adanya perselingkuhan antara pemerintah daerah dan investor. Bisa dikatakan kepala daerah di Jawa Timur tidak melihat kehidupan petani dan lebih mementingkan investor dengan alasan pembangunan. Ucap Cesar mahasiswa UIN Maulana Maliki Ibrahim yang menjadi salah satu peserta diskusi.
Namun pernyataan dari peserta diskusi tersebut ditanggapi secara kontra oleh pemateri dengan mengatakan, memang benar jika dikatakan lahan persawahan berkurang akibat adanya proyek minyak dan gas. Akan tetapi, tanah yang digunakan dalam industri minyak dan gas jika sudah selesai bisa direklamasi untuk dikembalikan seperti sebelum adanya proyek, atau kembali menjadi lahan pertanian. Ambil contoh saja Pemerintah Kabupaten Bojonegoro mencoba untuk meningkatkan pendapatan minyak dan gas serta pertaniannya. Ucap Yuris Krisnanto selaku pemateri yang saat ini bekerja sebagai manajer PT. Bina Teknika Energi Bojonegoro.
Sesi tanya-jawab berlangsung cukup seru karena adanya silang pendapat antar peserta dan kedua pemateri. Terjadinya silang pendapat ini menjadi penting dalam proses diskusi guna terciptanya pemahaman yang komprehensif bagi seluruh peserta yang hadir. Diskusi yang kebetulan bertepatan dengan akan diselenggarakannya pilkada serentak di Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Bojonegoro, pihak penyelenggara mengharapkan dapat menjadi stimulus bagi seluruh peserta untuk melihat para calon kepala daerah yang pro dan kontra terhadap kondisi agraria. Ruri selaku kader FNKSDA komite Bojonegoro mengatakan, diskusi ini adalah langkah awal untuk mengawal Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dalam memperhatikan kondisi lahan milik rakyat, yang notaben-nya adalah petani. Karena petani adalah penolong negeri, bukannya investor. (Fafa)
“Kurang lebih film ini bercerita soal korelasi atau hubungan antara demokrasi (pemilihan kepala daerah) dengan bentang kekayaan alam luar biasa di Sumetara Selatan dan Kalimantan Timur. Ucap Melky Nahar salah satu pemateri dari JATAM nasional. Lalu beliau juga mengatakan, di dalam film kita sudah lihat bahwa menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) biaya calon kepala daerah untuk gubernur bisa mencapai seratus milyar, sedangkan biaya calon bupati berkisar dua puluh sampai tiga puluh milyar. Padahal realitanya kekayaan para calon kepala daerah hanya berkisar pada tujuh sampai sepuluh milyar.”
Setelah Melky Nahar sedikit memberikan pengantar diskusi terkait film yang ditayangkan, forum dilanjutkan dengan tanya-jawab mengalir oleh peserta diskusi. jumlah tanah di jawa khususnya di Jawa Timur saat ini mengkhawatirkan, ini tidak lain karena adanya perselingkuhan antara pemerintah daerah dan investor. Bisa dikatakan kepala daerah di Jawa Timur tidak melihat kehidupan petani dan lebih mementingkan investor dengan alasan pembangunan. Ucap Cesar mahasiswa UIN Maulana Maliki Ibrahim yang menjadi salah satu peserta diskusi.
Namun pernyataan dari peserta diskusi tersebut ditanggapi secara kontra oleh pemateri dengan mengatakan, memang benar jika dikatakan lahan persawahan berkurang akibat adanya proyek minyak dan gas. Akan tetapi, tanah yang digunakan dalam industri minyak dan gas jika sudah selesai bisa direklamasi untuk dikembalikan seperti sebelum adanya proyek, atau kembali menjadi lahan pertanian. Ambil contoh saja Pemerintah Kabupaten Bojonegoro mencoba untuk meningkatkan pendapatan minyak dan gas serta pertaniannya. Ucap Yuris Krisnanto selaku pemateri yang saat ini bekerja sebagai manajer PT. Bina Teknika Energi Bojonegoro.
Sesi tanya-jawab berlangsung cukup seru karena adanya silang pendapat antar peserta dan kedua pemateri. Terjadinya silang pendapat ini menjadi penting dalam proses diskusi guna terciptanya pemahaman yang komprehensif bagi seluruh peserta yang hadir. Diskusi yang kebetulan bertepatan dengan akan diselenggarakannya pilkada serentak di Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Bojonegoro, pihak penyelenggara mengharapkan dapat menjadi stimulus bagi seluruh peserta untuk melihat para calon kepala daerah yang pro dan kontra terhadap kondisi agraria. Ruri selaku kader FNKSDA komite Bojonegoro mengatakan, diskusi ini adalah langkah awal untuk mengawal Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dalam memperhatikan kondisi lahan milik rakyat, yang notaben-nya adalah petani. Karena petani adalah penolong negeri, bukannya investor. (Fafa)
0 Komentar